BAB 2 : RAHASIA BESAR DARI KOTA YANG BERBISIK
Setiap kota punya rahasia. Tapi Noctaria tidak menyembunyikan rahasianya—ia membisikannya, pelan-pelan, sampai kau kehilangan akal.
Kabut turun lebih cepat akhir-akhir ini. Jam menunjukkan pukul 3 sore, tapi kota sudah terlihat seperti senja menjelang malam. Langit diselimuti awan gelap yang menggantung rendah, membuat seluruh Noctaria tampak seperti dilumuri jelaga tua.
Aku keluar rumah dengan langkah berat, menyusuri gang sempit berkerikil yang biasa kulewati saat hidupku masih “normal.” Dinding-dinding bata rumah penduduk di kanan-kiri terasa lebih dekat dari biasanya. Seolah kota ini mulai menciut, meremas tubuh dan pikiranku dari segala sisi.
Hari ini aku punya satu tujuan: kembali ke jembatan itu.
Bukan untuk melompat, tapi untuk mencari jawaban. Jawaban yang tak bisa kutemukan di dalam rumah atau dalam cermin. Hanya di sana—tempat semuanya dimulai—aku merasa bisa mengerti.
1. Jembatan Tua
Langkahku membawaku kembali ke tempat itu—jembatan tua di pinggiran kota. Dulu, tempat ini hanya sekadar bangunan tua dengan cerita seram murahan. Tapi sekarang, setiap kali aku melihatnya, bulu kudukku berdiri, seolah tubuhku mengenali bahwa ada bagian dariku yang pernah mati di sana.
Jembatan itu terlihat sama—sunyi, tua, berkarat. Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Di salah satu tiangnya, ada coretan baru, ditulis dengan cat merah yang tampak baru mengering:
“Yang kembali bukan lagi yang sama.”
Aku mundur satu langkah. Kata-kata itu terasa seperti ditulis khusus untukku.
Sebelum aku sempat memutuskan untuk kembali pulang, sebuah suara serak memanggilku dari arah pos ronda yang berada tak jauh dari jembatan.
2. Lelaki Penjaga
“Baru pertama kali ya kamu ke jembatan itu siang hari?”
Aku menoleh. Seorang pria tua duduk di kursi kayu reot, rokok menyala di antara jemarinya. Wajahnya dipenuhi keriput dalam pola yang aneh, seperti aliran sungai kering yang menoreh tanah.
“Apa maksud Anda?” tanyaku waspada.
Dia menatap lurus ke mataku. Tatapannya tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam pikiranku.
“Kau salah satu dari mereka,” katanya pelan. “Aku lihat dari matamu. Kabut di sekitarmu. Kau... udah ngelewatin batas.”
Aku menelan ludah. “Batas apa?”
Dia menarik napas dalam-dalam, seolah sedang bersiap untuk mengatakan sesuatu yang sudah lama ingin dia kubur.
“Noctaria ini kota tua, Nak. Tapi bukan cuma tua—dia hidup. Dia tumbuh dari mimpi buruk orang-orang yang putus asa.
Orang-orang kayak kamu, yang datang ke jembatan itu untuk mati… mereka nggak mati. Mereka cuma ‘dipinjam’ sebentar oleh kota ini. Dan waktu balik? Mereka bawa sesuatu.”
Aku nyaris tak bisa berbicara. “Apa yang mereka bawa?”
“Bayangan,” jawabnya singkat. Dan tiba-tiba, suara angin seperti berbisik di telingaku. Seolah mengiyakan.
3. Bayangan
Sejak malam itu, aku sering melihat sosok hitam berdiri di ujung mataku—di cermin, di lorong, kadang di balik jendela.
Bayangan itu tak pernah menunjukkan wajah, tapi aku tahu dia melihatku.
Dulu, kupikir itu halusinasi. Tapi kata-kata lelaki tua itu membuat semua potongan mulai menyatu.
Mungkin aku memang sudah tidak sendirian sejak malam aku “jatuh.”
Dan jika Liora juga pernah melewati jembatan ini, apakah itu artinya… dia juga membawa bayangan?
Aku ingin lari. Tapi ke mana?
Bagaimana kau lari dari kota yang menyimpanmu dalam ingatan tergelapnya?
4. Pilihan Baru
Sebelum aku pergi, lelaki itu menyodorkan sesuatu padaku—secarik kertas kusut dengan simbol aneh yang terlihat seperti mata ditusuk jarum.
“Ini bisa bantu kamu sementara,” katanya. “Tapi kalau bayangan itu sudah mulai masuk mimpi dan tubuhmu… kamu harus pilih. Mau kembali sepenuhnya, atau jadi bagian dari Noctaria selamanya.”
Aku mengambilnya, tangan gemetar. Dunia di sekitarku terasa berat, seolah kota ini menarik napasku dengan tali tak kasatmata.
BAB 2.1: TUMBAL DAN RAHASIA LIORA
Cinta bisa menyelamatkanmu. Tapi cinta juga bisa mengorbankanmu—dan yang paling tragis, kau tidak akan pernah tahu kau dijadikan tumbal… sampai semuanya terlambat.
Kabut pagi ini lebih tebal dari biasanya. Matahari seperti malu muncul. Langit masih keabu-abuan ketika aku terbangun dengan rasa berat di dada. Tubuhku dingin seperti baru keluar dari lemari es. Saat menyentuh leherku, aku merasakan sesuatu yang aneh—bekas seperti luka, berbentuk melingkar, menyerupai simbol yang kulihat di kertas pemberian lelaki tua kemarin.
Itu bukan goresan biasa. Itu seperti cap.
Seolah ada sesuatu yang menandai tubuhku sebagai miliknya.
Aku tahu... ini bukan lagi sekadar mimpi buruk. Ini nyata.
Dan jika aku ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi, aku harus kembali ke tempat di mana semuanya berawal—rumah tua milik Liora.
1.1 Kotak Kayu di Loteng
Rumah Liora berdiri di ujung jalan sepi, dikelilingi pagar besi yang sudah berkarat. Tidak ada yang tinggal di sana sejak berita kematiannya menyebar. Warga menghindari rumah itu. Beberapa menyebutnya terkutuk.
Saat aku masuk ke dalam, aroma lembap dan debu langsung menyergap hidung. Lantai kayu berderit setiap aku melangkah. Semua masih seperti dulu, kecuali... hawa. Suasananya seperti... mengamati.
Aku naik ke loteng. Di sudut ruangan, aku menemukan sebuah kotak kayu tua yang terkunci. Anehnya, kuncinya sudah rusak. Seolah seseorang—atau sesuatu—memintaku untuk membukanya.
Di dalamnya, ada benda-benda yang membuat jantungku berhenti sejenak:
Foto-foto hitam putih dengan wajah yang dicoret spidol merah.
Sisa-sisa lilin hitam, sudah meleleh sebagian.
Sebuah buku tua dengan sampul kulit, bertuliskan judul dalam bahasa Latin: Liber Umbrae Aeternum.
Dan di tengah tumpukan itu… secarik kertas lusuh bertuliskan namaku:
“Tumbal Kedua: Jackfrost – disiapkan untuk pemanggilan keabadian.”
Tanganku bergetar. Mataku tak bisa lepas dari namaku sendiri.
Aku… adalah tumbal?
1.2 Liora Sang Pemanggil
Dengan hati-hati, aku membuka buku tua itu. Halamannya dipenuhi tulisan tangan yang sebagian sulit dibaca. Tapi ada beberapa yang cukup jelas:
“Untuk membuat perjanjian dengan entitas bayangan, dibutuhkan tumbal darah. Seseorang yang sangat dekat—jiwa yang terikat secara emosional.”
Aku menahan napas.
Ini bukan lagi tentang kesedihan atau patah hati. Ini tentang pengkhianatan… yang sakral.
Kugeser lembaran-lembaran hingga menemukan halaman dengan tulisan tangan Liora sendiri.
“Jack tidak perlu tahu. Cukup jaga dia sampai hari pemanggilan. Setelah itu, dia akan ‘menghilang’, dan aku dapatkan semua yang kuinginkan.”
Aku terduduk di lantai. Dunia seperti berhenti berputar.
Semua “cinta” yang ia tunjukkan, semua pelukan saat kami kelaparan, semua janji yang dia bisikkan di tengah malam… semua itu bagian dari rencana?
Tapi kemudian aku menemukan halaman yang membuat segalanya jadi lebih rumit:
“Tapi kenapa aku mulai merasa bersalah? Kenapa aku mulai benar-benar mencintainya?”
“Jika aku gagal… entitas itu akan mengambilku sebagai gantinya.”
Air mataku menetes tanpa kusadari.
Liora… mungkin benar-benar jatuh cinta padaku di akhir. Mungkin... dia mencoba menghentikan ritual itu.
Dan karena itulah... dia yang diambil. Tapi namaku sudah tertulis. Dan entitas itu belum selesai denganku.
1.3 Dendam Dua Arah
Sejak malam aku “mati” dan kembali, bayangan itu tak pernah meninggalku. Tapi kini aku mengerti: ia bukan datang sembarangan. Ia menagih sesuatu.
Dan aku hanyalah bagian dari rantai panjang perjanjian terkutuk yang dimulai oleh Liora.
Apakah Liora benar-benar mati?
Atau... tubuhnya yang mati, jiwanya diambil?
Dan jika entitas itu gagal mendapatkan tumbalnya… apa yang akan ia lakukan?
Kini semuanya jadi jelas:
Aku adalah tumbal.
Liora, meski mengkhianatiku, mungkin mencoba menyelamatkanku di akhir hidupnya.
Dan sekarang, entitas itu menagih bayarannya.
Ia tidak peduli siapa yang memberinya. Asal ada darah. Asal ada jiwa. Asal ada ketakutan.
1.4 Api yang Menyala
Malam itu, aku menyalakan lilin hitam terakhir dari kotak, lalu meletakkannya di tengah ruang tamu.
Kulihat simbol yang ada di dinding perlahan menyala merah.
Aku membaca potongan kalimat dari buku itu:
"Jika kau telah menjadi bagian dari bayangan, maka jalan satu-satunya adalah menyalakan api dalam kegelapan. Bakar asalnya. Hadapi perantaranya."
Aku membakar semua isi kotak itu. Buku, foto, catatan.
Api membesar. Tapi sesuatu terjadi.
Di balik asap, aku melihat sosok muncul—samar, hancur, namun... familiar.
Liora.
Rambutnya kusut. Wajahnya retak seperti porselen pecah.
Tapi matanya... matanya menangis.
“Lari… atau lawan.”
Itu yang dia bisikkan.
Suaranya berat. Seolah berasal dari dalam tanah. Dari balik dunia.
Dan kemudian... dia menghilang.
Tapi sebelum pergi, aku merasa ada sesuatu yang ditinggalkan.
Sebuah peringatan.
Atau mungkin... sebuah harapan.
