3. MENGAJAK KE SUNGAI
Aku memutuskan untuk istirahat dan tak sabar menunggu esok. Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Mimpi indah yang barusan kurasakan masih segar dalam ingatan, aku bermimpi berduaan dengan Lina. Entah bagaimana, mimpi itu terasa begitu nyata, seolah aku bisa merasakan kehadirannya di sampingku. Namun, saat tersadar bahwa itu hanya mimpi, aku merasa sedikit kecewa, meski bayangan indah tentang Lina masih membekas.
Aku bangun dari tempat tidur, dan saat berjalan keluar kamar, kudengar suara nenekku dari dapur. Nenek sudah bangun dan sibuk menyiapkan sarapan. Nenekku adalah sosok yang penuh perhatian dan rajin, meski usianya sudah tidak muda lagi. Selain nenek, di rumah ini aku juga tinggal bersama sepupuku, Sari. Dia masih duduk di kelas 6 SD, anak yang ceria dan selalu membawa keceriaan ke rumah ini. Sementara orang tua Sari sedang ada di jakarta, usaha di sana.
Udara pagi di sini memang dingin, khas daerah pegunungan. Sambil mengusap wajahku yang masih terasa dingin, aku berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir kopi. Aku butuh sesuatu yang hangat untuk mengusir hawa dingin ini. Nenek menoleh saat melihatku masuk.
"Kamu sudah bangun, Yu? Kopinya di dapur, ambil sendiri, ya," ujar nenek sambil tersenyum.
Aku mengangguk dan langsung mengambil cangkir, menuangkan air panas dan bubuk kopi. Aroma kopi yang harum segera memenuhi dapur, dan rasanya sedikit membangkitkan semangatku yang masih setengah tertidur.
Sambil memegang cangkir kopi hangat, aku berjalan ke luar rumah, berdiri di depan pintu untuk menikmati suasana pagi. Dingin memang menusuk, tapi secangkir kopi hangat di tanganku membuatnya terasa lebih ringan. Mataku memandang ke arah rumah Lina, yang terlihat samar di balik pepohonan dan kabut tipis pagi itu. Pikiranku kembali terbang ke mimpiku semalam. Rasanya tidak sabar menunggu waktu bertemu dengannya nanti.
Aku duduk dengan nyaman sambil menikmati kopi yang hangat di tengah dinginnya udara pagi, pikiranku terus dipenuhi bayangan Lina. Rasanya aneh, baru beberapa hari kami bertemu, tapi sudah ada perasaan yang kuat tumbuh dalam diriku. Lina begitu memikat, wajah begitu cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya pun nampak menggoda. Mungkin karena dia tampak begitu alami dan sederhana, berbeda dengan perempuan-perempuan di kota. Ada pesona khas yang sulit dijelaskan.
Aku tidak peduli statusnya sebagai seorang janda. Bagiku, itu bukan hal yang penting. Justru, semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa tertarik. Ada sesuatu tentang ketegarannya, kelembutan dalam sikapnya, yang membuatku jatuh hati. Lina bukan hanya cantik secara fisik, tapi juga memiliki kehangatan yang jarang kutemui pada orang lain.
Semakin kupikirkan, semakin aku merasa ingin lebih dekat dengannya. Hatiku berdebar membayangkan kesempatan yang akan datang hari ini, saat kami berdua menjelajahi kampung ini bersama. Ini lebih dari sekadar kesempatan untuk mengambil foto, ini adalah kesempatan untuk mengenal Lina lebih jauh. Dan mungkin, jika aku cukup berani, aku bisa mengungkapkan perasaan yang perlahan tumbuh di dalam diriku.
Walaupun aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku bertekad untuk mencoba. Lina adalah wanita yang istimewa, dan aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk membuatnya menjadi bagian dari hidupku. Mungkin, di antara perjalanan kami nanti, aku akan mencari momen yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati dengannya. Bagaimanapun caranya, aku akan berusaha untuk mendapatkan hatinya agar bisa memilikinya.
Ketika langit mulai terang dan udara dingin masih terasa, aku melihat Lina keluar dari rumahnya. Dia memakai kain yang dililitkan seperti sarung di tubuhnya, tampak begitu santai namun tetap terlihat menawan. Di tangannya, dia membawa ember yang sepertinya berisikan beberapa pakaian. Saat dia melihatku, Lina tersenyum manis seperti biasa, dan sapaan ramahnya membuatku merasa nyaman.
Namun, yang membuatku kaget adalah ketika dia tiba-tiba mengajakku mandi di sungai.
"Mas Bayu, sudah pagi, ayo mandi di sungai saja. Seger lho di sana," ucapnya dengan nada menggoda. Aku hampir tidak percaya dengan ajakannya. Mendengar tawaran itu, ada rasa tertarik yang muncul, tapi di sisi lain aku juga merasa malu.
Lina kemudian meledekku,"Mas Bayu belum mandi kan? Ke sana yuk, mandi di sana pasti seger!"
Aku tersenyum kaku, mencoba menutupi rasa maluku. Jujur saja, aku belum pernah mandi di sungai, tapi ada rasa penasaran dan keinginan untuk mencoba. Apalagi, bisa lebih lama bersama Lina adalah alasan yang cukup kuat untukku mengesampingkan rasa canggung.
"Baiklah, Mbak Lina, aku ikut. Tapi jangan ketawa kalau aku canggung ya, ini pertama kalinya buatku," jawabku sambil tertawa kecil.
Lina tertawa ringan,"Santai aja, Mas. Nanti aku tunjukin tempat yang bagus buat mandinya"
Sebelum berangkat, aku tak lupa mengambil kameraku. Siapa tahu, ada momen-momen indah yang bisa kuabadikan di perjalanan menuju sungai. Selain itu, kesempatan untuk memotret Lina dalam suasana alami di kampung seperti ini juga tidak boleh dilewatkan.
Kami pun berangkat bersama menuju sungai. Perjalanannya tidak terlalu jauh, tapi cukup memberikan pemandangan alam yang segar dan hijau. Sepanjang jalan, Lina terus berbicara dengan santai, bercerita tentang kampung ini dan masa kecilnya yang sering bermain di sungai. Aku mendengarkan sambil sesekali membalas dengan canda, tapi dalam hati aku tak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi di sungai nanti.
Setibanya di sana, suara gemericik air sungai yang jernih langsung menyambut kami. Tempatnya sepi, dikelilingi pepohonan dan batu-batu besar. Suasananya tenang, hanya kami berdua di sana. Sambil tersenyum, Lina menatapku.
"Ayo, Mas Bayu, silakan duluan," ucapnya sambil menunjukkan tempat terbaik di sungai.
Aku pun meletakkan kameraku dengan hati-hati, dan bersiap untuk pengalaman baru ini. Rasanya aneh, tapi juga menyenangkan. Terlebih lagi, bersama Lina, semua terasa lebih istimewa.
Dalam hati aku semakin penasaran kenapa Lina memilih mandi di sini, padahal di rumahnya pasti ada air. Ketika aku menanyakan hal itu, Dia tersenyum menjawab,"Sesekali aja kalau mau sekalian nyuci, Mas. Biar nggak numpuk di rumah"
Aku hanya mengangguk. Meski awalnya berniat mandi, aku akhirnya memutuskan untuk hanya bersih-bersih saja, membasuh wajah dan tangan di air sungai yang segar. Suasana di sekitar begitu tenang, dengan gemericik air mengalir di antara bebatuan, dan pepohonan rindang yang menaungi kami dari panas matahari yang mulai muncul. Tapi yang paling menarik perhatian adalah Lina.
Dia duduk di atas batu besar, mulai mencuci beberapa pakaian yang dibawanya. Setiap gerakannya tampak anggun, dan tanpa sadar aku tersenyum sambil memperhatikannya. Lina, dengan penampilan sederhana dan apa adanya, terlihat begitu indah. Cahaya pagi yang memantul di permukaan air dan menyorot wajahnya membuatnya tampak seperti sosok yang keluar dari lukisan.
Saat itu, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Ada rasa kagum pada kesederhanaan dan keteguhan hidupnya. Dia menjalani hari-harinya dengan tenang, meski pernah mengalami masa sulit. Dan justru itulah yang membuatku semakin jatuh hati padanya.
Aku terus memandanginya, sesekali tersenyum ketika dia menoleh dan memergokiku memperhatikannya.
"Kenapa, Mas Bayu? Ada yang aneh?" tanyanya sambil tertawa kecil.
Aku menggeleng pelan, masih dengan senyum di wajah,"Nggak ada yang aneh, Mbak. Justru mbak Lina terlihat lebih cantik"
Dia tertawa lagi, dan mungkin sedikit malu, tapi aku bisa melihat ada rona merah di wajahnya,"Ah, Mas ini bisa aja"
*****
