Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Abraham datang menghampiri mereka saat mendengar ribut-ribut. "Ada apa Mom? Apa lagi yang di buat anak pembawa sial ini sekarang?" tanya Abraham.

"Anak ini keluyuran terus, pekerjaan di rumah terbengkalai." Amanda menoyor kepala Zara seraya melepaskan jewerannya membuat Zara mundur karena terdorong.

"Siapa yang mengijinkan kamu keluar dari rumah, anak cacat?" tanya Abraham dengan suara sinis dan kejam.

"Maaf," cicit Zara menundukkan kepalanya.

"Aku tidak ingin mendengar kau keluar dari rumah lagi. Sekarang buatkan aku kopi," seru Abraham merangkul Amanda untuk meninggalkan Zara.

Zara bergegas membuatkan kopi untuk Abraham dan membawanya menuju ruang keluarga dimana semua keluarganya berkumpul dan tengah bersantai ria.

"I-ini Ayah," cicit Zara memberikan gelas kopi itu. Zara masih berdiri di sana melihat ke arah televisi yang sedang di tonton saudara tirinya. Acara kartun yang bahkan tidak pernah Zara tonton.

"Kopi macam apa ini!" pekikan itu menyadarkan Zara dan segera menoleh ke arah Ayahnya.

"Kenapa Sayang?" tanya Amanda.

Prank

"Aghhhh!!" pekik Zara membuat Alfa berdiri dari duduknya saat Abraham dengan kejamnya melemparkan gelas kopi ke wajah Zara. Zara menunduk seraya menutup sebelah wajahnya yang tersiram juga terbentur gelas.

"Apa yang kau bisa sih, anak cacat? Buat kopi saja tidak manis!" pekiknya tampak murka.

"Ya Allah! Maafkan Nona Zara, Tuan." Masitoh segera berlari ke arah Zara yang menunduk masih dengan menutup sebelah wajahnya.

"A-akan saya buatkan lagi," cicit Masitoh segera membawa Zara pergi dan mengambil pecahan gelas.

Amanda, Meysa, dan Rivaldo yang tersenyum melihat adegan yang menurut mereka sudah biasa, berbeda dengan Alfa yang mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap benci ke arah Abraham.

"Sakit Mbok," isak Zara di dalam kamar mandi saat Masitoh membersihkan lukanya. Di atas mata sebelah kiri dekat alis Zara terlihat sobekan cukup dalam dan mengeluarkan darah, syukur tak mengenai mata. Walau sudut mata dan bawah Mata Zara terlihat merah karena melepuh terkena air kopi.

"Sabar yah Non, sebentar lagi selesai." Masitoh ikut menangis melihat keadaan Zara. Anak sekecil ini kenapa harus mendapatkan perlakuan tak pantas dari Ayahnya sendiri.

***

Malam itu Alfa masuk ke dalam kamar Zahra, gadis kecil itu tampak meringkung di atas ranjang kecilnya. Sebelah matanya masih memakai perban bekas luka tadi siang. Ia mengambil duduk di sisi ranjang dan mengusap rambut panjang Zahra yang berwarna hitam legam.

"Maaf," gumam Alfa mengusap kepala Zahra dengan penuh kasih sayang. "Kakak akan berusaha keras untuk segera lulus dan mencari pekerjaan. Kita akan kembali ke Indonesia menemui Mama Maura, bersabarlah sebentar lagi, Zahra." Alfa menatap Zahra dengan tatapan sendu, tatapan yang tadinya datar dan dingin kini berubah menjadi lembut dan penuh kasih sayang.

"Emm," gumam Zahra.

"Mama." Zahra kembali mengigau dengan mata yang tertutup. Gadis 10 tahun ini pastila sangat merindukan sosok Ibu, dulu dia hanya mendapatkan kasih sayang dari Maura itupun hanya beberapa tahun saja karena Maura bercerai dari Abraham.

"Kak Alfa?" suara serak khas bangun tidur menyadarkan Alfa dari lamunannya. Ia melihat Zara terbangun dan berangsur untuk duduk.

"Tidurlah kembali, aku hanya ingin melihat keadaanmu," ucap Alfa saat melihat Zara sedikit mengernyit.

"Apa masih sakit?" tanyanya.

"Sedikit Kak, aku pikir siapa. Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena sebelah mataku di tutup," ucapnya tersenyum manis.

Alfa meringis melihat senyuman manis dari Zara, gadis ini begitu kuat. Bahkan dia masih mampu tersenyum di saat keadaannya seperti ini.

"Lain kali kalau Ayah hendak memukulmu, maka menghindarlah. Jangan biarkan dia memukulmu lagi."

"Tidak apa-apa Kak, ini kesalahan Zara juga," ucapnya masih menampilkan senyumannya. "Kakak tidak usah khawatir."

"Kamu bisa saja buta, Zara. Lain kali menghindarlah," ucap Alfa penuh penekanan, terlihat jelas amarah dan kebencian di mata Alfa.

Zara hanya menganggukan kepalanya masih diiringi senyumannya yang begitu menenangkan dan suci yang mampu menenangkan Alfa dan menghilangkan amarahnya.

"Maaf Kakak tidak bisa melindungimu," ucap Alfa menyesali ketidakberdayaannya.

"Tidak apa-apa Kak, aku tau Ayah akan marah besar pada Kakak kalau Kakak menolongku," ucap Zara.

"Bukan masalah akan di marahinya, Kakak hanya takut Ayah akan mengirim Kakak ke asrama dan jauh darimu, Kakak semakin tidak bisa mengawasimu." Alfa mengusap kepala Zara dengan lembut.

"Dengar Zara, bertahanlah sebentar lagi. Setelah lulus Senior High School, Kakak akan langsung mencari pekerjaan sambilan tanpa pengetahuan Ayah. Dan kamu bisa pergi dari sini, dari neraka ini!" ucap Alfa.

"Tetapi bagaimana kalau Ayah mencariku?" tanya Zara tetapi seketika dia kembali terkekeh. "Tapi Ayah tidak mungkin mencariku, aku bodoh sekali. Bukankah sudah berkali-kali Ayah mengusirku," kekehnya seakan ini adalah lelucon yang lucu. Zara masih terkekeh polos tanpa melihat tatapan tajam menyala di mata keemasan milik Alfa.

"Sekarang tidurlah kembali Zara," ucap Alfa yang di angguki Zara.

Zara merebahkan kepalanya di atas bantal, dan Alfa beranjak dari duduknya seraya menyelimuti tubuh Zara hingga batas leher lalu ia mematikan lampu dan berjalan keluar dari kamar Zara.

Alfa mengambil air dari dalam kulkas dan meneguknya dengan tenang untuk meredakkan amarahnya. "Alfa," panggilan itu membuatnya menoleh ke ambang pintu dapur dimana pria tua yang sangat ia benci berdiri di sana dengan angkuh.

Abraham berjalan mendekati Alfa yang hanya menatapnya dengan datar. "Kau sudah masuk hari liburan?" tanya Abraham ikut menuangkan air ke dalam gelas kosong dan meneguknya.

"Iya," jawab Alfa.

"Baguslah kalau begitu, Ayah sudah membicarakannya dengan Amanda. Besok kita semua akan berlibur ke villa pribadi Ayah."

"Hmm," jawab Alfa seakan tak tertarik.

"Persiapkan semua barang-barangmu lalu besok pagi kita akan berangkat bersama."

"Apa Zara akan di ajak?" pertanyaan Alfa sontak membuat Abraham menatapnya dengan tajam.

"Apa kau ingin membawa anak sialan itu?" tanya Abraham tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.

"Tidak, sebaiknya dia tetap di sini," ucap Alfa 'Supaya dia bisa tenang dan damai beberapa saat kepergian kalian semua.'

"Dia akan ikut, karena kami butuh pelayan di sana," ucap Abraham menyeringai dan berlalu pergi meninggalkan Alfa yang terpaku dengan mengepalkan kedua tangannya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel