Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. GEJOLAK ASMARA

Meski hanya sekilas, momen itu terasa spesial. Aku tahu, perasaan yang kumiliki untuk Lina semakin tumbuh, dan aku berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Hari itu di sungai menjadi awal yang baik, dan aku yakin akan ada lebih banyak momen seperti ini di hari-hari berikutnya.

Aku mengambil kameraku, tak ingin melewatkan momen saat Lina terlihat begitu alami dan mempesona di tepi sungai. Cahaya pagi yang lembut menyelimuti tubuhnya saat dia mencuci pakaian di atas batu. Tanpa ragu, aku mulai memotret dari kejauhan, mengabadikan keindahan sederhana yang terpancar dari dirinya.

Ketika aku mendekat dan memintanya untuk menatap lensa, dia tampak sedikit malu.

"Malu ah, Mas Bayu," ucapnya sambil tersenyum manis. Tapi senyum itu justru membuatku semakin tergoda untuk menangkap momen tersebut. Tawa lembutnya pecah saat aku bercanda, mencoba membuatnya lebih rileks.

"Mbak Lina, ayolah, ini buat kenang-kenangan kita di sungai. Kamu cantik kok, nggak usah malu dong." Aku berkata sambil tersenyum, berharap dia mau berpose sedikit.

Akhirnya, setelah beberapa kali meyakinkannya, dia menatap kamera dengan tawa kecil dan wajah yang memerah karena malu. Senyumnya, begitu natural, begitu indah, membuat setiap foto yang kuambil terasa istimewa. Ada kehangatan dalam caranya tersenyum, sesuatu yang sulit ditangkap dalam lensa, tapi terasa begitu nyata saat aku berada di dekatnya.

Setiap kali dia tertawa, aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum juga. Ada sesuatu yang hangat dan membahagiakan dalam suasana pagi itu. Aku merasa semakin terhubung dengannya, bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena kepribadian Lina yang hangat dan lembut. Hari ini, di bawah langit pagi yang cerah, aku merasa berada di tempat yang tepat, bersama orang yang tepat.

Aku berhasil mengambil beberapa foto yang menurutku sempurna, setiap potret Lina begitu natural dan mempesona. Setelah selesai mencuci, dia duduk di atas batu besar, masih dengan balutan kain sarungnya yang basah, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang anggun. Sesekali dia mengguyurkan air sungai ke tubuhnya, tertawa lepas dengan riang seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Momen itu membuatnya terlihat tidak hanya cantik, tapi juga mengg0da.

Aku terus mengarahkan kameraku, tak ingin melewatkan momen sekecil apa pun. Setiap kali dia tertawa, suara gemericik air di sekitarnya seperti ikut menyatu dalam harmoni.

"Ayo, Mas Bayu, jangan cuma nonton, mandi juga dong sini!" serunya sambil tersenyum usil.

Aku hanya tertawa malu, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin aku bisa fokus mandi ketika ada Lina di depanku, begitu mempesona dengan kesederhanaannya? Kamera di tanganku terasa seperti alat yang tepat untuk menjaga jarak, sekaligus menangkap keindahan yang begitu alami. Aku terus memotret, berharap bisa menyimpan setiap momen indah ini dalam ingatanku, bukan hanya di kamera.

Sambil berdiri di pinggir sungai, aku merasa semakin terhubung dengannya. Ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar ketertarikan fisik, aku merasa nyaman bersamanya, seolah-olah dia adalah bagian dari kehidupan yang selalu kucari. Waktu terus berjalan, tapi dalam momen-momen seperti ini, rasanya semua terhenti, hanya ada aku, Lina, dan keindahan alam yang menyelimuti kami.

Tidak lama berselang, Lina memintaku untuk membalikkan badan karena dia mau mengganti pakaiannya, jantungku langsung berdebar kencang. Ada rasa penasaran yang tak bisa dipungkiri, namun aku tahu aku harus menjaga sikapku. Meski dalam hati aku merasa tergoda untuk mencuri pandang, aku tetap berbalik, menghormati permintaannya. Waktu terasa berjalan lebih lama dari biasanya, dan dalam diam, pikiranku dipenuhi dengan bayangan Lina.

Setelah beberapa saat, suara lembutnya terdengar,"Mas Bayu, sudah kok. Bisa lihat sekarang"

Aku pun membalikkan badan, dan di hadapanku Lina sudah berdiri dengan pakaian barunya. Dia memakai sarung yang diikat seperti rok panjang, dan meski sederhana, penampilannya tetap terlihat begitu istimewa. Matahari pagi yang semakin tinggi memberikan cahaya hangat yang menyinari wajahnya, membuatnya tampak bersinar. Ada sesuatu tentang kesederhanaannya yang justru membuatnya begitu menggodaku.

Aku tersenyum, mencoba menyembunyikan debaran jantung yang masih terasa.

"Mbak bener-bener cantik, kelihatan istimewa," ucapku jujur, tanpa berusaha menutupi kekagumanku.

Dia hanya tertawa kecil, tampak malu dengan pujianku,"Ah, Mas bisa aja. Ayo kita pulang, Mas. Aku udah selesai kok nyucinya"

Saat kami berjalan pulang bersama, aku merasa semakin tertarik padanya. Meski baru beberapa hari mengenal Lina, rasanya seperti aku telah mengenalnya lebih lama. Ada perasaan nyaman yang tumbuh setiap kali aku bersamanya, dan aku tak bisa memungkiri bahwa aku ingin lebih dekat lagi dengannya.

Dalam perjalanan pulang dari sungai, suasana antara aku dan Lina terasa lebih hangat. Kami terus mengobrol dengan santai, sesekali tawa kecil keluar dari mulutnya yang manis. Di sela obrolan, Lina yang semalam menawarkan diri untuk mengantarku mencari tempat-tempat indah di sekitar desa untuk aku potret. Tawaran itu membuat hatiku semakin berdebar. Kesempatan untuk lebih dekat dengannya terbuka lebar, dia mengatakan sudah siap untuk aktivitas hari ini.

Namun, di satu sisi, aku merasa sedikit kasihan pada anaknya.

"Tapi anakmu nanti gimana, Mbak? Apa nggak repot?" tanyaku dengan nada prihatin. Bagaimanapun, Lina seorang ibu yang harus membagi waktunya antara mengurus anak dan kesehariannya.

Lina tersenyum, menenangkan kekhawatiranku,"Nggak apa-apa, Mas. Anakku nanti aku tidurin dulu. Biasanya dia tidur lama kalau sudah siang, dan ibuku juga pasti ngerti. Nanti ibuku yang jagain kalau dia bangun"

Jawabannya begitu sederhana tapi menenangkan. Ada sesuatu dalam cara Lina menangani kehidupannya yang membuatku kagum. Dia seolah tidak pernah membiarkan kesulitan hidup menjadi beban berat, dan selalu mampu menjaga senyum di wajahnya.

Aku mengangguk, merasa lebih tenang,"Kalau begitu, aku senang banget, Mbak Lina. Aku nggak sabar buat lihat tempat-tempat indah di sekitar sini. Pasti banyak spot bagus untuk dipotret"

Lina tersenyum lagi, kali ini dengan lebih ceria,"Iya, Mas. Nanti kita jalan-jalan ya. Di sini banyak kok tempat yang indah, yang pastinya akan bagus untuk difoto"

Dengan rencana itu yang sudah terbayang di kepala, aku merasa semangatku semakin tumbuh. Ada Lina yang menjadi alasan utama, bukan hanya keindahan alam yang akan kutangkap lewat lensa kameraku.

**

Siang itu, sekitar pukul satu, aku duduk di depan rumah nenekku, menunggu Lina dengan penuh antusias. Udara di kampung ini begitu segar, membuatku semakin tak sabar untuk mengeksplorasi tempat-tempat indah bersama Lina. Tak lama kemudian, dia keluar dari rumahnya, mengenakan pakaian yang simpel namun tetap memikat. Dia tersenyum manis menatapku.

"Ayo, Mas. Anakku sudah tidur. Kita jalan sekarang, aku udah siap menemani," ucapnya dengan senyuman khasnya yang memikat.

Aku tersenyum lebar, merasa semangat membuncah.

"Ayo, Mbak!” jawabku sambil segera bangkit dari kursi, siap untuk perjalanan yang kutunggu-tunggu.

Lina mengajakku melewati jalan setapak menuju sungai tempat dia mandi tadi pagi. Suara aliran air sungai mulai terdengar lagi, memberikan kesan tenang yang begitu alami. Kami berjalan berdampingan, sesekali berbincang tentang alam dan bagaimana kampung ini masih sangat asri.

"Aku sering ke sini, Mas. Tempat ini selalu bikin aku tenang," ucapLina, menunjuk ke arah pepohonan hijau yang rimbun di sepanjang sungai.

Aku mengangguk setuju.

"Pemandangan di sini luar biasa, Mbak. Pasti banyak spot bagus untuk diabadikan. Apalagi ada bidadari di sisiku," balasku sambil memegang kamera di tanganku seraya tersenyum.

Lina melirik lembut dengan tatapan mata

indahnya yang menggetarkan hatiku. Melihat dia aku gemas banget.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel