11. Cuddling and Kissimg
"Nah, kenalin cewek di samping gue yang ngakunya cantik, imut, manis, dan menggemaskan padahal hoax." Dewa mengarahkan kamera ponselnya ke arahku. "Jeng jeng jeng! Say hello, Agnesia Sinta."
Aku tersenyum kecil. Melambaikan tangan. "Halo semua, kalian bisa panggil aku Agnes."
"Nggak usah sok kalem lo. Biasanya juga galak plus bar-bar." Dewa mendorong ringan bahuku.
"Gue lagi nyetir, bego!" Aku menjambak rambutnya dengan sebelah tangan.
"Tuh kan, guys, Agnes ini emang gitu. Kasar, sukanya KDRT." Dewa tertawa kecil. "Jadi, gue mau klarifikasi kalau gue dan Agnes itu sama sekali nggak ada hubungan kayak yang kalian kira. Kita cuma temen biasa aja. Dulu gue temenan cuma sama sahabat Agnes tapi lama-lama ikut dekat juga sama dia."
Aku tersenyum mencibir. "Cuma teman Kia, tapi juga bucinnya."
Mendengar gumamanku, Dewa tetap tersenyum meski matanya memelototiku. Aku tertawa mengejek.
"Soal foto itu, kita udah biasa selfie bareng. Harusnya sih wajar kan kalau sesama teman saling seru-seruan foto bareng gitu?"
"Walaupun lebih banyak debatnya!" celetukku, yang disambut tawa Dewa.
"Yup, bener. Gue sama Agnes lebih banyak berantemnya. Jadi kayaknya emang mustahil kalau kita saling suka dalam tanda kutip."
"Bukan kayaknya, tapi fix gue nggak bakal suka sama bocah kayak lo."
"See, guys? Dia itu emang tukang nyolot. Untung gue sabar, ya kan?"
Aku memutar bola mata.
"Jadi, sudah jelas ya. Gue minta tolong banget buat nggak neror lewat DM ke akun Agnes, ya. Kasihan lho, dia udah jarang dikirimi DM, sekalinya ada malah teror. Gue sebagai temen yang baik, ngerasa prihatin aja sama nasib jonesnya."
"Jangan bawa-bawa status, lo!"
Dewa mengerling. "Siapa tahu di antara fans gue ada yang hatinya nyantol ke elo? Betul kan, guys?"
Aku mendengus. Iya, kalau fans-fans dia itu adalah manusia-manusia hot macam Donghae, atau kalau versi lokalnya ya Omar Daniel. Kalau cuma ABG mah, aku tidak minat.
"Klarifikasinya gue end cukup sampai sini ya. Sekarang, gue buka kesempatan ke kalian yang mau tanya-tanya. Langsung komen di bawah, oke?"
Aku menghela napas lega. Setidaknya, setelah ini aku akan dengan bebas berselancar di Instagram lagi. Menikmati foto oppa-oppa Korea yang selalu jadi pengantar tidurku tiap malam. Meski mungkin tetap saja akan ada beberapa fans Dewa yang tidak percaya begitu saja dengan klarifikasi ini. Kecuali kalau salah satu dari aku atau Dewa, membuktikan dengan memperkenalkan pasangan. Ya, tahu sendiri kan susahnya jadi publik figur?
Ah, atau mungkin sudah saatnya aku cari pacar seperti yang selalu disarankan Rasti dan Dio? Tapi ... siapa?
***
Sesampainya di basement apartemen, aku dan Dewa berjalan beriringan. Tas ransel kecil yang berisi buku-buku sketsa dan alat make up, kuberikan pada bocah itu. Meski menggerutu, dia tetap tidak menolak untuk membawakannya. Dan setelahnya selama di lift, dia bersenandung lagu-lagu Jawa yang kini sedang hits. Aku sih hanya diam sambil menikmati suaranya yang memang kuakui bikin meleleh. Eits, jangan berpikir macam-macam hanya karena aku memujinya, ya!
Kadang aku bertanya-tanya mengapa kami bisa berteman dekat, mengingat perkenalan dulu hanya diperantarai Kia. Biar kuceritakan ya, Dewa ini dulu menyukai Kia. Kejadiannya sudah empat tahun lalu. Sayangnya, dia salah orang, karena sahabatku itu sudah mencintai pacarnya yang tak lain adalah sepupuku. Saat hubungan Kia dan Bangpan sempat memburuk karena diganggu oleh Dilara, Dewa kembali berjuang mencari celah masuk. Tapi entah dasar nasibnya yang tidak beruntung atau memang cinta Kia dan Bangpan yang terlalu kuat.
Setelah Bangpan dan Kia menikah, aku tidak pernah lagi bertemu Dewa. Bocah itu seolah hilang. Memang sih, lingkungan kami beda, mengingat dia saat itu baru kelas dua SMA. Tapi setahun kemudian, tanpa disengaja aku melihatnya hari itu. Dimana dia sedang dipukuli oleh beberapa preman. Aku menolongnya dengan memanggil orang-orang sekitar. Dan sejak itu, kami saling berkomunikasi lewat chat, lalu sering bertemu juga.
"Mbak."
"Ya, Dek?"
"Sialan!"
Aku tergelak, menghindar saat lengannya ingin merangkul bahuku. Kami saat ini sudah keluar dari lift, dan sedang menyusuri koridor yang tumben sekali sepi.
"Lo tahu nggak nama mobil yang kecil itu? Yang biasa dipakai cewek."
Aku bersidekap, menaikkan kedua alis. "Napa tiba-tiba nanya itu? Lo mau beliin cewek lo mobil?"
"Lo ngejek karena gue jomlo?" Dia berdecak, aku tertawa. "Jawab aja, elah!"
"Oke-oke! Hm ... apa ya? Brio?"
"Bukan."
"Benz?"
"No."
"Terus apa? Mini Cooper?"
"Itu sih si Miko!"
"Ayla?"
"Nah!" Dia menjentikkan jari. "Apa tadi?"
Aku berdecak. "Ayla!"
Senyumnya mengembang. "Bahasa Inggrisnya pemandangan?"
"View."
Dia merentangkan kedua tangan, mengubah posisi menjadi berjalan mundur di depanku. "Aylaview too."
Aku mengerjap. Setelah tahu maksudnya, barulah pukulanku langsung menjadi hadiah. "Sinting!"
Dia terbahak-bahak, sesekali mengaduh karena aku tidak berhenti mencubiti lengannya. Meski begitu, jalannya tetap mundur.
"Mau lagi yang lebih baperin, nggak?"
"Ogah. Gue mah udah kebal ya sama gombalan–"
"AKU MAU KAMU!"
Ucapanku terhenti saat sebuah mendengar sebuah teriakan yang menggema di sepanjang koridor dengan penerangan minim ini. Menggeser badan Dewa agar tak menghalangi, aku mencoba melihat siapa sang pelaku. Dan pemandangan orang berpelukanlah, yang kusaksikan.
"I love you, Dave. Too much!"
Jika saja kedua orang itu adalah orang yang tidak kukenal, mungkin terkejutku hanya biasa saja. Tapi sekarang ini aku hanya bisa mematung. Tidak tahu harus berkata apa, atau sekadar melanjutkan langkah. Posisi mereka jelas menghalangi jalanku menuju unit Bangbi.
"Itu dokter yang katanya tetangga lo, kan? Sama cewek yang katanya adiknya ngefans gue."
Yup, Dewa benar. Di depan pintu tetangga unit Bangbi, kami bisa melihat dengan jelas Renata sedang memeluk erat leher Bangcat. Wanita itu mengucapkan kalimat-kalimat terlalu cepat, hingga mungkin akan terdengar seperti orang yang sedang meracau. Sedangkan Bangcat yang penampilannya sedikit berantakan, dengan kaus singlet dan celana bahan serta rambut gondrong acak-acakan, hanya diam saja.
"Mereka pacaran?" tanya Dewa dengan suara mirip bisikan.
Aku mengangkat bahu. Meski dalam hati juga penasaran. Tapi fix sih ini. Mereka pasti punya hubungan.
"Aku mau kamu, Dave." Renata melepas pelukan sambil berkata pelan, namun masih bisa terdengar sampai di tempat berdiriku.
Bangcat masih diam, dengan satu tangan memegangi tangan Renata yang menyentuh pipinya. Entah kenapa, tiba-tiba kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Jantungku mulai jumpalitan. Dan saat jarak wajah mereka nyaris terpangkas habis, aku menahan napas, lalu—
"Jangan lihat gituan. Lo masih kecil, Mbak."
—gelap.
Seiring tangan Dewa yang menutupi kedua mataku, aku juga merasa tubuhku dibalik paksa. Lalu lenganku ditarik melangkah menuju arah datang kami tadi. Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara umpatan keras dari arah belakang.
"Dek!"
Aku mematung. Sialan, kami ketahuan!
Mampus lo, Nes!
***
