Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

14. A Night With Him

Sebenarnya, sejak tragedi salah peluk itu, aku agak merasa aneh dengan sikap Bangcat. Bukan karena dia berubah tidak galak dan jadi lembut. Please ya, dia itu seperti tidak bisa kalau tidak ngegas saat bicara padaku. Jadi bukan itu, tapi karena dia yang makin sering tiba-tiba muncul di sekitarku. Itu menyebalkan, karena dia selalu menampilkan senyum mengejek.

Apalagi kalau ingat saat kami sarapan, setelah malamnya aku mengurung diri sampai pagi karena menghindar. Dia menatapku penuh ejekan. Bahkan, pagi itu Bangbi ikut menggoda dengan mengatakan apakah aku ingin mengulang adegan itu lagi? Heran, Bangbi benar-benar menyebalkan. Maksudnya apa menggodaku begitu? Mereka seolah berkonspirasi.

Mengingat itu, rasanya aku ingin menjambak-jambak rambut gondrong pria di sebelahku yang sedang mengendarai Miko ini.

Kalau berani.

Se-an-dai-nya sa-ja!

Nyatanya? Aku hanya bisa diam, mengumpat dalam hati, meremas-remas ujung jaket army milik Bangcat yang kembali kupakai, setelah beberapa hari lalu kukembalikan. Di mana kami sekarang? Di perjalanan menuju entah mana yang kata Bangcat bisa kujadikan sebagai tempat mencari angin. Dia bahkan sudah izin Bangbi dan Bangpan—yang memang ditunggu kedatangannya—lebih dulu. Walaupun tadi Bangpan sedikit bersikap curiga dan sinis. Entah karena apa.

"Kita mau ke mana, Bang?"

Bangcat menoleh sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. "Monas."

"Monas?" Mataku mengerjap. "Nga-ngapain?"

"Mancing."

"Hah? Beneran? Emang di Monas boleh mancing? Malam-malam?"

Dia tertawa mengejek. "Untung Abang lagi nyetir."

Aku langsung beringsut mepet ke pintu. Itu tadi maksudnya kalau tidak sedang menyetir, dia akan melakukan sesuatu, kan? Misal, memukulku? Hi, ngeri!

"Duduknya yang bener."

"Iya, ini udah." Aku meremas sabuk pengaman.

"Duduk yang bener itu bukan yang mepet-mepet gitu. Masa yang kayak gitu harus dijelasin?"

"O-oke." Aku kembali ke posisi semula.

"Jaketnya dipakai yang bener. Jangan cuma buat pajangan doang."

Aku berdecih sinis, dalam hati. Lalu dengan terpaksa memasang semua kancing jaket. Jaketnya dari tadi memang hanya kugunakan sebagai selimut. Malam ini aku sedang malas memakai jaket atau pakaian tebal lainnya. Menurutku,  bahan dress denim selutut yang kupakai bahannya juga sudah tebal, kok. Ya walaupun memang berlengan pendek, sih.

"Udah."

"Itu mukanya kenapa gitu? Ekspresi macam apa itu? Kesal?"

"Enggaak!"

"Kok bentak?"

"Engg–okay, maaf." Sudahlah Nes, kamu mending kunci mulut. Lagian, kenapa tadi bisa tanpa sadar putar bola mata sambil mendengus, sih? Oh my God!

***

Setelah beberapa saat berada di perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Dan Bangcat memang tidak bohong. Dia mengajakku ke Monas. Untungnya, kami tidak kehabisan tiket naik ke puncaknya.

"Kamu pernah ke sini malam hari?" Bangcat bertanya, ketika kami sedang menunggu antrian menaiki lift bersama para pengunjung lainnya.

Aku menggeleng. "Baru sekali ini."

Bangcat mengangguk-angguk. "Kalau ke sininya?"

"Baru sekali juga."

Sebelah alisnya terangkat. "Pas TK?"

Abang ngejek?! "Pas SMA. Aku TK takut keramaian, jadi nggak pernah main ke tempat wisata." Kenapa juga aku harus cerita? Dasar Agnes bodoh!

"Pas SMA sama siapa?"

"Sama Dave." Mataku melotot. Kututup mulut dengan telapak tangan.

"Dave?"

Aku menggaruk pangkal hidung. "Mm ... itu ... mantan aku."

Bangcat mengernyit, ber'oh', lalu terkekeh geli. Meledek. Aku membuang muka, mengerucutkan bibir. Lift terbuka, para pengunjung bergegas masuk, termasuk kami. Melihat ruangan kotak yang sangat penuh itu, aku hanya bisa meringis. Bahkan, aku dan Bangcat sampai menempel di dinding lift sisi kanan. Dan yang membuatku agak risih, ada seorang pria muda yang badannya mepet ke badan kiriku. Sedangkan di sisi kananku ditempati Bangcat.

"Mau tukeran tempat?" Bangcat berbisik, sedikit membuatku tersentak.

"Boleh?"

Bangcat mendengus terang-terangan. "Harus."

Kami akhirnya bertukar tempat. Ini sedikit lebih nyaman. Setidaknya, walaupun aku selalu ketakutan jika bersama Bangcat, namun semua orang kenal dengannya. Bahkan Papa dan Mama. Sedangkan orang asing tadi? Hih, untuk kali ini saja mau tak mau aku terpaksa memilih Bangcat. Jangan tertawa. Ini TERPAKSA!

"Dek."

Aku mengangkat kepala, melirik ke kiri. Sedikit bergidik karena napas Bangcat menerpa telingaku, saat dia bersuara.

"Hm?"

"Boleh pegang pundaknya?"

Hah? Mulutku menganga. MAKSUDNYA, BANG?!

"Diem berarti iya. Oke, sip."

Lalu belum sempat aku menarik napas, telapak tangannya sudah menempel di pundakku. Tubuhku menegang dengan sendirinya.

Bukan aku sok suci karena tidak pernah sekali pun skinship dengan lawan jenis. Dengan Banggi atau Bangkev pun, aku sudah biasa dirangkul. Yang jadi perbedaan, ini Bangcat. Biar kuperjelas. Ini seorang David Catra Fahreza yang berprofesi sebagai dokter bedah syaraf, yang selalu jadi mimpi burukku di masa SMP karena terbayang-bayang dengan aksi pengeroyokannya pada seorang siswa cupu. Istilah singkatnya; tukang pukul!

Nanti kalau pundakku remuk, bagaimana? Kalau aku pulang hanya tinggal nama, bagaimana? Pokoknya ini salah Bangbi dan Bangpan yang mengijinkan, titik!

"Ayo." Bangcat berjalan lebih dulu, setelah lift terbuka.

Aku mengekor di belakangnya. Kusentuh pundak bekas tangannya tadi. Entah kenapa aku merinding. Menggelengkan kepala, aku mempercepat langkah menyusul Bangcat yang sudah berdiri di dekat birai. Aku sengaja mengambil tempat beberapa jengkal darinya. Saat menengok ke bawah, mulutku menganga.

"Woaaah!"

Pemandangan dari atas sini sangat-sangat menakjubkan. Aku bisa melihat kota Jakarta dengan bangunan-bangunan yang dari sini terlihat kecil, dihiasi lampu-lampu indah.

"Cantik banget," seruku.

Bangcat tergelak. Tapi aku tidak terlalu mempedulikannya. Aku sedang menikmati pemandangan ini. Tidak menyangka, Jakarta kota penuh macet dan polusi, bisa seindah ini. Ke mana saja aku selama ini, coba?

"Gue harus foto," gumamku sambil mengambil ponsel dari saku dress.

Dan ya, aku seorang perempuan biasa. Yang kalau lihat pemandangan menarik, langsung tidak sabar ingin memotret dan berselfie ria. Lumayanlah, buat pamer ke Rasti dan ... bocil songong. Juga posting di Instagram! Yang satu ini wajib sekali, Fellas. Lol.

Tapi aku sedikit sebal, karena rambutku yang tergerai beterbangan, mengganggu pergerakanku. Maklum, di atas sini angin sangat kencang. Rambutku selalu mengenai mata, dan balik lagi meski berkali-kali diselipkan di belakang telinga. Bangcat sih enak, rambutnya dicepol rapi. Untung dia tidak banyak komentar saat aku sibuk sendiri. Dia bahkan tidak memperhatikanku, setahuku. Tidak tahu juga, karena sedari tadi aku memang tidak menoleh padanya.

"Nggak bawa tali rambut?"

Aku yang masih ambil-ambil foto dari berbagai angel, menoleh terkejut. Bangcat sudah berdiri di belakangku, menatap dengan kedua alis terangkat.

Aku sedikit meringis. "Lupa."

Bangcat berdecak. "Orang galau berpotensi jadi pelupa, ternyata."

Aku menahan untuk tidak cemberut di depannya. Dia lalu meraba-raba saku celana, lalu mengeluarkan ... tali rambut.

"Balik badan."

Menuruti perintahnya dengan sedikit bingung dan kikuk, aku membalikkan badan menghadap ke birai lagi. Lalu terkejut saat merasakan sentuhan jari-jari di rambut.

"B-bang...."

"Abang iketin. Nggak boleh?"

"Bo-boleh." Tenang, Nes, cuma diikatkan rambutnya. Kamu jangan takut. Dia tidak akan mencelakaimu. Okay?

MASALAHNYA, aku bingung tangan Bangcat itu kok ya semacam stopkontak, ya. Aku merasa seperti tersetrum saat jemarinya menyentuh kulit kepalaku. Aku kan jadi takut. Jantungku saja sudah berontak, bersiap loncat dari singgasananya. Kan bahaya. Bangcat bukan manusia biasa, jangan-jangan?

"Sudah."

Tepat setelah dia mengatakan itu, aku mengembuskan napas keras-keras. Gila. Dari tadi ternyata aku tahan napas tanpa sadar, lho.

"Makasih, Bang." Aku berucap pelan, setelah dia kembali berdiri di sebelahku.

Tapi karena dia hanya membalasnya dengan gumaman, aku memilih foto-foto lagi. Berusaha menghilangkan efek jarinya di rambutku. Aku juga beberapa kali merekam video para pengunjung yang sedang menikmati pemandangan dari sini. Mereka terlihat bahagia dan terhibur.

"Senang?"

Aku mengangkat pandangan dari ponsel. Bangcat sedang menatapku, dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Aku tidak bisa menahan bibir untuk tidak tersenyum lebar sambil mengangguk kuat-kuat. "Makasih, Bang."

Bangcat malah bengong dan menerawang. Kelihatan terpaku. Lalu melarikan matanya ke arah lain sejenak, sebelum kembali menatapku. "Makanya jangan galau terus."

"I-iya." Kapan sih Bangcat tidak menyindir-nyindir begitu? Nadanya tidak pernah santai, lagi.

"Di dunia ini, banyak yang bisa kamu syukuri. Jangan terpaku dengan hal-hal yang sudah jadi masa lalu, yang berpotensi mempengaruhi hidup kamu sekarang. Kamu punya orang tua, punya saudara, punya pekerjaan, punya orang-orang yang menganggap kamu penting. Galau karena seseorang yang sudah hilang dari dunia kamu, hanya akan bikin kamu kelihatan bodoh."

Wah. Kalimatnya bagian terakhir benar-benar nyes. Merasuk sampai ke pembuluh darah. Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Jadi yang kulakukan setelah itu adalah membalikkan badan. Menyembunyikan wajah tersinggung dan hampir menangis yang mungkin justru terlihat BODOH di matanya. Sialan. Padahal tadi aku sangat senang karena dia mengajakku ke tempat indah ini.

"Marah?" tanyanya, dari belakang.

"Enggak!"

"Kok bentak lagi?"

"Ya maaf!"

Dia terbahak. Apanya yang lucu, bangsat?! Sudahlah. Orang seperti dia mana tahu sakitnya dikecewakan oleh orang yang benar-benar diharapkan akan jadi satu-satunya dalam hidup. Dia tidak tahu betapa brengseknya si kampret Darendra itu!

"Coba omongan Abang barusan dipikirin. Ada yang salah nggak? Coba dicerna baik-baik."

Mau tak mau, aku kembali mengulang dalam hati, setiap kata yang dia bilang tadi. Mencernanya baik-baik, lalu menemukan bahwa ... kok tidak ada yang salah? Kok semuanya benar? Kok dia benar, kalau aku memang kelihatan bodoh dengan terus menggalaukan orang tidak penting seperti Rendra?

"Gimana?"

Dengan kepala tertunduk, aku membalikkan badan lagi. Lalu berkata lirih, "Iya."

"Iya apa? Abang salah?"

Aku menggeleng lemah. "A-aku yang bodoh."

Bangcat tergelak lagi. Sangat menyebalkan di telingaku, karena dia seakan dipuas-puaskan meledek.

Aku merasakan sentilan di dahi.  "Bocah."

Aku mengaduh, mengangkat tangan untuk mengusap-usap bagian kulit yang diserang olehnya. Tapi ibu jari yang lain, telah melakukannya lebih dulu. Yang pasti, bukan milikku. Saat mendongak, mataku mengerjap berkali-kali.  Bangcat menatapku lekat dan ... dia tersenyum. Bukan senyum meledek seperti biasa. Tapi senyum lembut. Yang sialnya terlihat tulus.

Sen-yum-nya....

Senyumnya!

SENYUMNYA, SUBHANALLAH!

EH?!!!!!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel