BAB 1: PERTENGKARAN TERAKHIR NAMUN AWAL DARI PERMULAAN
Bayang-Bayang Noctaria
Namaku Jackfrost.
Aku tidak mati malam itu. Tapi mungkin... seharusnya aku mati.
Karena yang datang setelahnya... jauh lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.
Hujan mengguyur kota Noctaria dengan perlahan, seperti langit sedang menangis pelan untuk sebuah kehilangan yang belum terjadi. Aku duduk di sudut ruangan sempit yang dulu kusebut rumah. Dindingnya retak, catnya mengelupas, dan lampu di atas kepala terus berkedip, seperti tak rela padam tapi juga tak punya tenaga untuk bersinar.
Di seberang ruangan, Liora berdiri tegak. Posturnya anggun seperti biasa, tapi mata itu—mata yang dulu hangat dan penuh cinta—kini tampak asing. Beku. Hampa.
"Aku lelah, Jack," katanya datar. Seolah kalimat itu sudah dia latih berulang kali di dalam kepalanya. "Kita gak bisa terus hidup kayak gini."
Aku menarik napas dalam-dalam. Dadaku sesak. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Tapi tetap saja, ketika kalimat itu benar-benar keluar dari mulutnya, rasanya seperti ditusuk perlahan dengan belati tumpul.
"Jadi itu artinya... kamu pergi?" tanyaku. Suaraku nyaris tak terdengar.
Liora tak langsung menjawab. Dia memalingkan wajah, menatap jendela yang basah oleh air hujan. Di luar sana, lampu jalanan berpendar samar di antara kabut. Dunia tampak muram. Seperti mencerminkan isi hatiku malam itu.
"Aku gak bisa hidup dalam kegagalanmu," ucapnya akhirnya. Kalimat itu seperti palu yang menghancurkan sisa-sisa harga diriku. “Dulu kamu punya mimpi, Jack. Kamu punya arah. Tapi sekarang? Kamu bahkan gak bisa bayar listrik.”
Aku terdiam. Lidahku kelu. Ingin kubela diri, ingin kukatakan bahwa aku masih berjuang, bahwa aku belum menyerah. Tapi di matanya... aku sudah kalah.
“Jadi kamu pilih dia? Si orang kaya itu?” tanyaku lirih.
Dia menoleh. Tak ada rasa bersalah di wajahnya. “Dia bisa kasih aku masa depan. Sesederhana itu.”
Aku mengepalkan tangan. Aku ingin marah. Tapi yang ada hanya perasaan hampa.
“Dulu kamu pernah janji gak bakal ninggalin aku,” kataku, mencoba menggugah ingatannya. “Waktu kita masih tidur beralaskan tikar, makan mie instan dua kali sehari... kamu bilang, kita akan lewatin semua ini bareng.”
Dia menatapku sejenak. Ada keraguan di sana. Tapi hanya sekejap. Lalu dia melirik jam tangan mewah di pergelangan tangannya—jam yang bukan kuberikan.
“Aku udah terlalu lama percaya mimpi yang gak jelas. Sekarang aku pilih realita.”
Dan dengan itu, dia pergi. Tanpa menoleh. Tanpa satu pun kata penutup.
Pintu tertutup di belakangnya, dan rasanya... seperti seluruh dunia juga menutup pintunya untukku.
Aku terduduk di lantai, menatap tembok yang sudah lama tak dicat. Waktu berjalan pelan. Jam di dinding berdetak seperti mengolok-olok keputusasaanku.
"Aku bisa mulai lagi..." bisikku. Tapi bisikan itu pun terdengar seperti kebohongan yang bahkan aku sendiri tak percaya.
Aku mencoba berdiri, tapi lututku lemas. Kupandangi sekeliling ruangan—ruang tamu sempit yang kini hanya berisi sisa-sisa kehidupan. Meja yang retak. Kursi yang reyot. Lemari kecil yang pintunya sudah tak bisa ditutup rapat. Aku membuka laci—hanya ada beberapa lembar uang receh dan satu foto lama. Foto aku dan Liora, tersenyum di bawah matahari, saat hidup masih penuh harapan.
Aku memandangi foto itu lama. Terlalu lama. Sampai mataku panas. Sampai akhirnya aku melempar foto itu ke dinding. Kacanya pecah, menyisakan potongan-potongan kenangan yang kini terasa seperti kutukan.
Kupikir mungkin aku hanya butuh keluar. Menghirup udara malam. Tapi di luar sana... dingin lebih menggigit dari biasanya. Langit Noctaria kelam, dan angin membawa bisikan yang entah datang dari mana. Kota ini, sejak awal, memang selalu terasa seperti menyembunyikan sesuatu.
Langkah kakiku membawaku ke arah jembatan tua di pinggiran kota. Jembatan yang katanya angker. Yang katanya, siapa pun yang melompat dari sana... tidak akan ditemukan lagi. Bahkan nama-nama mereka pun tak tercatat. Seperti lenyap ditelan kegelapan.
Aku berdiri di ujung jembatan, menatap air hitam yang mengalir pelan di bawah sana. Angin menusuk tulang. Tanganku gemetar. Hatiku... hampa.
“Mungkin ini akhir yang pas,” pikirku. “Gak ada yang nyari. Gak ada yang peduli. Bahkan Liora pun memilih pergi.”
Tapi saat aku melangkah ke tepi, aku melihat sesuatu—bayangan di seberang jembatan. Diam, mematung. Seperti seseorang... atau sesuatu.
Aku tertegun. “Halo?” tanyaku, meski aku tahu itu ide buruk.
Bayangan itu tidak menjawab. Tapi... ia bergerak. Perlahan. Sangat perlahan. Dan semakin dekat, semakin jelas kulihat wujudnya—tinggi, ramping, tanpa wajah. Hanya dua mata kosong yang menyala redup merah.
Aku terpaku. Kakiku tak bisa bergerak. Jantungku berdetak liar.
“Siapa... kau?” tanyaku.
Bayangan itu tidak berbicara dengan suara. Tapi aku mendengar... suara di dalam kepalaku. Seperti bisikan. Seperti gemuruh yang berasal dari dasar bumi.
Akhirnya kau datang...
Dan kau membawa hadiah berharga untukku...
Aku mundur selangkah. Napasku terputus-putus. Apa maksudnya? Hadiah? Siapa?
Tiba-tiba tubuhku terasa berat. Dunia berputar. Aku ambruk. Kepalaku membentur lantai jembatan. Pandanganku mengabur.
Sebelum semuanya gelap, aku melihat bayangan itu... tersenyum.
Aku terbangun di kamar. Tapi bukan kamarku. Ini... seperti kamar dari masa kecilku. Dindingnya berwarna biru muda. Ada poster kartun lama. Tapi semuanya berdebu. Seperti sudah lama ditinggalkan.
Aku mencoba bangkit, tapi pintu terbuka sendiri. Dan di balik pintu... Liora. Tapi bukan Liora yang kukenal. Rambutnya acak-acakan. Matanya hitam pekat. Dan senyumnya... senyum yang tak dimiliki manusia.
“Selamat datang kembali, Jack...” katanya.
Aku mundur. Ini mimpi. Harusnya mimpi. Tapi semuanya terlalu nyata. Bau, suhu, detak jantungku... ini nyata.
“Aku... aku lihat kamu pergi,” kataku. “Kamu bilang kamu mau hidup lebih baik.”
Liora tertawa. Tertawanya bergema seperti gaung dari ruang kosong.
“Aku memang pergi,” katanya. “Tapi kau ikut membawaku kembali.”
Tiba-tiba, dinding kamar berubah. Warna biru memudar, digantikan oleh dinding kayu busuk yang merembes darah. Poster-poster menjadi sobekan koran pemakaman. Dan jendela terbuka... memperlihatkan langit merah dan tanah yang bergolak.
“Aku mati, Jack,” ucapnya. “Tapi jiwaku... tersangkut di antara dunia. Dan sekarang... kau akan ikut bersamaku.”
Aku menjerit. Tapi tak ada suara. Tanganku meraih apa pun. Tapi tubuhku tak bergerak. Liora mendekat. Semakin dekat.
Dan saat dia menyentuh wajahku...
Aku terbangun. Kali ini benar-benar di rumah. Tapi... lantai di bawahku basah. Jejak kaki... menuju pintu yang terbuka sedikit.
Aku tidak sendiri malam itu. Dan aku tahu... mimpi itu bukan sekadar mimpi.
Itu awal dari semuanya.
