11 MEMBANDINGKAN
Tasia sedari tadi diam bergeming seraya mencengkram sendok dan garpu yang berada dalam genggamannya. Ia menatap tajam pada interaksi antara Belinda dan Gio. Ia sangat geram terhadap kedua orang itu, terutama Belinda yang tampak berada di atas angin karena ada mertua yang ada di sisinya.
“Ayo makan Tasia, hanya dengan dipandangi tidak mungkin lauk pauk itu akan pindah dengan sendirinya ke dalam perutmu,” ucapan Mala terdengar tajam, tetapi diucapkan dengan sangat santai oleh wanita itu.
Tasia kembali memusatkan perhatiannya pada piringnya dan ia bersumpah akan menumpahkan seluruh amarahnya kepada Gio nanti saat mereka sudah berdua. Benar dengan firasat hatinya, pria itu pasti semalam tidur bersama dengan istrinya. Maka dari itu ia tidak mau Tasia menjemputnya ke sini. Akan tetapi, bukan Tasia namanya jika tidak keras kepala dan melanggar perintah Gio. Tasia tidak akan memberikan celah sedikit pun pada Gio untuk dekat dengan Belinda. Tasia tidak mau Gio menaruh rasa pada Belinda. Selama ini ia telah berhasil dan akan terus begitu sampai Gio menceraikan Belinda lantas menjadi miliknya seutuhnya.
♥
Belinda menyerahkan Nyra pada Sharhan setelah sebelumnya ia dan juga putrinya itu membersihkan diri. Belinda lantas kembali ke dapur guna membuatkan kopi untuk Gio yang duduk berseberangan dengan kedua orang tua beserta dengan Tasia di sana. Belinda tidak menyadari tatapan menyelidik Gio sampai ia meletakkan cangkir di meja tepat di depan suaminya itu.
“Kamu mau ke mana berpakaian seperti itu?” tanya Gio yang keheranan dengan melihat Belinda yang sudah memoles wajahnya dengan riasan tipis dan gaun hijau botol tanpa lengan sepanjang lima centi di atas lutut, bahkan sepatu stiletto di dekat pintu berwarna kulit tak luput dari pandangannya.
“Aku mau ke kantor.”
“Kantor?” ujar Gio semakin keheranan.
“Kantor apa maksudmu?” pikiran Gio sudah mengelana jauh mengira-ira kantor apa yang Belinda maksud.
“Kantorku, mama dan papa sudah mengijikan aku untuk bekerja.”
“Aku masih suamimu jika kamu lupa,” balas Gio dengan tatapan tajam.
“Sebentar lagi kita sudah bukan suami istri lagi, Mas. Jangan bilang kamu akan menjilat ludahmu sendiri, karena aku masih mengingatnya dengan jelas.”
“Kamu serius?” tanya Gio memancing Belinda, ia ingin tahu sejauh mana Belinda menganggap ucapannya di rumah sakit tempio hari adalah sesuatu yang serius.
“Sangat serius, bahkan kedua orang tuamu juga sudah setuju jika kita bercerai. Bukannya kamu bilang Mama dulu yang menjodohkan kita dan myama juga, aku rasa berhak mengijikan kita bercerai. Bukan begitu, Ma?” kata Belinda yang kemudian beralih menatap pada mama mertuanya yang mengangguk antusias.
“Iya, Mama sangat setuju kok. Mama sudah sangat bersalah membiarkan anak orang terluka. Mama sudah sangat egois hanya dengan memikirkan impian Mama tanpa melihat perasaan kalian. Kamu bebas menentukan jodohmu Gio. Begitu juga dengan Linda yang terpenting kami masih bisa bebas melihat Nyra,” kata Mala dengan kesungguhan hati, tanpa sorot tidak terima seperti tempo hari yang sempat Gio saksikan.
Namun, kini perasaan Gio yang tidak karuan mendapati wanita yang selama empat tahun terakhir ini sudah menjadi istrinya tampak santai menanggapi perceraian seolah topik itu adalah sesuatu yang biasa saja.
“Jika kamu yang mengajukan perceraian. Aku tidak akan memberikan kamu harta gono gini,” ujar Gio sembari menyesap kopi buatan Belinda.
Belinda mengedikkan bahunya tak acuh. Kali ini ia merasa jengah dengan ancaman Gio tentang perceraian. Andai kata tidak diberi juga masih sangat yakin akan mampu untuk memenuhi kebutuhan anaknya kelak. “Tidak apa-apa. Toh aku sudah menyicil hutangku kepada Mama. Jadi nanti begitu keputusan pengadilan sudah turun aku akan melunasi sisanya dan pergi dari rumah ini. Pergi dari kehidupanmu selamanya,” kata Belinda seraya menatap lekat-lekat manik mata Gio yang membulat sempurna membalas tatapannya.
“Lantas kamu titipkan bayimu kepada orang tuaku. Kamu pikir mereka ini pengasuh?”
“Tentu saja tidak, aku akan mencari pengasuh untuk Nyra hari ini juga. Aku harus menghadiri rapat segera. Hasilnya lumayan untuk bisa melunasi hutang dan tabungan untuk Nyra,” jawab Belinda dengan antusias. Sorot takut dan was-was yang sering Gio dapati tak terlihat lagi kini.
“Kamu ini gimana Gio? Kalau kamu tidak mau mengakui Nyra tidak apa-apa. Tapi kamu tidak bisa mengintervensi hubungan kami dengan Nyra. Bagaimanapun dia darah daging kami. Kamu tidak lihat wajahnya saja sama denganmu,” tegur Sharhan. Nada jengkel tidak Sharhan tutup-tutupi. Anaknya sudah sangat keterlaluan, bisa-bisanya mengancam menantu kesayangan di depan batang hidungnya.
Nyra yang menjadi pokok perbincangan kini sudah berpindah tangan kepada Mala yang mendekap lembut bayi yang terlelap tersebut.
“Linda pergi dulu, ya. Teman Linda sudah datang. Susu untuk Nyra sudah ada sepuluh botol di kulkas. Linda rasa cukup selama Linda pergi,” kata Linda seraya kembali memasukkan ponselnya saat tadi ia sempat berbalas pesan.
“Aku belum selesai berbicara denganmu dan apa kamu lupa dengan apa yang aku katakan tadi?” ujar Gio yang lantas berdiri menjulang di depan Belinda yang tampak mungil tanpa alas kaki.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan, aku kabulkan keinginnanmu. Kamu bebas menikah dengan siapa pun dan memiliki anak lelaki sesuai dengan yang kamu mau. Dan soal apa yang kamu katakan tadi pagi. Aku sama sekali tidak mengiyakan bukan? Kamu hanya memberikan perintah.”
Dukungan dari kedua mertuanya membuat Belinda lebih berani mengutarakan pendapatnya kini. Ia sudah sangat yakin, jika Gio tidak akan mungkin pernah berpisah dari Tasia serta keberadaannya di sini tidak lama lagi akan tergantikan.
Ketukan di pintu membuat semuanya mengalihkan pandangan dan sejurus kemudian seorang pria seusia dengan Gio berdiri di ambang pintu mengikuti Ambar yang berjalan di depannya.
Ambar dengan mengarahkan ibu jarinya menunjuk ke arah Belinda. “Itu Mbak Lindanya sudah siap,” kata Ambar ramah.
“Ini ada temannya Mbak Linda, mau jemput katanya.” Ambar lantas berlalu dari ruang tamu yang masih diliputi suasana tegang.
Sementara Athaya Tonda yang menjadi sorotan mereka hanya berdiri diam di tempatnya.
“Sini, Nak, kamu temani Linda untuk sarapan. Dia belum sempat sarapan. Biar rapat kalian lancar, perut harus diisi terlebih dahulu,” ujar Sharhan yang sudah bangkit dan menyalami Athaya.
“Siapa namamu?”
“Athaya Tonda, Pak Sharhan.”
“Kamu mengenaliku rupanya?”
“Siapa yang tidak kenal Anda. Paman saya Billy Tonda sahabat baik Anda.”
“Oh, kamu anak dari Cakara Tonda pasti?”
“Iya, itu saya. Saya saat ini bekerjasama dengan menantu Bapak membangun kantor arsitektur.”
“Bagus, generasi muda harus mandiri dan kreatif. Memulai dari nol itu sangat bagus sekali tanpa bergantung dengan harta orang tua.”
“Bapak tahu sekali.”
“Jelas tahu, Bapakmu mengeluh karena anak laki-laki bungsunya sama sekali tidak mau ia bantu dalam membuat usahanya sendiri. Dan aku mengambil kesimpulan itu adalah kamu. Benar bukan, tebakanku?”
“Betul sekali.”
Sharhan memeluk bahu Athaya dengan hangat. “Ayo sarapan dulu di sini. Masakan menantu dan istriku tidak kalah lezat dari masakan Karmila, ibumu.”
Gio menatap geram interaksi antara papanya bersama dengan teman Belinda bernama Athaya tersebut dan melihat reaksi Belinda yang mengulum senyum ke arah pria itu yang membalas senyum Belinda dari sorot matanya yang ramah. Gio, jelas tidak menyukai hal itu. Terlebih kedua orang tuanya mempersilahkan pria itu untuk sarapan bersama dengan istrinya, yang benar saja!
Mata Tasia membelalak lebar setelah tadi hatinya bersorak gembira mendengarkan penuturan Belinda dan calon mertuanya itu. Pada akhirnya penantiannya akan Gio segera berakhir. Pria itu akan segera menjadi miliknya. Lantas kini Gio malah bangkit seraya meraih cangkir kopinya, mengacuhkan Tasia dan meraih siku Belinda yang akan menyusul kedua orang tuanya bersama Athaya.
“Kamu tidak bisa mengacuhkan aku,” geram Gio kepada Belinda tepat di telinga wanita itu.
Belinda mengusap lengan atas Gio seraya tersenyum lembut. “Aku tidak mengacuhkanmu. Hanya saja aku berusaha menjaga perasaan kekasihmu. Bukannya begitu, Tasia?” Belinda lantas menelengkan kepala menatap dengan senyum geli ke arah Tasia.
“Benar 'kan, aku harus menjaga perasaanmu dengan menjaga jarak dengan calon mantan suamimu ini. Karena aku tahu, kamu tidak akan kuat menanggung sakit hati diacuhkan seperti yang selama empat tahun ini aku alami. Jangan sampai kalian mengalaminya, cukup hanya aku saja.”
Setelah berkata demikian, Belinda menyentak pegangan Gio pada sikunya dan berlalu dari sana. Belinda kembali bergabung dengan kedua mertuanya yang menimang Nyra dan mengobrol bersama dengan Athaya, bahkan Mala sendiri yang mengambilkan makanan untuk Athaya.
Sementara di ruang tamu, Gio yang terpaku dan kembali sadar saat hendak menyusul Belinda kali ini dihentikan oleh Tasia yang menghadang dengan wajah memerah marah.
“Mau ke mana kamu?! Untung bukan, aku menyusul kemari? Apa jadinya jika kita bertemu di bandara. Kamu pasti akan tergila-gila pada Belinda yang tampak cantik hari ini, bukan? Lantas apa maksudnya itu tadi menjaga perasaanku? Memangnya dia pikir selama ini, aku tidak terluka membiarkan dia yang menjadi istrimu? Kamu tidak boleh menyusul mereka!”
“Jaga sikapmu, Tasia. Ini rumah orang tuaku,” herdik Gio dengan suara rendah, tetapi tegas.
“Kamu mau apa sekarang? Cari muka di depan istrimu?” tanya Tasia seraya berkacak pinggang di depan Gio yang mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan tidak suka kepada Tasia.
Terlintas di benak Gio yang kemudian membandingkan sikap Belinda terhadapnya saat ia berada di rumah dan saat bersama dengan Tasia. Gio yang tidak pernah menganggap keberadaan Belinda dan selalu memerhatikan Tasia hari ini seolah semuanya terbalik. Ia menemukan hal baru pada kedua wanita itu yang sama-sama tidak ia sukai. Belinda mulai acuh padanya dan Tasia yang semakin berani.
