12 BEKERJA
Sorot mata Tasia masih membara dengan dagu terangkat menatap dirinya. Sungguh Gio jengah dengan sikap Tasia kali ini. Hatinya semakin dongkol dengan mendengar gelak tawa dari empat orang dewasa yang berasal dari ruang makan.
“Awas jika kamu bergabung bersama dengan mereka,” ancam Tasia.
Gio mengeratkan rahangnya dan membalas tajam sorot mata Tasia yang terlihat tak gentar menghadapinya.
“Awas apa? Kamu bebas cemburu dan mengatur, tetapi semua ada batasnya dan kamu juga tidak berhak mengintervensi hubunganku dengan keluargaku.”
Tasia mendengkus jengah. “Keluarga mana yang kamu maksud?”
“Aku rasa, memilihmu menjadi sekretaris adalah karena kamu cukup pintar. Seharusnya hal sederhana seperti itu tidak perlu kamu pertanyaan. Lagipula tidak ada yang menyuruhmu ke sini, bukan? Pesawat kita masih akan terbang empat jam lagi. Aku juga sudah mengatakan padamu tadi pagi agar kita bertemu di bandara. Tetapi lihat dengan sikap kepala batumu, kamu malah menyusul ke rumah. Kamu mencari masalah dengan Mama? Kamu tahu 'kan bagaimana sikap Mama kepadamu saat di rumah sakit?”
“Mamamu hanya curiga tak bersadar. Beliau belum tentu memiliki bukti. Santai sajalah. Toh, aku sudah mengatakan pada mamamu, aku ke sini membawakan berkas untukmu.”
“Dan kamu pikir, Mama akan percaya? Jangan-jangan Mama menyetujui Belinda bercerai denganku karena kedatanganmu?”
“Syukurlah kalau begitu. Lebih cepat kalian bercerai lebih baik. Kamu juga tidak suka dengan anak yang telah dilahirkannya, bukan? Aku bisa memberikan anak laki-laki padamu. Kita bisa program anak berjenis kelamin laki-laki nantinya,” ujar Tasia dengan sorot mata sungguh-sungguh.
“Tetap di sini jangan bikin ulah,” kata Gio sebelum bergabung di ruang makan, lantas menempatkan diri di samping Belinda, sembari meletakkan sebelah tangannya di sandaran kursi yang wanita itu duduki menandai teritorinya, dan hal itu tidak luput dari parhatian Sharhan.
Putranya memang harus sesekali disentil dengan adanya persaingan seperti ini terlebih dahulu untuk menyadari seberapa berartinya bidadari yang duduk di sampingnya.
“Tender kali ini besar, ya? Saya dengar Felix Alfedo mencari arsitek?”
“Iya, saya sudah bertemu dengan beliau. Rencananya hari ini bertemu dengan Linda juga, karena desain bangunan yang dibuat Linda dua bulan yang lalu sudah disetujui. Bahkan kelima desain yang dibuat Linda sudah habis dibeli klien,” ujar Athaya dengan bangga menatap Belinda yang tersipu malu.
Gio tanpa sadar mengusap lengan atas Belinda dengan sapuan lembut. Ada rasa bangga yang menyusup sekaligus sesal. Ia merasa baru mengenal wanita yang selama ini ia anggap tamak dan serakah, tetapi ternyata mandiri dan tidak bergantung kepadanya.
“Kamu, tidak berangkat?” tanya Belinda seraya melirik dari belakang tubuh Gio menatap pada Tasia yang penuh dengan sorot permusuhan kepadanya.
Bagi Belinda itu bukan hal baru. Ia tidak ingin menjadi musuh untuk siapa pun. Karena ia tahu, tidak ada masa depan bersama lelaki yang ada di sampingnya saat ini. Cinta Gio bukan untuknya, bagaimanapun kerasnya ia berusaha memupuk rasa itu di dalam hatinya. Namun, kembali batinnya menegur, bahwa itu hanyalah rasa sayang dan pengabdian seorang istri, bukan cinta kekasih.
“Papa juga ingin membangun pabrik lagi, mungkin Linda bisa bantu merancang?”
Pertanyaan Sharhan membuat Belinda kembali memusatkan perhatian kepada papa mertuanya. Ia menatap gugup bergantian antara papa mertuanya dan Athaya.
“Linda belum pernah mendesain gedung pabrik. Mungkin Linda harus ke pabrik untuk melihat.”
“Jadi, kamu belum pernah ke pabrik milik Gio?” tanya Mala.
Belinda menggeleng, memang dulu dia hanya bekerja di kantor bagian keuangan karena memang sesuai dengan ijasah D3 akutansi miliknya dulu.
“Linda dulu kerja di kantor jadi tidak pernah ke mana-mana.”
“Kalau begitu kamu bisa pergi denganku,” usul Gio dengan antusias.
Belinda berpaling menatap suaminya dengan tidak percaya. Sepertinya Gio sedang salah makan sesuatu hingga kepribadiannya bisa berubah 180 derajat seperti ini. Sungguh membingungkan.
“Kalau kamu pikir, ini sebagai usaha dirimu untuk berbaik hati dan mengingkari semua ucapanmu. Kamu salah besar, Mas. Kita akan tetap bercerai,” ucap Belinda dingin dengan dagu terangkat.
Gio mengabaikan ucapan sang istri, walaupun tidak dipungkiri hatinya terasa tercubit sakit. Hanya sedikit, begitu yang ia tekankan dalam benaknya. Ucapan Belinda tidak akan menghancurkan dirinya, tidak akan.
“Kamu masih menjadi istriku. Kalau kamu lupa, aku masih menyimpan akta pernikahan kita. Sah, sesuai hukum dan Negara. Jadi, aku berhak mengantarmu ke mana saja.”
“Bukannya kamu akan ke Jepang selama seminggu? Linda bisa pergi dengan Papa. Kamu tahu bukan jika sudah membahas soal pembangunan pabrik baru?”
“Iya, Gio tahu. Papa juga jangan lupa. Letaknya di luar kota, lebih baik Linda pergi dengan Gio, jadi dia tidak akan meninggalkan Nyra lebih lama. Bahkan bisa ajak sekalian.”
Hati Belinda menghangat karena adanya sedikit perhatian dari Gio, walaupun rasanya masih terlalu cepat. Belinda tahu ia tidak bisa berharap lebih dari ini. Ia menyadari apa yang dikatakan oleh Gio semuanya karena egonya yang tersentil oleh sebab apa, entahlah. Belinda tidak ingin terlalu memikirkan hal itu. Ia tak ingin melambungkan harapannya dan kemudian terhembas kembali dan lebih menyakitkan dan hancur tak bersisa.
Belinda memang sudah berjanji, untuk membuat sang suami merasakan apa yang selama ini ia rasakan. Jika Gio bisa sadar dan berubah menjadi baik dan mencintainya, mungkin ia akan merubah keputusannya untuk bercerai. Belinda tahu pernikahan tidak hanya tentang segala sesuatu yang manis dan indah ada pula kepiluan, kepahitan, saat untung dan malang. Kehidupan pernikahan sejatinya tidak hanya diimpikan tetapi juga diusahakan dan diupayakan. Mungkin selama ini dia terlalu dingin dan membiarkan sang suami berbuat sesuka hati hanya karena berlandaskan rasa takut membuat murka dan mencari kedamaian yang nyatanya tak pernah ia dapatkan.
Lantas mendapati Tasia yang semakin lengket dengan sang suami, membuat ia semakin membuka mata dan hatinya. Dukungan dari kedua mertuanya tentunya menjadi semangat Belinda yang baru. Sesekali mungkin ia akan membalas sang suami. Belinda berjanji akan membuat seorang Gio Zaron jatuh cinta setengah mati terhadap Nyra zaron. Belinda rela tidak mendapatkan cinta pria itu, tetapi ia tidak akan tinggal diam sang putri harus mendapatkan haknya atas sang ayah.
Setelah acara sarapan Belinda dan Athaya segera berpamitan. Namun, rencana Belinda untuk pergi bersama dengan Athaya batal. Gio sudah berdiri di beranda depan menanti sang istri keluar. Sementara di depan sana Belinda melihat Tasia masuk ke dalam sebuah taksi yang lantas membawa wanita itu pergi.
“Loh kok, Tasia pergi? Bukannya dia akan menemani kamu ke Jepang?” tanya Belinda.
Belinda sungguh bingung dengan hubungan suami dan selingkuhannya itu. Sebentar panas, sebentar dingin.
“Mas antar kamu ke kantor dulu. Mas ingin lihat kantormu seperti apa.”
“Itu tidak perlu, Mas. Kantor kami sederhana saja cuma bangunan dua lantai dengan tambahan showroom mabel,” elak Belinda.
“Kenapa sih, kamu tidak inginkan Mas untuk lihat? Kamu ingin berduaan dengan teman priamu ini, ya?” tanya Gio seraya menunjuk Athaya dengan dagunya dan menatap pria itu dengan tajam.
“Baru dua hari melahirkan kamu sudah seperti wanita bebas, ya? Seperti ternak yang dilepas dari kandangnya begitu,” tambah Gio.
“Kasar sekali kamu, Mas.”
“Memang biasanya tidak?” tanya Gio dengan dingin.
“Sudahlah, aku akan tetap pergi dengan Athaya. Sementara kamu terserah apa yang akan kamu lakukan. Keputusanku tetap, itu juga yang kamu inginkan.”
Belinda lantas meraih lengan Athaya dan menghela temannya itu untuk segera berlalu dari hadapan Gio.
Athaya hanya mengamati interaksi mereka berdua dan mengikuti kemauan Belinda dalam diam.
Belinda cukup bersyukur, bukan dirinya yang menginginkan kedatangan Athaya. Namun, memang inisiatif pria itu untuk menjemput dirinya sekaligus menengok Nyra. Sekarang dirinya bisa pergi tanpa direcoki oleh Gio.
Lagi-lagi harapan tinggal harapan, sesampainya mereka di kantor. Mobil Gio juga terparkir rapi di sebelah mobil Athaya.
Belinda mendengkus kesal dari kursi penumpang. “Duh keras kepala sekali,” keluhnya.
“Sabar Linda. Katanya kamu mau memberi suamimu pelajaran. Biarkan saja dia melihat apa yang sudah dirimu capai. Kalau perlu ibumu yang sering merendahkanmu juga tahu apa yang sudah kamu capai, daripada anaknya yang manja dan tidak tahu diri itu.”
“Aku tahu, tapi rasanya semua terlalu cepat. Seharusnya aku tidak perlu ikut dengan rapat ini bukan?”
“Pak Felix ingin bertemu denganmu. Ada beberapa detail yang ingin beliau bicarakan.”
“Bukannya bisa dengan teman yang lain. Kamu lupa kita bekerja tim?”
“Sangat tahu, tapi beliau memaksa. Bahkan beliau rela membayar berkali lipat agar bertemu denganmu. Gila nggak sih.”
“Orang kaya mah bebas ya.”
