Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6 PILIHAN JENDRA

Mala menatap cucunya dari kaca, sang cucu sedang di persiapkan untuk di bawa ke ibunya.

“Mama di sini?” sapa Gio. Begitu melihat sang mama di depannya.

Mala menoleh ke asal suara. “Loh, kamu masih di sini?” tanya Mala dengan keterkejutan yang tidak ia tutupi. Bukan karena hanya mendapati sang putra berada di sana, tetapi juga adanya Tasia bersama Gio.

“Pagi, Bu,” saja Tasia dengan senyum ramah.

“Pagi,” jawab Mala singkat sebelum kembali memusatkan perhatian kepada putranya.

“Katanya kamu tidak sudi melihat putrimu. Lantas apa yang kamu lakukan di sini? Pergilah kerja, raih pundi-pundi sebanyak yang kamu mau. Itukan yang kamu percaya bisa membahagiakanmu?”

“Mama bicara apa?” tanya Gio lirih, jelas tidak ingin menarik minat para Perawat yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Bicara Fakta. Oh ya, istrimu akan tinggal bersama dengan Mama nanti,” kata Mala sebelum berbalik menatap ke arah kaca dan raut wajahnya melembut.

“Mama tidak bisa melakukan hal itu,” protes Gio seraya menggeram lirih. Jauh dilubuk hatinya, ia tidak terima jika Belinda tidak berada di rumahnya, di dalam genggamannya.

“Siapa bilang Mama tidak bisa? Ada cucu Mama di sini, dan prioritas Mama adalah semua yang terbaik untuknya. Apa kamu tahu, wanita yang mengalami tekanan batin selama kehamilan bisa berpengaruh kepada kesehatan mental bayi sejak di dalam kandungan.”

“Siapa yang Mama maksud? Belinda terkena tekanan batin? Tidak mungkin dia mengalami hal itu, dia saja bahkan tidak mencintai Gio,” jawab Gio seraya mendengus kesal.

“Memangnya kamu punya istri yang lain? Tentu saja Belinda. Mama tidak peduli kamu paham atau tidak, toh kamu tak pernah ada untuk dia. Bagaimana mungkin kamu tahu perasaannya?”

“Pasti dia mengadu pada Mama,” tuduh Gio.

“Bukan dia. Mama tahu banyak hal, walaupun Belinda bungkam seumur hidupnya. Segala perbuatanmu di luar sana, Mama tahu semuanya,” ucap Mala melirik tajam ke arah Tasia sekilas yang lantas menunduk membuang pandangannya dengan wajah yang memucat.

Tasia menggigit bibir bawahnya dengan jantung yang berdentam keras. Ia sungguh gelisah sekarang dengan dugaan bahwa Mala mengetahui kelakuannya bersama dengan Gio. Akan sangat sulit baginya menarik simpati wanita tua itu agar menerimanya menjadi menantu saat nanti Gio telah menceraikan Belinda.

“Aih ... cucuku yang cantik. Boleh saya saja yang menggendong Suster?”

“Boleh, Bu, silakan.” Perawat Erna lantas memberikan bayi mungil itu kepada Mala yang membawanya ke ruang inap.

Perawat Erna mengiringi langkah Mala.

“Bapak dan Ibu tidak ikut masuk sekalian?” tanya Erna kepada Gio dan juga Tasia begitu mereka tiba di depan ruang inap Belinda.

“Tidak perlu, Suster. Mereka harus segera berangkat bekerja. Saya masih sanggup memberikan perhatian kepada cucu dan menantu saya.” Mala yang menjawab dari dalam ruangan Belinda.

Belinda sendiri masih berada di kamar mandi membersihkan organ intimnya yang terdapat jahitan dengan sangat berhati-hati meringis perih karena tak sengaja menekan kuat pada area tersebut.

“Linda, kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Mala yang masih bisa didengarkan oleh Gio.

Mala sendiri sengaja tidak menutup pintu dengan rapat setelah Perawat Erna pergi. Ia tahu Gio masih menunggu di luar.

Gio tidak berani masuk ke dalam, entah mengapa ia rasanya enggan membawa Tasia masuk. Sementara wanita itu duduk dengan muka tertekuk akibat merajuk.

“Ayo masuk!” ajaknya dengan suara lirih.

“Tidak usah, kita di sini saja.”

“Aku ingin melihat wajahnya, saat melihatku,” kata Tasia dengan raut kemenangan. Ia sangat yakin bisa memberikan keturunan laki-laki untuk Gio berdasarkan riwayat keluarganya yang lebih didominasi oleh kaum berhormon testosteron itu.

“Untuk apa? Kamu tidak dengar apa yang dikatakan Mamaku. Dia bisa tertekan melihatmu.”

Tasia mendengus seraya memutar bola matanya malas. “Dan kamu percaya begitu saja? Mamamu bahkan tidak pernah ke rumahmu. Kecuali jika wanita itu mengadu.”

Gio tidak membalas namun ia menatap Tasia dengan tatapan yang sulit diartikan, sementara wanita itu hanya bersedekap dan menyandarkan punggungnya santai pada kursi besi.

Tasia tertawa dalam hati, ia akan selalu menang menghasut Gio. Ia sangat percaya itu, Gio tidak akan pernah berpaling darinya. Tak berselang lama keduanya berjalan bersisian dan pergi dari rumah sakit. Dari belakang mobilnya sebuah mobil sedan berwarna putih membuntuti mobil mereka.

Pria di dalam mobil tersebut menghubungi seorang wanita. “Kamu harus bisa membantuku mendapatkan Belinda bagaimanapun caranya.”

“Aku akan usahakan. Tapi untuk saat ini aku tidak bisa keluar. Anakku masih sakit dan sekarang saja masih ada di Rumah Sakit.”

“Ck … kamu kan bisa minta tolong suamimu untuk menjaga anakmu sebentar. Temuilah Belinda.”

“Kenapa bukan kamu saja yang menemui dia? Bukankah kantor kalian berdekatan?”

“Dia sedang melahirkan bodoh! Kalau bisa, aku sudah pasti tidak akan meminta bantuanmu!” bentak Prastowo.

“Sabar Sayang. Aku pasti akan membantumu.”

“Sayang-sayang. Jangan panggil aku begitu. Buktikan saja jika kerjamu benar, karena jika tidak aku akan membuka kedokmu yang sebenarnya.”

“Jangan begitu. Aku pasti akan lakukan kok, tenang saja.”

Tak lama kemudian mobil yang dikendarai oleh Gio memasuki area perkantoran dan mobil sedan putih itu menepi dan berhenti di sana.

“Aku akan merebut Belinda, Gio. Kamu tidak pantas mendapatkan cintanya, begitu juga sahabat busukmu itu. Hanya aku yang pantas bersanding dengan dia,” gumam Prastowo.

Keesokan harinya Belinda dan bayi Nyra sudah diijinkan untuk pulang. Sesuai dengan permintaan Mala, Belinda membawa putrinya ke rumah mertuanya kali ini, bahkan Sharhan ikut menjemput menantu dan cucu pertamanya ke rumah sakit.

“Kamu tenang saja, suamimu tidak akan berani macam-macam ada Papa di sini,” kata Sharhan menenangkan Belinda.

“Papa kembali ke kantor dulu ya, ada rapat siang ini. Semoga saja suamimu juga hadir karena besok ia akan berangkat ke Jepang,” kata Sharhan yang kemudian menyematkan kecupan di dahi Nyra dan sang istri Mala dengan sebelumnya mengusap puncak kepala Belinda dengan lembut.

“Ma, suruh menantu kita untuk banyak makan yang bergizi, tubuhnya sudah seperti orang tidak terurus,” ujar Sharhan lagi dari ambang pintu sebelum berlalu.

Mala tersenyum dan mengangguk mematuhi perkataan sang suami.

“Kamu dengar bukan apa kata Papa, makan yang banyak dan sekarang istirahatlah, buat dirimu senyaman mungkin. Mama akan suruh Ndari membantu mengemasi pakaian kalian.”

Mala mengusap bahu Belinda lembut. “Pikirkan saja kesehatanmu dan Nyra. Mbak Anjar tadi pagi ke rumah kalian, tapi Gio tidak ada di rumah. Pak Adi juga menjaga rumah sekarang mengajak istrinya. Tidak tampak suamimu di sana,” tambahnya.

“Ma, boleh tidak Linda pulang sebentar mengambil surat-surat penting?”

“Ijazahmu maksudnya?”

Belinda mengangguk.

Kembali Mala melanjutkan perkataannya. “Anjar sudah mengambilnya. Ingat kata Mama, kamu tidak usah pikirkan perbuatan suamimu. Sekali-sekali anak itu harus diberikan pelajaran.”

Mala lantas berjalan ke meja rias dan membuka salah satu lacinya dan menunjukkan map merah dari mika. Belinda membalas dengan seulas senyum tipis. Lega, untuk saat ini. Mungkin ia akan mencari kesibukan setelah anaknya cukup umur sebagai modal jikalau memang kehidupan rumah tangganya tidak bisa dipertahankan. Ia harus bisa mencukupi kebutuhan sang anak. Tabungannya tidak cukup untuk saat ini, sementara meminta kepada mertuanya bukanlah pilihan yang baik. Mengingat tabiat suaminya yang selalu mengungkit pemberian mertuanya sebagai syarat agar ia mau menikah dahulu.

“Mama tinggal, ya. Ingat istirahat. Mama akan masakan makanan yang menyehatkan untukmu. Kamu pasti tahu selama empat tahun menikah hanya tiga kali kamu pernah menginjakkan kaki ke rumah ini, bukan?”

Mala mengangkat tangannya menghentikan Belinda yang hendak membalas perkataanya dan kembali berujar, “Mama tahu kalau Gio yang melarangmu.”

“Bagaimana Mama tahu?”

“Itulah sebabnya ia menyuruh semua pekerja kembali ke rumah ini dan dia bebas melakukan semua perbuatan bejatnya. Lantas kamu memilih diam, daripada bilang dengan Mama. Apa iya, kamu menunggu mati konyol dulu sebelum semuanya terungkap? Bertahan dalam kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis sama saja dengan kamu bunuh diri secara perlahan, Sayang. Tolong, berhenti siksa dirimu. Kamu berharga dan patut untuk mendapatkan cinta.”

Mala mendekati sang menantu dan mencium serta mengusap air mata Belinda yang tertumpah. Mala yakin, menantunya masih bisa diselamatkan dari pernikahan yang buruk. Ia tidak ingin menantunya mengalami nasib seperti orang tuanya dan lebih memilih mengakhiri hidup daripada bercerai. Untung baginya memperoleh suami yang baik seperti Sherhan. Hanya saja, kembali ia dihadapkan pada anak yang memiliki sifat seperti ayah kandungnya, membuat Mala kali ini tidak ingin memberikan angin segar kepada Gio. Gio harus berubah karena jika tidak, Mala sendiri yang akan memastikan putranya itu kehilangan istri yang baik dan anaknya.

“Makasih, Ma. Jika tidak ada Mama, Linda tidak tahu lagi harus bagaimana,” kata Belinda dengan lirih seraya menahan isak tangisnya agar bayinya tidak terusik.

“Tidak perlu berterima kasih pada Mama, Nak. Saat Papa dan Mama memintamu menjadi menantu kami, saat itu juga kami sudah menyiapkan lahir dan batin kami untuk menjadi orang tuamu juga. Perlakukan kami seperti kamu memperlakukan orang tuamu. Mama juga tahu bagaimana perlakuan orang tuamu kepadamu sebelum kamu menikah dengan Gio.”

Mata Belinda membulat, menatap sang mama mertua. “Maksud Mama?”

“Bekas cambukan di punggungmu itu tidak mungkin bisa ada di sana dengan sendirinya bukan?” kata Mala tanpa lagi ada yang disembunyikan.

Belinda membuang muka seraya menelan salivanya kasar. Ia malu dan merasa rendah diri saat ini, kehidupan masa lalu yang bobrok terbuka secara gambang sekarang. Ibu mertuanya mengetahui semua, sepertinya.

“Lihat Mama, Linda.”

Belinda mendongak menatap tepat manik mata peuh sorot cinta kasih itu.

“Mama tahu kehidupanmu berat, itu sebabnya Mama setuju saat Kakek Jendra memilihmu.”

Belinda tahu alasan kenapa pria tua baik hati itu memilihnya. Hanya saja, bagaimana bisa seorang yang baik hati itu sengaja menjodohkan ia dengan sang cucu. Padahal bisa saja sang cucu mendapatkan perempuan dari kalangan yang sama dan lebih cantik serta berkelas tentu saja, seperti Tasia misalnya. Ia tahu Gio sangat dekat dengan wanita yang menjadi sekretarisnya itu, kekasih sang suami tepatnya. Belinda juga heran, mengapa seorang dari keluarga kaya seperti Tasia masih bertahan bekerja sebagai sekretaris, alih-alih bekerja meneruskan usaha orang tuanya dalam bidang transportasi. Kalau hanya alasan cinta saja tidak mungkin. Belinda juga yakin jika Tasia pasti tahu sepak terjang Gio di belakangnya, ataukah mungkin Tasia yang mengatakan semua tabiat buruk Gio kepada mama mertuanya. Semua serba membingungkan untuk Belinda, dibutuhkan nyali yang besar untuk membuat masalah dengan Gio. Ia yakin suaminya tidak akan tinggal diam mencari tahu siapa orang yang membocorkan perbuatan semena-mena keluarganya terhadap mertuanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel