Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10 MENCARI PERHATIAN

Belinda menatap sekitar kamar tamu itu sekali lagi dan mengecek perlengkapan di kamar mandi untuk Gio sebelum akhirnya keluar. Ia melirik pada meja makan yang sudah tidak terlihat keberadaan Gio begitu juga di ruang tengah. Tak tampak adanya pria itu dan juga kedua mertuanya. Belinda bergegas menuju pintu kamarnya, saat terdengar rengekan putrinya. Ia kembali tertegun saat mendapati Gio sedang berselonjor di atas sofa dengan memangku laptopnya, terlihat santai dan tidak terganggu dengan rengekan bayi mungil itu.

Belinda lantas berbaring miring memunggungi Gio untuk menyusui sang bayi. Bunyi kecap mulut Nyra menikmati sumber gizinya memenuhi kamar yang hening beradu dengan deru dari pendingin ruangan yang dihidupkan rendah. Belinda menunduk menatap wajah sang bayi yang merupakan duplikat pria tampan yang masih fokus dengan laptop dan kacamata baca bertengger di hidung mancungnya. Belinda mengusap puncak kepala sang anak sampai berhenti pada telapak kakinya, mengusap punggung mungil itu sampai terlelap kembali. Belinda merasakan ada pergerakan di belakang tubuhnya, lampu utama telah dimatikan oleh Gio tersisa lampu tidur yang menyala remang-remang lantas disusul suara denting sabuk yang terbuka dan saat kantuknya datang ia merasakan lesakan pada ranjang di belakangnya. Pria itu, setelah berbulan-bulan lamanya kembali berbaring di sebelahnya.

Belinda sangat ingat saat malam terakhir mereka tidur bersebelahan adalah hari saat malaikat mungil ini tercipta. Saat benih pria di belakangnya ini membuahi sel telurnya. Belinda tidak berani bergerak karena lengan kekar Gio menempel pada punggungnya, terlebih hembusan napas pria itu terasa membelai pada tengkuknya. Hal ini jelas diluar bayangan Belinda akan terjadi. Belinda bangkit perlahan kemudian dalam posisi duduk tanpa berani menoleh ke arah Gio, ia menggeser Nyra ke pinggir untung saja ranjang itu sengaja di pindah untuk menempel ke tembok pada satu sisinya. Belinda kemudian membetulkan bantal dan kembali membaringkan tubuhnya dan menarik selimut sampai sebatas bahu.

Rasanya baru saja matanya terpejam, selimutnya tersingkap sedikit dan sebuah lengan kekar melingkari tubuhnya dan mendarat mengusap perutnya dengan lembut.

“Tutup matamu, aku tahu kamu belum tidur.”

Belinda tidak menyahuti ucapan Gio dan berusaha mengabaikan belaian Gio sampai kantuknya datang membawanya pada tidur nyenyak dengan seulas senyum dalam tidurnya. Senyum itu tak luput dari penglihatan Gio yang sengaja mengangkat wajahnya menatap wajah cantik Belinda.

Sampai pagi menjelang dan Belinda membuka matanya, Gio yang kini dalam posisi menelungkup sebelah tangannya masih melingkari perut Belinda. Belinda dengan perlahan memindahkan lengan Gio dengan perlahan agar tak mengusik tidur pria itu. Namun, baru saja Belinda melepaskan pegangannya ponsel Gio yang berada di nakas berdering nyaring. Belinda melirik pada Nyra yang tidak terusik dengan suara dering ponsel itu, ia menghembuskan napas lega. Baru sesaat ia merasa lega, pria di sampingnya bangun dan segera menyambar gadgetnya.

“Kita bertemu di bandara. Aku akan berangkat dari rumah mama.”

Hanya itu yang bisa Belinda tangkap dari beberapa lamanya sang suami mengangkat telepon entah dari siapa. Belinda membetulkan posisi guling untuk menyekat sang putri sebelum bergeser ke tepi ranjang yang kemudian terhenti saat lengannya ditahan oleh sebuah cengkraman kuat dari siapa lagi jika bukan dari Gio.

Belinda menatap pada tangan Gio yang mencengkeram kuat tangannya lantas pindah pada wajah pria itu yang kembali datar dan dingin, balas menatapnya tajam seolah ia telah kembali berbuat salah.

“Dengar baik-baik, aku akan pergi ke Jepang selama seminggu dan kamu sama sekali tidak boleh meninggalkan rumah mama. Bahkan untuk bertemu dengan teman kerjamu sekali pun terutama laki-laki. Mengerti? Oh ya, lain kali info dulu jika akan mengadakan syukuran seperti hari ini.”

Belinda mengerutkan dahinya tampak keheranan dengan segala pesan yang disampaikan oleh Gio. Pasalnya selama ini pria itu tak pernah ambil pusing dan tidak pernah berpamitan dengannya untuk pergi ke mana saja. Terlebih melarang dengan siapa Belinda bertemu.

Belinda mengerjap saat ia baru menyadari bahwa Gio sudah melepaskan cengkramannya dan berjalan menuju kamar mandi serta berkata, “Siapkan baju bepergian dan sarapan untukku.”

Belinda lantas bangkit dan meraih koper yang dibawa suaminya semalam. Dalam benaknya bertanya-tanya dengan siapa suaminya akan berangkat saat ini. Apakah bersama dengan Tasia yang merupakan sekretaris pria itu, pasti begitu karena Gio yang saat ini berada di rumah mamanya pasti tidak ingin mengambil resiko bertemu dengan wanita itu dan memilih bertemu dengannya di bandara.

Ingatan Belinda terlempar pada empat tahun yang lalu lebih tepatnya dua hari setelah pernikahannya. Belinda baru saja selesai membuat sarapan saat bel pintunya berdering. Imay berderap membuka pintu dan muncullah Tasia dengan gaun santai berwarna putih dengan topi lebar menempel membungkus kepalanya dengan cantik. Dari pintu penghubung Belinda melihat Gio yang menyambut Tasia dengan pakaian serba putih sama dengan yang digunakan oleh Tasia. Gio tersenyum mendekat ke arah Tasia, merengkuh wanita itu dan mencumbunya melepas kerinduan yang terpendam. Sementara Belinda saat itu yang bersumpah tidak merasakan perasaan pada pria yang menjadi suaminya itu, serasa seperti tersiram bongkahkan es yang kemudian membekukan jantung dan hatinya. Bagaikan robot Belinda berbalik badan dan kemudian memulai sarapannya di meja dapur yang sempit, memunggungi kedua sejoli yang masih saling memagut menghadap ke arah jendela meraih cangkir tehnya dan berharap cairan hangat itu sedikit bisa menghangatkan hatinya yang membeku. Belinda menyadari cinta dan kasih sayang tulus tidak akan pernah ia dapatkan dari pria mana pun.

Belinda terngiang ucapan pria itu yang tidak akan mengadakan bulan madu dengannya. Jelas pria itu sudah memiliki rencana ke Yunani bersama dengan kekasih sesungguhnya yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tasia.

“Kamu tidak menawari Tasia sarapan? Nyonya rumah seperti apa kamu ini?” tegur Gio.

“Oh, maaf aku pikir kalian tidak sudi makan sarapan buatanku,” jawab Belinda seraya berbalik badan.

“Aku sudah siapkan semuanya di meja makan. Silakan nikmati,” imbuhnya lagi.

Gio menatapnya dengan tajam sementara Belinda berusaha sangat keras menunjukkan wajah yang tidak terpengaruh dengan keberadaan dua orang itu yang menempel bagaikan amplop dan prangko.

Belinda mendesah lega setidaknya saat ini kejadian itu tidak lagi terulang, melihat pria itu melangkah keluar dari rumahnya untuk pergi dengan wanita itu. Namun, sepertinya impian itu kandas saat ketukan di pintu datang bersamaan dengan Gio yang keluar dari kamar mandi berbalut handuk dari pinggang ke bawah.

Belinda membuka pintu dan melongok keluar mendapati Ambar sudah berdiri di depan pintu seraya menyengir sungkan.

“Ada apa, Mbak?” tanya Belinda.

“Itu, sekretarisnya Mas Gio ada di sini.”

Belinda yang mendengar info itu merasa dadanya kembali tertempel oleh bongkahan es tak kasat mata.

“Baiklah, aku akan bilang Mas Gio, ya. Makasih Mbak Ambar.”

“Sabar ya, Mbak Linda,” kata Ambar dengan penuh simpati sebelum berlalu.

“Siapa?” tanya Gio saat Belinda berbalik tanpa menutup pintu.

“Kekasihmu datang,” jawab Belinda yang kemudian berbalik keluar dan menutup pintu di belakangnya tanpa menunggu reaksi Gio.

Gio yang masih merapikan pakaiannya hanya berkacak pinggang seraya menatap pintu yang tertutup.

Belinda memang sengaja berlama-lama di dapur dan menyibukkan diri membersihkan perabotan sesudah membuat sarapan tadi. Padahal semua hal itu bisa dilakukan para pekerja mertuanya. Namun, ia dengan sengaja mengambil alih dan menyuruh Ambar dan Sani untuk berbelanja ke pasar.

“Apakah Mama sudah kehabisan pembantu hingga perabotannya kamu juga yang harus mencuci?” tegur Gio yang sudah rapi seraya berkacak pinggang berdiri di pintu penghubung dapur dan ruang makan.

“Tidak, aku sudah terbiasa mencuci. Kalau-kalau kamu lupa. Mbak sedang ke pasar, aku ingin membuatkan sup buntut pesanan Papa,” jawab Belinda yang hanya menoleh sekilas ke arah Gio sebelum berkutat dengan busa sabun kembali.

“Kamu bisa sarapan dulu, nanti terlambat. Tidak baik membiarkan tamu menunggu,” imbuhnya.

Belinda tidak lagi mendengar suara Gio, tetapi terganti dengan langkah berat mendekat dan menggeser kursi dapur.

“Buatkan aku kopi,” pinta Gio sejurus kemudian.

Belinda yang memang sudah selesai mencuci kemudian segera membuatkan pria itu kopi. Belinda sejatinya ingin mengulur waktu, karena ia sangat enggan untuk bergabung bersama dengan Tasia di meja makan. Ia berdoa dalam hati semoga saja anaknya bangun dan merengek.

Eni datang seraya menggendong Nyra yang merengek bersamaan dengan Belinda yang meletakkan cangkir kopi di depan Gio.

“Bergabunglah di meja makan, aku urus Nyra dulu,” pinta Belinda dengan lembut.

Tanpa mengatakan apa pun Gio bangkit dan berlalu meninggalkan kopi yang masih mengepul di meja.

Belinda mendesah panjang sebelum mengambil alih Nyra dan dengan sebelah tangannya yang lain membawa cangkir itu ke ruang makan serta menaruhnya di depan Gio.

Gio melirik tangan Belinda yang meletakkan cangkir dengan berdiri miring. Gio duduk di seberang Tasia persis di sebelah mamanya berada.

Sementara Belinda tak sudi sedikit pun menatap pada wanita kekasih suaminya itu. Belinda kembali mendesah panjang saat Gio melayangkan protes.

“Aku sudah mengambil nasi Linda. Nanti tidak enak kopinya dingin,” keluh Gio, “baru sehari di rumah mama sudah membuat kamu lupa kebiasanku, ya?”

“Nanti aku buatkan lagi, makanlah,” kata Belinda dengan nada yang tenang dan lembut. Ia menguatkan hatinya dari suara ketus sang suami. Belinda menggerutu dalam hati.

Dia yang meminta kopi dan sekarang dia mengambil nasi. Salah siapa sebetulnya?

Sharhan yang tidak suka dengan sikap anaknya yang manja mengulurkan tangannya ke arah kopi yang masih mengepul itu. “Sini, kopi itu buat Papa saja. Kemarin Papa dibuatkan kopi sama Linda enak sekali.”

Gio mengerutkan dahinya dan menatap tidak percaya kepada papanya. “Papa biasanya tidak suka minum kopi selain buatan Mama.”

“Sekarang suka. Kopi tubruk buatan menantu Papa enak sekali.”

Belinda kembali meraih cangkir itu dan menggesernya ke depan sang mertua.

“Sudah ya, nanti aku buatkan lagi. Aku mandikan Nyra dulu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel