Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8 FAKTA

Gio keluar dari kamar mandi dan menatap pada ranjang yang sudah dirapikan oleh Imay. Ranjang di mana seharusnya ia menghabiskan waktu rehatnya bersama sang istri. Walaupun sudah dirapikan, tetapi terlihat sekali bantal mana yang sering di pakai dan tidak. Begitu pula dengan ranjang. Bagian seharusnya tubuhnya berada lebih rata dari pada bagian Belinda berada, begitu juga bantal. Aroma dan sentuhan wanita itu pada kamar dan rumah ini masih sangat kental.

Gio menemukan Imay sedang membawa pot yang berada di ruang itu ke arah luar dan bertanya, “Mau kamu bawa ke mana May?”

Imay berbalik badan dan menjawab, “Ini mau saya taruh luar. Mbak Linda pesan dua hari sekali untuk dibawa keluar digantikan dengan tumbuhan yang lainnya.”

“Ya sudah lakukan. Apalagi yang dia perintahkan?” tanya Gio yang menatap sekelilingnya.

Gio baru menyadari jika rumahnya sudah kehilangan unsur maskulin dan tergantikan dengan kehangatan hunian rumah tangga dan banyak unsur alam. Memang dirinya yang membebaskan pada Linda untuk menata rumah itu. Terlihat dari pot-pot tanaman hias asli yang menghiasi hampir di seluruh sudut rumah alih-alih koleksi guci keramik mahal seperti milik mamanya. Bantal dan alas sofa yang bersarung rajutan buatan tangan Linda. Hiasan dinding yang dilukis asli, alih-alih memakai wallpaper. Gio merutkan dahinya semakin dalam, pikirannya mempertanyakan siapa orang yang melukis tembok rumahnya? Sementara ia tahu pasti tidak ada satu orang pun, orang asing yang masuk ke rumahnya ini kecuali ia mengijinkan.

“Kamu tahu siapa yang melukis tembok rumahku?” tanya Gio kepada Imay yang memang sejak dahulu ikut dengannya sebelum ia kembalikan ke rumah orang tuanya dan kini kembali ke sini.

“Mbak Linda yang membuat gambarnya, semuanya Mas. Yang mengecet ulang juga mbak Linda dibantu sama Bapak.”

“Masa?”

“Iya, Mas. Mbak Linda sejak tidak lagi bekerja di kantor, beliau mengerjakan gambar dari rumah dan dikirim lewat laptop ke temannya. Ada juga yang dia kirim gambarnya. Saya sering temani Mbak Linda ke ekspedisi untuk kirim kertas gambar.”

“Maksudmu dia arsitek?”

“Iya, ‘kan Mbak Linda meneruskan sekolahnya dan sudah wisuda tiga tahun yang lalu,” kata Imay.

Sejatinya, ia tidak ingin mengumbar rahasia kecil antara dirinya dan majikan wanitanya itu. Namun apa mau dikata, ia sangat gemas dengan majikan lelakinya ini, biar saja dia tahu siapa sesungguhnya istrinya dan betapa berharga wanita itu. Bukan hanya istri yang berpangku tangan menerima jatah dari suami tetapi tetap bekerja demi menyibukkan diri dan menuntut ilmu.

“Dari mana dia dapat uang melanjutkan pendidikannya?”

“Dari beasiswa, Mas. Mbak Linda kan ikut kelas malam. Mas Gio sih, kalau pulang kerja selalu larut. Jadi, Mbak Linda sudah ada di rumah kalau pas Mas baru pulang.”

“Kamu yakin dia tidak menggunakan uang dari pemberianku?”

Imay mengangguk dengan antusias. “Sangat yakin,” balas Imay sembari ke dapur dan mengambil tas kecil miliknya kemudian membuka tas tersebut dan memberikan sebuah dompet persegi panjang dan sebuah gadget tablet kepada Gio.

“Ini Mas, buku rekening dan uang belanja sampai hari kemarin. Untuk rinciannya ada dicatat di sana. Mas bisa cek untuk tahu pengeluaran selama ini. Begitu pesan Mbak Linda.”

“Kok kamu tahu semua?” Gio tidak menutupi rasa kagetnya.

“Saya dulu diajarin Mbak Linda untuk membuat laporan pengeluaran rumah ini. Mbak Linda berpesan supaya Mas tahu ke mana hasil jerih payah Mas terpakai.”

Gio duduk di kursi makan seraya memeriksa isi gadget tersebut beserta dengan dompetnya. Dahinya mengernyit keheranan, nominal di tabungan tersebut hanya berkurang tidak sampai setengah dari saldo yang ada. Selama mereka berumah tangga Belinda selalu mencetak bukti transaksi sebulan empat kali sesuai dengan keterangan yang ada. Kartu ATM dan juga buku tabungannya juga utuh, tidak berkurang seperpun selain tagihan bulanan Bank. Seharusnya Gio senang jika terbukti Belinda bukan wanita murahan seperti yang selalu ia tuduhkan. Gio meletakan semuanya kembali pada tempatnya dan menatap pada Imay yang sedang mengeluarkan satu kotak makanan berisi lauk dan menggantinya dengan bahan makanan yang baru.

“Apa itu?” tanya Gio.

“Ayam bumbu rujak, Mas. Tadi sore Bapak yang bawakan katanya dari Mbak Linda. Saya titip di sini karena kulkas di rumah belakang baru besok datang.”

“Masakan Linda?”

“Iya,” jawab Imay singkat. Ia sendiri keheranan dengan majikannya satu ini. Dari tadi mengulang-ulang kalimatnya.

Jangan-jangan sudah terkena sindrom kehilangan istri, syukurlah biar kapok.

“Kalau begitu siapkan untuk makan malamku dan rebuskan aku pokcoy. Linda selalu siapkan itu untuk teman ayam rujaknya.”

“Ayam bumbu rujak, maksudnya?”

“Iya. Itu maksudku. Sudah jangan banyak tanya cepat siapkan,” kata Gio sembari bangkit dan membawa gadget serta dompet tersebut kembali ke kamar.

“Panggil aku jika sudah siap,” imbuhnya sebelum menghilang di balik pintu.

“Siap, Bos,” balas Imay seraya membuat tanda hormat dengan tubuh tegap.

Imay mengulum senyum seraya menyiapkan semua yang majikannya minta.

“Sebetulnya cinta, tapi gengsi. Makanya, jadi laki jangan jahat-jahat,” gumamnya.

“Siapa jahat?” tanya Adi yang sudah berdiri tak jauh dari Imay berada.

“Aduh, Bapak ngagetin aja,” kata Imay seraya berbalik badan dan menekan dadanya.

“Itu majikanmu,” sungutnya.

“Sebetulnya cinta, tapi kelakuan kayak setan. Lihat nih lauknya seharusnya buat kita eh dia yang minta.”

“Emang begitu dia. Biarkan aja, nanti juga pasti cari Mbak Linda dia.”

Bunyi suara pintu yang dibuka dan suara langkah kaki yang tergesa membuat sepasang suami istri itu membalikkan badan dan memeriksa ke arah sumber suara. Mereka berhenti pada pintu penghubung ruang tengah dan mendapati Gio memasuki pintu yang selama ini selalu digunakan Belinda untuk bekerja. Keduanya masih bergeming di tempatnya seraya tetap lekat mengamati tingkah majikannya itu.

Gio, setelah menyimpan pemberian dari Imay, menjadi penasaran dengan kegiatan Belinda yang tidak ia ketahui. Bagaimana bisa wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu wisuda, menyandang gelar arsitek, sementara dirinya tidak tahu menahu tentang hal itu?

Gio membuka pintu yang terdapat tulisan Baby room menganggantung di tengah pintu. Ia mengedarkan pandangan dan hanya mendapati satu ranjang berukuran queen, alih-alih bok bayu dengan berbagai macam ciri khasnya yang terlihat bahwa itu adalah kamar anak-anak hanyalah satu buah lemari bergambar barbie dan beberapa boneka di atas tempat tidur. Gio mendekati meja yang terlipat menempel di dinding. Benar sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Imay, peralatan gambar Belinda ada di sana. Begitu juga satu keranjang berbentuk silinder berisi kertas kalkir.

Gio semakin mengerutkan dahinya saat mendapati beberapa pakaian istrinya di dalam lemari bersebelahan dengan pakaian bayi. Tumpukannya berkurang banyak. Ia kembali menatap ke arah pintu dan kembali masuk ke kamar memeriksa walking closet. Gio bersandar lemas pada kusen pintu. Tidak ada satu helai pun pakaian istrinya berada. Dengan melihat jumlah pakaian yang berada di kamar sebelah tadi Gio yakin jumlahnya tak lebih dari dua koper ukuran besar. Pantas saja istrinya tidak pernah menggunakan uang haknya untuk berbelanja kebutuhannya sendiri. Hanya ada syal berwarna merah sebagai pemberiannya saat sang istri memberitahukan bahwa ia hamil. Syal itu masih terbungkus rapi dalam kotak berwarna hitam dengan pita merah di atasnya. Gio membuka tutup kotak tersebut dan melihat tulisan tangannya. Ia tahu dirinya sangat dingin sama dengan tulisan bertinta hitam yang ada di sana. Jaga anakku, begitu bunyinya. Tidak ada kalimat rayuan, pujian atau bahkan tanda terima kasih telah mengandung buah cinta mereka. Gio tersenyum miring. Cinta? Ia bahkan menyangsikan bahwa Belinda memiliki rasa itu untuknya. Mengingat kelakuannya yang tidak pernah baik pada wanita tersebut.

Gio ke rumah orang tuanya selesai makan malam. Ia tidak ingin tidur di rumah itu sendirian. Gio melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi lampu masih menyala dengan terang.

“Mama, Papa kok belum tidur?” tanya Gio seraya menatap keheranan pada beberapa pekerja yang masih merapikan karpet di ruang tengah yang luas dan beberapa orang lainnya menyusun kembali kursi berukiran kembali ke tempatnya.

“Seperti yang kamu lihat, kami baru saja selesai acara syukuran cucu pertama kami.”

“Kenapa Gio tidak diberitahu?”

“Untuk apa? Bukankah kamu tidak menginginkan anak perempuan?” tanya Sharhan.

“Papa, tolong jangan mulai deh,” protes Gio.

“Kamu yang mulai duluan. Bikin kesal orang tua saja,” balas Sharhan seraya menunjuk ke arah Gio dan berlalu dari sana.

Gio wajahnya memerah tersinggung karena perlakuan sang papa lantas menegur. “ngat Pa, Gio masih anak Papa.”

“Sayangnya begitu. Tetapi, walau kamu anakku. Belum tentu aku akan memberikan warisanku kepadamu. Rasanya aku saat ini berubah pikiran saja. Lebih baik aku memberikan hartaku pada anak yatim.”

“Pa, tidak bisa begitu dong. Ada anak Gio loh!”

“Anak yang mana? Nyra maksudmu? Dia sudah mendapatkan bagiannya begitu juga istrimu. Mereka juga tidak butuh uang darimu.”

“Oh, pantas saja Linda mengembalikan dompet berisi buku rekening dan gadget yang ia pakai untuk membuat laporan keuangan rumah.”

Mala yang sedari tadi diam mendengarkan interaksi ayah dan anak itu akhirnya angkat bicara.

“Apa maksudmu laporan keuangan? Apa kamu pikir istrimu akan berlaku curang denganmu? Ini rumah tangga bukan perusahaan. Kamu ini tidak hanya brengsek, tetapi juga kikir ternyata, ya?!” Mala lantas berjalan meninggalkan Gio menyusul suaminya.

“Mama jangan lupa orang kikir ini masih anak kandungmu.”

“TERSERAH!” ujar Mala sengit sebelum masuk ke kamarnya.

Akibat terlalu emosi dirinya baru menyadari jika anaknya tidak biasanya berkunjung saat malam tiba dan kini ia datang. Mala membulatkan matanya saat menyimpulkan sesuatu yang ia khawatirkan. Ia yang sejatinya ingin mengganti pakaiannya dan menyusul sang suami berbaring akhirnya mengurungkan niatnya dan kembali berbalik keluar.

“Mau ke mana, Ma?”

“Mau lihat Linda dan Nyra. Mama takut Gio kemari memaksa mereka untuk kembali bersama dengannya.”

Sharhan yang baru saja tersadar akan pemikiran itu juga kemudian terduduk menyambar sarungnya dan segera menyusul sang istri yang sudah sampai di ambang pintu.

“Ayo kita lihat, kita awasi saja dulu ya. Biar mereka berbicara empat mata. Jika sampai Gio kasar baru kita bertindak,” usul Sharhan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel