Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

12. Double Sial

"Bangun, woy, bangun! Udah pagi! Cari rejeki sono! Udah jomlo, malesan, ngenes amat idup lo!"

"Udah bangun, woy!" Aku berteriak di depan ponsel sambil mematikan alarm.

Setelah menyelesaikan make up dan mengikat setengah rambut sebahu, aku bergegas bangkit. Kuambil ransel kecil berwarna hijau pastel, lalu berniat keluar kamar. Tapi saat sampai ambang pintu dan tanpa sengaja bertatapan dengan boneka monyet pemberian Athar, aku kembali masuk. Kuraih boneka itu dari atas nakas, lalu melemparnya dengan asal ke sudut ruangan.

Saat keluar kamar, pemandangan pertama yang tertangkap mata, membuatku tersenyum geli sekaligus iri. Bangbi tengah sibuk memasak, dibantu oleh seorang perempuan bertubuh mungil yang kini sudah mengenakan salah satu gaun santai milikku. Sesekali, abangku itu mengusap kepala sang perempuan dengan lembut.

Aku berdehem keras, berulang-ulang. "Romantisnya ... bikin jones gigit jari."

Mereka menoleh bersamaan. Bangbi terkekeh, sedangkan sang perempuan tersenyum malu.

"Mau liat yang lebih bikin meleleh?" tanya Bangbi.

Aku tertawa, mengangguk antusias. "Coba deh sekali-kali liatin gimana Abang ngalusin Kak Bita."

"Bi!" Kak Bita berusaha menghindar, tapi Bangbi lebih dulu memeluknya dari belakang.

"Gini, Dek?" Bangbi menggerak-gerakkan dagu di pundak Kak Bita.

"Bian, lepas ih!" Kak Bita melepas pelukan Bangbi, lalu membalikkan badan dan berpura-pura sibuk dengan masakan.

Aku terbahak. Menggoda tunangan Bangbi memang sangat menyenangkan. Apalagi, Kak Bita adalah tipe perempuan pemalu, lembut dan bicaranya halus sekali. Dan juga orang yang sangat baik, bahkan aku langsung menyukainya saat awal-awal mereka pendekatan. Sebenarnya, Bangbi dan Kak Bita dulu adalah teman SMA, sebangku juga di kelas tiga. Hanya saja, setelah lulus, Kak Bita lanjut kuliah di Jepang. Dan mereka baru bertemu lagi dua tahun lalu.

Semalam, Kak Bita memang menginap di sini. Jangan salah paham, dia tidur di kamarku, kok. Kak Bita butuh tempat bersembunyi dari mantan pacar yang menunggu di depan rumahnya dari siang. Kakak sepupunya yang menyuruh Bangbi mengajak ke sini. Fyi, mantan pacarnya itu adalah orang yang abusive. Dulu saat dalam status pacaran, dia sering mengalami tindak kekerasan. Karena itu mereka putus.

Sebenarnya saat Bangbi dan Kak Bita belum in relationship, pria itu juga pernah datang untuk menemuinya. Hanya saja, entah bagaimana caranya Bangbi bisa mengusir. Tidak tahu kenapa sekarang datang lagi. Aku kasihan pada Kak Bita. Sejak kecil sudah menderita social anxiety disorder. Baru beberapa tahun sembuh, eh malah 'disiksa' pacarnya.

Suara bel membuat Bangbi menoleh padaku. "Dek, bukain pintu, sana."

"Hm."

Berjalan santai, aku membuka pintu. Lalu sedikit terlonjak saat mengetahui siapa yang berdiri di sana. Sosok pria dengan balutan kemeja slim fit warna hijau lumut dan celana bahan hitam. Rambutnya sudah diikat rapi. Gan—ups!

"Pagi, Dek."

"P-pagi, Bangcat."

Bangcat melewatiku dan masuk, lalu menyapa Bangbi dan Kak Bita. Aku meringis, merutuk dalam hati. Meskipun setiap pagi selalu ikut sarapan di sini, tapi aku belum juga terbiasa dengan kehadirannya. Ingatanku melayang ke kejadian semalam. Saat aku dan Dewa kepergok menyaksikan adegan drama Korea mereka, akhirnya mau tak mau aku berbalik. Tapi sebelum Bangcat mengucapkan entah apa, aku sudah lebih dulu berkata maaf dan pamit masuk ke unit Bangbi. Tentu saja sambil menyeret Dewa juga. Eh, di dalam juga disuguhi pemandangan pelukan Bangbi dan Kak Bita. Kurang ngenes apa coba, aku?

Aku melangkah ke kulkas, lalu mengambil kotak berisi salad buah. Kutaruh itu di meja, bersisian dengan piring-piring yang penuh dengan masakan Bangbi dan Kak Bita.

"Mau lauk apa?" tanya Kak Bita, setelah mengisi piring kosong dengan nasi.

"Semuanya. Lengkap." Bangbi menyengir.

"Emang bisa habis?" Bangbi mengangguk sambil tertawa. Lalu Kak Bita menoleh padaku. "Semur ayamnya enak lho, Dek."

Ganti aku yang menyengir. "Buat bekal maksi aja."

Kak Bita mengangguk, tersenyum. Aku baru akan mulai menyuapkan salad ke mulut, saat Bangbi menyeletuk.

"Itu coba, Dek, Dave diambilin nasi sama lauknya. Latihan jadi istri."

Aku melotot. Hampir saja tersedak. Maksudnya latihan, itu apa? Kenapa harus Bangcat yang jadi obyek latihan? Gila, Bangbi!

"Kapan-kapan aja latihannya," balasku, datar.

"Lebih cepat lebih baik lho, Dek." Bangbi menaikturunkan kedua alis. Ini abangku niat sekali ingin mengumpankanku di mulut singa, ya?!

"Apa sih, Bang!"

Memilih untuk tidak menurut, aku kembali menyendok salad dan menyuap ke mulut. Tapi lagi-lagi urung karena sebuah piring kosong tersodor di depan mukaku. Pelakunya adalah Bangcat.

"Ambilin, Dek," katanya sambil tersenyum miring. Itu mengejek!

Kali ini, aku tidak repot-repot menyembunyikan ekspresi kesal. Bangbi tergelak, sedangkan Kak Bita hanya mengusap-usap pundakku. Dengan terpaksa, aku mengambilkan nasi dan lauk yang ditunjuk Bangcat.

***

"Ini cocok nggak sama gue?"

Rasti mengamati lipstik berwarna peach yang kupegang. Lalu menggeleng. "Nggak cocok, ah."

"Ya udah deh gue beli yang biasa aja."

"Eits, jangan dong!" Rasti mengambil lipstik baby pink dari tanganku, lalu mengembalikannya ke rak. "Gue pilihin yang beda, tapi tetap cocok sama lo."

Mendesah, aku mengangguk. Membiarkan Rasti memilih-milih lipstik, sedangkan aku membuka ponsel untuk mengecek notifikasi. Sore ini, Rasti datang ke butik untuk mengajakku hang out setelah pulang kerja. Karena aku juga sedang suntuk, apalagi setelah siang tadi ada klien yang tanpa sengaja merusak gaun desainku, akhirnya aku iyakan. Sebenarnya terasa kurang karena tidak ada Kia, tapi mau bagaimana lagi? Sahabatku satu itu sedang sibuk-sibuknya dengan Bimbim.

"Ini bagus, Nes. Merahnya nggak terlalu tajem. Cocok sama selera lo."

Aku mengambil lipstik warna merah plum dari tangan Rasti. Lalu memakainya di bibir. "Bagus?"

Rasti mengacungkan jempol. "Bungkus."

Lalu kami kembali memilih-milih alat make up yang lain. Aku memang suka dandan, sih. Meskipun ya ... tidak yang menor-menor amat. Tidak tahu, rasanya seperti ada yang kurang saja kalau mukaku dibiarkan polos. Beda dengan Kia yang walaupun tidak pakai apa-apa, mukanya tetap kelihatan imut dan manis. Huh, aku jadi iri.

"Makan dulu, baru pulang. Gimana?" Rasti bertanya, setelah kami keluar dari toko make up itu.

"Bentar." Aku membuka ponsel lagi untuk melihat jam.

"Belum jam tujuh, tenang aja."

Aku menyengir ke arah Rasti yang menatapku malas. Lalu kami berjalan menuju salah satu restoran Korea di mall ini. Tapi baru saja kami akan masuk, tiba-tiba saja pandanganku bertemu dengan seseorang yang sedang memangku balita seusia Bimbim. Tubuhku menegang. Detak jantungku mulai tak beraturan.

"Daren, Nes."

Bisikan Rasti tidak membuatku tenang, justru makin memperparah kepanikan. Apalagi saat orang itu berbicara pada perempuan di sampingnya, lalu mereka berjalan mendekat. Keringat dingin mulai membasah telapak tanganku.

"Agnes." Orang itu tersenyum kaku. "Apa kabar?"

"Ba-ik," jawabku secara terbata.

"Syukurlah." Dia tersenyum lagi. "Oh ya, kenalin ini Silvi."

Silvi yang berdiri di sebelahnya ikut tersenyum. "Silvi."

Aku menatap tangan perempuan itu sambil berdecih dalam hati. Terpaksa membalas jabatan tangannya. "Agnes."

Lalu Silvi—sumpah sebenarnya aku malas menyebut namanya—juga berkenalan dengan Rasti. Aku memandang ke arah lain, berusaha menenangkan hati.

"Oh ya, ini Acha, anak kami."

Aku menoleh sekilas ke arah balita lucu yang sedang memainkan resleting jaket Rendra. Imut dan menggemaskan seperti Bimbim, tapi tidak lantas membuatku jatuh hati. Apalagi saat pria itu menyebutnya sebagai anak. Cih, 'anak kami' your head!

"Nes, kita bisa bicara?"

Aku menatap Rendra datar. Lalu tersenyum hambat. "Maaf, gue sama Rasti mau pulang."

"Sebentar aja, Nes." Rendra menatapku memohon. Begitu pun dengan Silvi.

Tapi aku tidak akan luluh. "Maaf. Yuk, Ras."

Aku menarik lengan Rasti yang hanya diam, keluar dari restoran itu. Langkahku cepat, tergesa-gesa dan nyaris tersandung kalau saja Rasti tidak menahan bahuku.

"Nes." Rasti menatapku iba.

Aku mengusap setitik air yang lolos dari pelupuk mata. "Ras, gue mau pulang."

***

Entah berapa jam mengurung diri di dalam kamar, perutku tiba-tiba berulah. Aku lapar. Butuh makan. Karena itu, dengan langkah lemas dan tersendat-sendat, aku keluar kamar untuk makan. Persetan dengan diet. Aku diet juga hidupku begini-begini saja!

Mataku terasa berat untuk dibuka. Mungkin sudah bengkak parah, efek menangis tanpa jeda sejak sampai apartemen tadi. Di ruang makan, aku melihat Bangbi sedang duduk di kursi. Melangkah pelan, aku mendekat.

"Abang, hari ini nyebelin banget, tahu." Aku membenamkan wajah di pundak Bangbi yang kupeluk dari belakang ini. "Udah ketemu klien rese, lemburan banyak, eh di mall malah liat tukang PHP lagi jalan sama istrinya. Hih, mau naangiiis!"

Bangbi hanya diam, dengan tubuh yang entah kenapa kurasakan sedikit kaku. Aneh, biasanya juga biasa saja. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya sedang ingin curhat. Itu saja.

"Abang, Dio tuh tadi juga ngeselin. Mentang-mentang mau tunangan, jadi suomboong tingkat dewa. Ngejek aku terus."

"..."

"Pokoknya besok pas pertemuan keluarga, aku nggak mau ikut. Pasti Nenek nanya-nanya 'kapan nikah?' lagi. Ugh!"

"..."

"Abang sih enak, bentar lagi nikahin Kak Bita." Kupukul pundak Bangbi. "Dasar curang!"

"..."

"Atau ... aku cari pacar aja, ya? Tapi siapa? Temenku yang jomblo cuma Tompel sama Cameron Dallas KW. Ih, masa aku pacaran sama Tompel? Dunia bisa kiamat! Atau Dewa? Enggak enggak! Gila. Masa aku sama berondong? Ganteng sih, tapi aku nggak mau ah dijadiin Angel-nya dia."

"..."

"Duh, perasaan gue nggak jelek-jelek amat, deh. Tapi kok susah banget ya dapat cowok? Apa karena tipeku ketinggian, ya? Ah pusing!"

"..."

"Abang, jawab kek! Dari tadi aku nyerocos, masa didiemin? Nyebelin!"

"..."

"Abaang, Agnes laper. Masak, dong. Tadi tuh aku belum makan malam. Keburu capek. Ya udah langsung tepar. Lagian Abang dari mana sih, tadi? Jam sebelas baru balik!"

"..."

"Ab—"

"Dek?"

Deg.

Mataku mengerjap. Tubuhku menegang. Entah kenapa, aku mulai merasakan sesuatu yang buruk. Suara panggilan di belakang, membuatku mulai berasumsi yang tidak-tidak.

"Kamu ngapain?"

Detak jantungku makin memburu. Suara itu harusnya keluar dari orang yang saat ini lehernya kulingkari erat dengan kedua lengan, bukan malah dari belakang. Kalau yang di belakang itu adalah orang yang sejak tadi kuajak bicara, lalu yang duduk di kursi ini siapa?

"Dek! Kamu ngapain sih peluk—"

Kulepas pelukan dengan cepat. Aku berbalik, dan menemukan sosok tinggi berkulit cokelat sedang menatap heran.

"Kamu ngelindur ya, Dek?"

Kutelan ludah susah payah, memasang muka melas. Sepatah kata pun tidak juga keluar dari mulut. Abaaang!

"Gue numpang toilet, Bi."

Mendengar suara berat itu, tanganku makin berkeringat dingin. Aku terdiam kaku, menahan napas saat orang di belakang berjalan menuju kamar kecil. Melewatiku begitu saja dengan langkah tegas. Aroma musk terbawa angin hingga masuk ke indera penciumanku. Rambut gondrong sebahu yang dikuncir setengah itu memperjelas kebodohan yang kulakukan beberapa menit lalu. Gimana bisa aku tidak sadar aroma parfum dan panjang rambutnya berbeda dengan punya Bangbi?!

Bersamaan dengan pintu kamar kecil ditutup dari dalam, kuacak-acak rambut yang dari tadi sudah serupa milik singa.

"Dek?" Pria di depan, mengulurkan tangan. Menyentuh kening dan pipiku. "Kamu ... sehat?"

Kutepis tangan Bangbi. Dan langsung bergegas masuk kamar, sebelum orang berambut gondrong itu keluar. Kulempar tubuh berisi ini ke atas kasur, menenggelamkan wajah di bantal.

"Bangcat!" Teriakanku teredam bantal.

Mampus lo, Nes!

Ada apa sih dengan hari ini? Sudah bertemu Rendra brengsek, ditambah salah peluk tukang pukul.  Ah, DOUBLE SIAL!

Tok tok!

"Dek?" Itu suara Bangbi. "Ngapain di dalem? Sini keluar."

"Ogah!" Tanpa dicegah, aku mulai menangis lagi. Kali ini cukup keras, sesenggukan. Rendra brengsek! Bangcat sialan!

"Dek, kok malah nangis? Dave nggak marah. Sini keluar dulu. Itu tadi Abang liat muka kamu berantakan, kenapa?"

Tangisku semakin keras. Aku sama sekali tidak percaya kalau Bangcat tidak marah. Aku juga tidak berani keluar, karena takut dipukul. Iya sih ada Bangbi juga, tapi tetap saja aku takut. Dan lagi ... kenapa aku jadi cengeng, sih? Memalukan. Tapi aku tidak bisa menghentikannya!

"Nes." Itu suara Banggi. "Kenapa sih? Ada masalah?"

Aku tidak menjawab. Lebih memilih tidur tengkurap sambil memukul-mukul boneka monyet sebagai pelampiasan kesal.

"Dek." Kali ini Bangkev. Aku berdecak. "Abang bawa cokelat asli Singapura, lho. Katanya minta dioleh-olehin ini?"

Aku mengangkat wajah, menoleh ke arah pintu yang kukunci. "Bener?"

"Iya. Makanya sini keluar."

Aku mengusap air mata dengan lengan boneka, meskipun pada akhirnya tetap keluar lagi. "Nggak maoo ... masih mau nangis, Bangkev!"

Seketika, terdengar gelak tawa di luar sana. Dan aku mengenalnya sebagai suara Bangcat. Dia itu memang bangsat. Aku sedih, malah ditertawakan. Sebal!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel