Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

13. Kenangan Tentangnya

Aku mengenal Rendra sejak awal kuliah. Dia adalah senior di fakultas sebelah. Beberapa bulan memperhatikan dari jauh, aku sudah tertarik padanya. Tapi baru di semester empat aku berani mengungkapkan perasaan dan berjuang dengan mengejar-ngejarnya. Beberapa teman menganggapku agresif, tapi aku tidak peduli. Yang namanya cinta memang harus diperjuangkan, kan?

Hanya saja, yang namanya Darendra itu memang songong, jutek, cuek, dan sok cool minta ampun. Dia tidak pernah menanggapi setiap usaha yang kulakukan. Tidak menolak, tapi juga tidak menerima. Dia membiarkan saja, seolah aku hanyalah butiran debu yang tidak berarti untuknya. Satu tahun berjuang tanpa menghasilkan apa-apa, akhirnya aku memutuskan untuk menyerah. Untuk apa memperjuangkan seseorang yang jelas tidak mengharapkan kita, kan?

Tapi baru juga beberapa bulan memilih melupakan, semesta seolah tidak mengijinkan. Kami nyatanya malah makin dekat karena ternyata dia adalah kakak tiri Kiara. Entah kenapa sikapnya sangat berubah padaku. Menjadi lebih hangat dan ramah. Bahkan setelah Kiara menikah, kami sering berkencan meski tidak ada kejelasan dalam hubungan itu. Walaupun begitu, kami seolah saling tahu bahwa ada kewajiban untuk berkomitmen antara aku dan dia.

Hubungan tanpa status itu berlangsung selama dua tahun. Entah kenapa aku nyaman dengan begini saja, meski sebenarnya di beberapa kesempatan aku juga mengharapkan sebuah kejelasan. Sayangnya, Rendra tak pernah memberikan itu. Dia hanya bilang bahwa aku adalah satu-satunya yang dia sayangi. Saat itu.

Karena di suatu malam, aku terpaksa dibangunkan dari mimpi indah yang mungkin sudah terlalu lama kucecap. Rendra mengajakku bertemu di kafe, untuk membicarakan sesuatu hal yang sejak beberapa hari sebelumnya sudah kutakutkan.

"Kamu kenapa ngajak ketemu di sini, Ren? Bukannya besok kita mau ke acara empat bulanan Kia, ya?"

"Aku mau–"

"Oh ya, kamu ingat gaun yang kubikin bulan lalu? Itu udah ada yang pesen lho, Ren. Buat nikahan. Daebak. Keren banget kan, aku?"

"Oh, ya? Keren banget. Selamat ya, Nes. Em ... aku ngajak ketemu di sini mau–"

"Kamu tahu nggak, Ren? Masa kemarin Rasti sama Dio putus lagi? Putus nyambung putus nyambung. Gitu aja terus sampai monyet bisa bertelur. Gila emang mer–"

"Nes, aku mau ngomong. Tolong dengar sebentar."

"Soal apa? Soal cewek yang kamu peluk di depan rumah Bangpan dua minggu yang lalu? Oh, jangan pasang muka bingung kayak gitu. Aku lihat sendiri!"

"Nes, aku...."

"Dia siapa? Sepupu kamu? Temen kantor kamu? Temennya kakak lampir kamu? Tetangga kamu? Atau–"

"Tetangga aku. Sekaligus ... cinta pertama yang pernah kuceritain ke kamu."

"Dan kamu masih sayang dia?"

"Aku ... mau nikahin dia."

"Kamu masih sayang dia?!"

"... maaf."

"..."

"Agnes...."

"Kenapa?"

"Nes."

"Kenapa tiba-tiba kayak gini? Bukannya dulu dia udah pergi? Bukannya dulu dia nolak kamu dengan semena-mena dan mempermalukan kamu di depan semua orang? Bukannya kalian nggak pernah saling kontak lagi? Bukannya–"

"Dia hamil."

"–kamu ... apa?!"

"Dia hamil, Nes."

"Gila!"

"Maaf."

"Brengsek."

"Aku minta maaf."

"Anak kamu?"

"Anak mantan pacarnya."

"APA? Terus kenapa kamu yang tanggung jawab?!"

"Orang itu dijodohin sama orang lain."

"Hahaha. Gila. Kamu bego atau apa, sih?"

"Maaf."

"Sebenarnya selama dua tahun ini, kamu anggap aku apa, sih?"

"Aku sayang kamu, Nes. Aku nggak pernah bohong soal itu. Tapi ... aku nggak bisa untuk nggak peduli sama dia."

"Mati aja lo sana!"

"Lagunya jleb banget nggak, sih?"

Celetukan Banggi membuyarkan lamunanku tentang kejadian dua tahun lalu. Malam ini kami sedang berada di restoran Bangbi. Melihat perkembangan konsep baru restoran ini, yang mengusung tema out door dengan adanya penampilan music live oleh Mahardika Dewa di setiap malam Sabtu dan Minggu. Jadi ini, kerja sama yang Dewa maksud waktu itu. Lumayan berprogres sih, melihat penuhnya meja-meja yang tersedia malam ini.

Opo kudu pasrah kahanane

Kudu nrimo karo putusane

Saktenane ati iki ora lilo

Yen nyawang sliramu nyanding wong liyo

Segampang kuwi caramu

Ngapusi roso atimu

Saiki aku dewe ning kene

Ming sepi tanpa tresnomu

"Dewa tuh niat banget nyanyi itu!" kesalku, sebelum mengunyah bola-bola coklat dengan cepat.

Banggi hanya tertawa sambil mengusak-usak rambutku. Aku menyandarkan pipi di atas meja, masih sambil menikmati oleh-oleh dari Bangkev yang memang seabrek, hingga tidak habis sampai sekarang. Ngomong-ngomong, ini sudah tiga hari dan aku belum juga bisa membangun mood yang terlanjur anjlok karena pertemuan dengan Rendra waktu itu.

Ah, sangat menyebalkan kalau ingat betapa bucin dan bodohnya aku dua tahun lalu. Hanya Rendra yang mampu memperlakukanku begini. Setidaknya dengan Dave—pacar pertamaku di SMA—aku hanya tahu rasanya diselingkuhi. Sedangkan dengan Rendra, aku mengalami banyak macam jenis hubungan, mulai dari cinta sepihak, cinta tak berbalas, digantung, hubungan tanpa status, lalu berakhir dengan ditinggal waktu lagi sayang-sayangnya.

Rendra memang sebrengsek itu. Jauh lebih brengsek dari Bangpan yang dulu menyakiti Kiara hanya karena seorang tukang selingkuh bernama Dilara. Waktu pernikahannya dengan Silvi, aku mendoakan agar kehidupan rumah tangga mereka sama sekali tidak bahagia. Tapi setelah melihat mereka malam itu, aku kembali sakit hati. Mereka bahagia. Sedangkan aku? Untuk memulai membuka hati saja, rasanya sangat berat dan takut. Sebesar ketakutanku pada Bangcat!

Kepiye meneh caraku

Nglalekke esem guyumu

Saiki aku dewe ning kene

Ming sepi tanpo tresnamu

Dan lagu yang dinyanyikan Dewa benar-benar mengungkapkan semua perasaanku. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu arti liriknya. Tentu saja karena diberitahu oleh Mbah sejuta umat (re: Google). Sialan, aku jadi ingat senyum Rendra, kan?! Siapa saja tolong ingatkan aku untuk memberi pelajaran pada bocah itu nanti!

"Aku mau keluar."

Banggi mendongak saat aku bangkit. "Mau ke mana? Abang sendirian lho nanti."

"Bosen, Bang, di sini. Aku mau jalan-jalan sekitar sini aja."

"Abang nggak ada temennya, Nes."

"Telepon aja tuh siapa cewek yang ngejar-ngejar Abang itu? Icha atau siapa itu? Chat aja suruh nemenin."

Wajah Banggi langsung berubah kesal. "Mending sendiri daripada sama dia."

Aku terbahak. "Terserah Abang, ah. Bye-bye. Jangan ribut lapor kalau Bangpan udah nyampe sini. Aku lagi mau sendiri, nggak mau direcokin."

"Emang mau ngapain, sendirian?"

"Semedi."

Giliran Banggi yang terbahak. "Udah sana, refreshing ke mana gitu. Biar jalan lagi otak kamu."

Cemberut, aku meraih bungkus coklatku lalu berjalan meninggalkan Banggi sendiri di salah satu meja pengunjung. Bangbi sedang sibuk di kitchen, jadi aku tidak perlu izin kalau mau pergi.

"Agnes."

Mendengar seseorang memanggil namaku saat baru akan melangkah ke Miko, aku menoleh. Ternyata Riki, sahabat sekaligus asisten yang mengurus keperluan syuting Dewa.

"Hai, Rik." Aku menyapa sambil tersenyum. "Ke mana aja? Kata Dewa lo ambil cuti seminggu?"

"Liburan aja, balik kampung."

"Kirain nikah." Mataku mengerling, bercanda.

"Nikahnya nanti aja kalau lo udah siap."

Aku tidak tahu harus merespon apa selain tertawa kaku. Kalau saja yang bicara ini adalah Dewa, aku tidak akan canggung untuk terbahak-bahak. Tapi ini Riki. Cowok yang sekitar setahun lalu mengejar-ngejar dan memintaku jadi kekasihnya. Tapi aku langsung menolak.

Poin utama, karena aku belum bisa melupakan si kampret Rendra. Poin kedua, karena aku sangat berprinsip untuk tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang umurnya di bawahku. Aku saja yang sangat manja dan kekanak-kanakan, butuh seseorang yang bisa berpikiran dewasa dan mengayomi. Dan poin ketiga ini yang terpenting. Laki-laki yang hobi main ke klub malam bukanlah tipeku. Bukan sok suci, tapi memang itulah prinsipku.

Menurutku, tempat itu adalah awal dari perbuatan-perbuatan maksiat. Okelah, semua tempat memang bisa digunakan untuk berbuat dosa oleh manusia. Itu semua tergantung sang pelaku. Tapi klub malam, merupakan pemancing yang kuat, lagi-lagi menurutku. Pokoknya begitulah. Kalian boleh tidak setuju dengan pemahamanku, aku juga tidak memaksa.

Balik lagi ke tadi. Tiga poin itu semuanya ada pada Riki. Karena itu aku menolak. Walaupun Riki ini sangat tampan, sopan, dan bicaranya lembut. Murah senyum juga. Tapi apa mau dikata, kan?

"Nes, lo nggak mau mempertimbangkan yang dulu? Berubah pikiran, gitu?"

Mataku mengerjap mendengar pertanyaan Riki. Aku menggaruk tengkuk, "Apaan sih, Rik, itu kan udah selesai pembahasannya."

"Gue bisa berubah jadi apa yang lo mau kok, Nes."

Aku hanya meringis. Baru akan menjawab, seseorang tiba-tiba memanggilku dari arah belakang.

"Dek."

Aku menoleh. Bangcat berjalan ke arahku dengan setelan kasual, jeans putih dan swater bergaris hitam-merah. Melirik ke arah Riki.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Cari angin?" Aku menjawab ragu.

"Ke mana?"

"Nggak tahu."

Kedua alis Bangcat bertaut. "Sendiri?"

"Iya." Saat melirik Riki, aku jadi berpikiran bahwa mungkin Bangcat mengira aku akan pergi dengan Riki. "O-oh ya, ini Riki, temannya Dewa."

Bangcat dan Riki bersalaman sambil memperkenalkan diri masing-masing. Aku merasa suasana jadi agak kaku. Riki juga begitu, ekspresi tidak sesantai tadi. Kalau Bangcat ... aku tidak berani melihat.

"Kalau gitu gue ke Dewa dulu ya, Nes."

"Oh iya, Rik, silahkan."

Riki langsung bergegas pergi. Aku baru akan beranjak juga, tapi Bangcat sudah menghalangi.

"Pergi sama Abang aja."

Aku melongo. "Hah?"

"Pergi sama Abang." Dia mengembuskan napas kasar. "Ayo."

"T-tapi ... Abang kan baru nyampe."

"Nggak masalah," jawabnya santai.

"Tapi Bang–"

Dia langsung memotong, tanpa mau memberi kesempatan aku selesai bicara. "Kenapa? Nggak mau? Maunya sama laki-laki tadi? Iya?"

Aku mengatupkan bibir. Menahan untuk tidak mengumpat keras-keras di depan wajahnya. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu yang cantik, manis, imut, dan menggemaskan ini. Bantulah hamba dalam menghadapi makhluk tua tukang pukul galak ini. Aamiin.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel