9 PERUBAHAN AWAL
Belinda baru saja selesai membalur tubuhnya dengan lotion saat ia mendengar hendel pintu kamar ada yang membuka dari arah luar. Segera ia mengetatkan lilitan handuk di tubuhnya. Ia terkejut saat mendapati Gio melangkah masuk dengan raut wajah dingin dan tatapan tajam tertuju kepadanya.
“Mas, kapan datang?” tanyanya gugup dengan suara lirih.
“Kamu bilang apa?” tanya Gio dengan suara rendah seraya mendekati Belinda.
Belinda tanpa sadar melangkah mundur dan terduduk di tepi ranjang yang ia tempati bersama dengan Nyra yang sudah tertidur nyenyak, setelah mendapatkan asupan gizinya. Beruntung bagi Belinda bayi berusia dua hari itu tidak menyusahkan dirinya. Bahkan bisa dibilang Nyra termasuk bayi yang tenang dan jarang sekali menangis. Berbeda dari apa yang diceritakan oleh teman-temannya, bahwa ia akan begadang saat malam hari sampai kini belum ia rasakan.
“Mas, kapan datang?” Belinda mengulangi pertanyaannya.
“Baru saja. Dan seperti orang dungu, aku bahkan tidak tahu ada acara syukuran di rumah orang tuaku sendiri. Semua karena aku punya istri, tetapi tidak ada satu kabar pun diberikan kepadaku,” balas Gio seraya menarik kursi meja rias dan berhadapan dengan Belinda yang tampak tidak nyaman ditatap sangat dekat oleh Gio.
“Sebentar ya, Mas. Aku pakai pakaian dulu,” jawab Belinda seraya melarikan tatapan matanya ke arah gaun tidur yang sudah ia gantung tak jauh dari ranjangnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
“Tadi aku sudah mau telepon Mas pakai telepon rumah. Tapi, Mama bilang sudah mengabari, Mas.”
“Jadi maksudmu semua salah Mama dan aku?”
“Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, Mas,” jawab Belinda seraya bangkit dan meraih gaun tidurnya.
Ia berbalik dan hendak menuju kamar mandi saat pergelangan tangannya dicekal erat oleh Gio.
“Lepaskan Mas, aku pakai pakaian dulu.” Seketika bulu kuduk Belinda meremang karena sentuhan sang suami dan juga suhu ruangan yang rasanya tidak sehangat tadi, padahal ia sudah yakin telah menutup rapat semua jendela.
“Kenapa tidak memakai pakaian di depanku? Apa yang mau kamu tutupi? Semua sudah aku lihat.”
“Itu, bukan begitu.” Belinda sungguh malu dan tidak terbiasa. Gio yang selama ini ia tahu adalah pria yang tidak pernah peduli bahkan Belinda yakin jika Gio saat tertentu melupakan keberadaannya. Belinda menunduk dengan wajahnya yang merona dan memilih menatap jari kaki suaminya.
“Apakah jari kakiku lebih tampan dari wajahku?” tanya Gio seraya mengapit dagu Belinda dan memaksa wajah cantik itu untuk bersitatap dengannya.
Gio mengakui bahwa Belinda memiliki kecantikan alamiah, tanpa repot berdandan dengan banyak riasan wajahnya. Wajah mungil itu sudah bisa menarik banyak pandangan pria tertuju hanya kepadanya. Bulu mata lentik seperti tirai yang menutupi bola mata hitam kecoklatan. Bibir yang mengundang kecupan. Gio menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ia menunduk dan menarik pinggang sang istri merapat dan melumat bibirnya.
Belinda yang tidak siap dengan serangan tiba-tiba dari Gio, mendaratkan kedua tangannya pada dada suaminya dan meremas kaos yang menjadi penghalang di antara keduanya. Bibirnya yang setengah terbuka, dimanfaatkan oleh Gio dengan menyusupkan lidahnya dan menari bersama. Belinda merasakan ciuman kali ini sangat berbeda, tetapi benaknya menegur agar ia tidak mudah terbuai dengan rayuan maut dari lidah Gio yang sudah sangat ahli memperdaya wanita. Buktinya selama pernikahannya, sudah berapa saja wanita yang dibawa suaminya ke rumah dan menghangatkan ranjangnya di samping kamar yang ditempati oleh Belinda. Bahkan seingat Belinda saat mereka bercinta sekalipun Gio tidak pernah menciumnya sedalam ini. Gio lebih sering menggigit bibir bawahnya hingga berdarah dan menyesapnya. Nafsu besar sang suami kadang membuat ia kualahan.
Gio memiringkan kepalanya dan memperdalam aksi lidah dan lumatan bibirnya pada Belinda. Ada rasa yang berbeda yang ia rasakan, saat mencumbu Belinda kali ini. Namun, ia seketika teringat bahwa sang istri baru saja melahirkan. Walaupun tubuh yang baru saja melahirkan itu memang terasa berbeda dalam pelukannya, semakin terasa pas dengan beberapa tempat yang lebih berisi. Gio meninggalkan bibir Belinda dan beralih pada dagu dan leher wanita itu, meninggalkan tanda di sana, lantas melepaskan Belinda begitu saja.
“Apa yang kamu lakukan kepadaku?” tanya Gio dengan suara dalam dan penuh tuduhan.
“Apa?” tanya Belinda balik dengan raut wajah kebingungan. Ia masih berusaha mencerna dengan semua yang baru saja dilakukan oleh Gio. Belinda mengatur napasnya. Detak jantungnya jelas tidak beraturan kali ini. Ia khawatir jika suaminya akan mengetahui hal itu. Lantas ia segera melepaskan pegangan tangannya, seolah memegang bara api, dengan berlari kecil menyambar gaun tidur yang tadi jatuh dari tangannya dan masuk ke kamar mandi.
“Aku belum selesai bicara denganmu, Linda,” kata Gio dengan geraman.
“Tunggu sebentar,” jawab Belinda dari balik pintu kamar mandi.
Sembari menunggu Belinda keluar, pandangan Gio tertuju kepada bayi mungil yang tertidur nyenyak di tengah ranjang. Jelas ia tidak bisa memungkiri bahwa bayi itu adalah darah dagingnya. Rupa mungil itu adalah miniatur dirinya dahulu kala. Bahkan foto dirinya saat bayi masih tergantung di ruang tengah keluarga ini. Sebagai anak tunggal jelas saja hanya foto dirinya yang memenuhi hampir di seluruh penjuru rumah ini. Orang tuanya dengan bangga memamerkan foto dirinya kepada keluarga dan para tamu yang datang. Rasa ragu dan didorong oleh dirinya yang teringat dengan perkataan jahatnya sendiri terhadap bayi malang tak berdosa itu, membuat Gio hanya terpaku di tempatnya dan hanya bisa menatapnya. Langkahnya terasa berat dan terpatri tetap di tempat sampai akhirnya Belinda keluar dan tampak sangat cantik. Tatapan Gio beralih pada wanita itu.
“Mas, sudah makan?” tanya Belinda memecah kecanggungan. Lagi pula mereka masih berstatus suami istri bukan. Masih menjadi tugas Belinda untuk memastikan kebutuhan sang suami terpenuhi.
“Sudah, aku makan ayam bumbu rujak yang dibawa Adi tadi sore.”
Mata Belinda membulat terkejut akan pengakuan sang suami. Ia sungguh tidak menyangka setelah kemarahan pria itu kemarin dan menyinggung perceraian yang diutarakan sang mama mertua. Pria itu masih sudi memakan makanan olahan tangannya.
“Aku ingin kopi,” kata Gio kemudian dan berbalik menuju pintu.
“Ayo, buatkan aku kopi,” tambah Gio lagi tanpa membalikkan tubuh.
Belinda tersenyum tipis dan merasa lega, paling tidak suaminya tidak mengajaknya bertengkar malam ini. Ia memastikan guling dan bantal di sekitar putrinya cukup aman melindungi putri kecilnya sebelum menyusul Gio.
Kedua mertuanya masih berada di luar dan sedang menyaksikan siaran malam saat ia melewati mereka dan mendapatkan senyuman lembut dari keduanya. Belinda membalas senyum penuh arti tersebut dan menyusul Gio yang berada di ruang makan. Ini juga merupakan hal baru bagi Belinda yang selalu mendapati sang suami berada di ruang tengah bercengkrama bersama dengan selingkuhannya, sementara Belinda yang menyajikan semua yang mereka berdua butuhkan, bagaikan pembantu.
Belinda melewati Gio tanpa berkata apa pun dan meraih cangkir di meja pantry dengan cekatan ia segera menyeduh kopi sesuai dengan selera Gio.
Gio menatap gerak gerik Belinda dalam diam seraya berpikir dengan setiap ucapan sang mama saat berada di rumah sakit kemarin. Benarkah wanita yang sedang membuatkan ia kopi panas itu sempat mengalami depresi. Gio tidak akan percaya begitu saja tanpa menyakan hal itu kepada Belinda langsung.
Belinda membawa secangkir kopi dan pisang goreng kehadapan Gio dan meletakkan di meja.
“Siapa yang menyuruhmu membawakan pisang goreng.”
Wajah Belinda tampak terkejut dan dengan gugup ia menjawab, “Emm ... itu tadi inisiatifku saja. Kalau tidak mau biar aku ambil saja.”
Tangan Belinda terulur hendak mengambil kembali kecil berisi pisang itu, tetapi seketika dicengkeram oleh Gio dengan sekali hentakan dan mendudukkan Belinda ke atas pangkuannya.
“Aku tidak bilang, tidak mau, bukan?”
Belinda hanya mengangguk menanggapi. Ia sangat bingung dengan perubahan sikap suaminya ini. Belinda sampai tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini.
“Katakan padaku, apakah kamu sempat mengalami depresi selama kehamilanmu?”
Belinda yang merasa canggung karena perubahan sikap Gio. Mencoba melerai pelukan suaminya itu. Sudah beberapa kali usahanya selalu gagal, bahkan Gio menyuruhnya untuk bersandar pada dada bidang suaminya, tidak ia turuti. Semakin kuat Gio memaksa, semakin punggung Belinda menegang dan kaku melawan. Sementara Gio, seperti tidak terganggu dan asik menikmati kopi dan pisang goreng.
“Jawab aku!”
“Tidak. Tidak ada gunanya aku melakukan itu hanya akan merugikan dirimu dan janinku tentu saja.”
“Kamu yang buat pisang goreng ini?” tanya Gio merubah topik pembicaraan, saat Belinda meraih jemari kiri tangannya hendak melerai tekanannya pada perut wanita itu.
Belinda menggeleng seraya menunduk, ia jelas merasakan ketidak nyamanan dengan sikap hangat suami yang selama ini ia ketahui sangat dingin dan tidak berperasaan kepadanya. Terlebih setelah mencaci maki, tidak menyukai anaknya lantas tiba-tiba berubah seolah selama ini ia peduli. Belinda tidak siap dengan semua ini. Jangan tanya hatinya, ia sama sekali tidak tahu apa yang ia rasakan kepada suaminya itu. Yang ia tahu hanya menjalankan kewajiban sebagai istri dan menantu yang baik. Sekaligus mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu Gio mendepaknya dari kehidupannya. Sudah beribu kali Gio mengatakan kepadanya, bahwa hanya Tasia wanita yang ia cintai dan tidak ada tempat untuk Belinda di hati pria tampan itu.
Belinda berusaha sangat keras memunguti harga diri dan kendali dirinya agar tidak lagi menjadi alas kaki bagi pria yang memangkunya saat ini.
“Siapa yang buat?” Gio terlihat sekali berusaha membangun percakapan biasa tanda ada kalimat penuh kebencian. Ia sendiri bingung, entah kemana amarah dan rasa tidak sukanya melihat wanita yang selama ini ia benci ini. Harum tubuh Belinda perpaduan antara bedak bayi dan harum air susu menimbulkan suatu perasaan lain. Tak Gio sangka memeluk wanita ini tidak buruk juga. Tubuh yang berisi di tempat yang tepat seperti saat ia mencumbunya tadi.
“Mungkin Mama atau Mbak Ambar. Emm ... aku rapikan tempat tidur dulu, ya,” pinta Belinda memberanikan diri kali ini. Dadanya bergemuruh kencang, sungguh ia masih takut mengundang kemarahan Gio dan memancing pria itu untuk berkata kasar seperti pribadinya yang biasanya.
Gio mengurai pelukannya dan membiarkan Belinda menggeliat bangkit dari pangkuannya. Gio tidak melepaskan tatapannya pada Belinda yang menghilang di kamar samping kamar yang ia tempati bersama dengan bayi itu.
