7 RAHASIA KECIL
Gio menghela napas panjang. Ia tidak bisa mengenyahkan pikiran dari bayangan sosok yang sempat ia lihat tadi. Sepertinya ia ingat pernah bertemu tetapi di mana tepatnya. Dirinya mulai khawatir dengan kemunduran dirinya yang tidak bisa mengingat hal-hal yang terjadi pada beberapa masa dalam hidupnya. Seperti orang yang pernah menderita amnesia. Jika saja bukan karena ia anak pemilik perusahaan tidak mungkin seperti saat ini dirinya bisa menduduki jabatan ini.
Gio membetulkan posisi duduknya dan kembali menenggelamkan diri dalam pekerjaan hari ini. Setidaknya ia merasa lega bahwa Belinda bersama sang mama. Tidak akan ada lagi teror yang mengintai, itulah harapan terbesar Gio untuk saat ini.
Tasia memasuki ruang kerja Gio lantas memeluknya dari belakang. Pria itu sedang merapikan beberapa dokumen dan juga mematikan laptopnya. Sebelum meraih tangan Tasia dan melerainya dari usapan di dada.
Tasia menegakkan tubuhnya seraya mengernyit heran.
“Kamu berubah? Jangan bilang karena keberadaan bayi itu dan kamu mengalami sindrom ayah baru,” ujar Tasia sengit seraya mencebik. Kini matanya memicing menatap tajam ke arah Gio. Dirinya tahu, Gio kemarin tampak enggan meninggalkan rumah sakit tempat keberadaan Belinda dan sang bayi. Apalagi sikap sang mama yang dingin dan tampak memusuhi mereka berdua. Tasia tidak buta, ia tahu jika dirinya tidak di terima di dalam keluarga Gio. Namun, ia tidak peduli selama Gio masih menginginkan dirinya. Ia pasti akan bisa mencapai tujuannya.
“Apa sih yang kamu bicarakan?”
“Tidak biasanya kamu menolak pelukanku?”
“Aku sedang tidak ingin, dan ingat kita masih ada di kantor.”
“Sejak kapan kantor menjadi alasan? Bahkan kita pernah bercinta hampir disetiap sudut tempat ini,” kata Tasia seraya bersedekap di depan Gio, matanya tajam mengarah wajah Gio yang tampak lelah. Tasia benci karena kali ini tidak bisa menebak apa yang menjadi pemikiran pria itu.
“Aku tidak mau tahu, kamu malam ini harus tidur di rumahku. Jangan bilang kamu ingin memeriksa dia. Sudah ada mamamu yang mengurusnya,” imbuh Tasia.
“Aku tidak bisa.”
“Apanya yang tidak bisa? Kalau begitu aku yang ke rumahmu. Ingat besok siang kita pergi bersama ke Jepang. Aku sekaligus ingin menengok kedua orang tuaku.”
“Jangan. Malam ini aku ingin sendiri,” balas Gio seraya meraih jas kerjanya yang tersampir di kursi.
Tasia mendengkus tidak percaya dengan mata yang terpicing ke arah Gio. “Bilang saja, kamu ingin bertemu dengan dia.”
“Jangan mulai lagi deh. Kamu ingin kita bertengkar lagi?”
“Kamu yang menyebabkan semuanya,” kata Tasia seraya menusukkan jarinya yang berkuku sempurna pada dada bidang Gio yang tetap bergeming tak bereaksi dengan perbuatan Tasia.
“Aku tahu, dan aku mengaku salah. Semuanya sudah terjadi dan aku akan segera menebusnya. Sabarlah sebentar lagi.”
“Kamu tahu, usiaku tak lagi muda. Jika kamu mengulur waktu, aku akan mancari pria lain menjadi suamiku.”
“Coba saja dan aku akan menghancurkan pria itu. Aku tidak main-main Tasia. Kamu berani bermain api denganku. Aku pastikan kamu akan hangus terbakar.”
Gio lantas pergi dari hadapan Tasia dan tanpa menunggu wanita itu mengikutinya. Gio sudah menghilang dibalik lift bersama dengan para karyawan yang lainnya, meninggalkan Tasia dengan kemarahan tertahan bersandar pada meja kerjanya.
Gio kembali ke rumah dengan enggan, ia merasa tidak semangat seperti biasanya. Walaupun melihat wajah Belinda membuatnya jengkel, tetapi ia sudah terbiasa dengan keberadaan wanita itu yang selalu menurut segala hal yang ia pinta. Terlalu bodoh, lebih tepatnya. Di mana lagi ia bisa mendapatkan istri patuh dan tidak pernah memprotes segala perbuatannya? Semuanya memang terpaksa ia lakukan. Gio tidak mau mengambil resiko, rasanya di rumahnya seperti dipasang cctv tersembunyi, tetapi sejauh ini satu pun tidak ia temukan, kecuali memang beberapa yang memang sengaja ia pasang dan itu pun tidak bocor rekamannya. Sikap Belinda yang menjengkelkan adalah salah satu bentuk pertahanan wanita itu, Gio tahu, tapi tetap saja baginya itu menyakitkan. Meskipun perbuatannya tidak bisa dibenarkan juga.
Gio memang selalu menepati ucapannya, membawa wanita itu ke rumah agar membuat hidup Belinda tidak baik-baik saja. Ucapannya saat akan membuat hidup Belinda sengsara semakin menjadi saat ini. Namun hari ini, wanita yang baru kembali dari rumah sakit selepas melahirkan tidak kembali ke rumah yang ia bangun dengan hasil jerih payahnya ini. Tidak ada suara tangis bayi atau senandung lembut yang di dendangkan oleh Belinda saat menyiapkan makan malam.
Gio masuk ke rumah di sambut oleh Imay salah satu pekerja yang dikirim dari rumah orang tuanya. Imay juga yang memberitahu jika Belinda dan bayinya tidak lagi tinggal di sini sampai waktu yang tidak ditentukan. Gio harus melakukan sesuatu, ia tidak akan melepaskan Belinda begitu saja, wanita itu tidak bisa menggugat cerai dirinya. Ia tidak ingin membuat Belinda pergi dengan kepala terangkat. Ia yang satu-satunya orang yang menang dan memperoleh segalanya, bukan wanita dari keluarga miskin itu.
Gio melepas pakaiannya seraya berdecih jijik saat mengingat raut wajah kedua mertuanya itu. Raut wajah licik penuh tipu muslihat tidak akan bisa mengecoh Gio. Ia tahu ada yang tidak beres dengan kedua orang tua Belinda itu. Dan Gio sangat yakin sifat itu juga akan menurun pada putrinya. Sifat polos dan lugu seolah tidak berdaya yang ditunjukkan oleh Belinda bisa saja hanya sebagai kedok, aslinya bobrok total. Bisa saja pria yang ia dapatkan fotonya itu juga adalah kekasih Belinda di belakangnya. Ya, pasti begitu. Belinda pasti membalasnya yang senang selingkuh dengan perselingkuhan juga. Dalam hati Gio juga merasa lega, dengan adanya Belinda di rumah orang tuanya. Akses wanita itu untuk bertemu dengan kekasih hatinya pasti tidak akan bisa.
Senyum tipis dengan satu sudut bibirnya terangkat saat Gio menatap pantulannya di kaca wastafel.
Penjara sesungguhnya bukan di rumahku ini Linda, tetapi di rumah mama. Aku akan lebih leluasa mengawasimu. Batin Gio.
