5. TUBUH YANG MENGGODA
Kami terus berjalan menyusuri sungai, sampai akhirnya tiba di sebuah tempat yang benar-benar menakjubkan, air terjun kecil di antara bebatuan, dikelilingi tanaman hijau yang subur. Cahaya matahari siang yang menyelinap di antara dedaunan membuat suasana semakin magis. Aku tak bisa menahan kekagumanku.
"Wah, ini luar biasa, Mbak Lina. Aku bisa dapet banyak foto bagus di sini," ucapku penuh semangat sambil mulai mengambil beberapa potret. Lina hanya tersenyum, berdiri di pinggir batu sambil memperhatikan aku yang sibuk dengan kameraku.
Lina memang tahu betul tempat-tempat indah di kampung ini. Dan aku merasa beruntung bisa berada di sini, bersamanya, menikmati alam yang indah dan suasana yang begitu hangat.
Aku segera mengarahkan kamera ke arah Lina, meminta dengan lembut agar dia berpose di depan air terjun kecil itu. Awalnya, dia tampak sedikit canggung dan malu, namun setelah beberapa candaan dan senyuman, akhirnya Lina setuju.
"Ayo, Mbak, jangan malu. Nanti hasilnya pasti bagus," pintaku sambil menyeringai.
Lina tersipu, tapi akhirnya berdiri dengan gaya yang sederhana namun tetap terlihat mempesona di balik balutan pakaian kampungnya. Saat dia tersenyum ke arah kamera, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pemandangan indah, ada kehangatan yang terpancar dari dirinya. Jepretan demi jepretan, aku berhasil menangkap momen yang begitu natural dan indah. Lina benar-benar seperti model, meski tanpa riasan mewah atau gaun mahal.
Setelah puas dengan beberapa potret yang kuambil, Lina mengajakku berjalan ke sebuah kebun jagung tak jauh dari sungai. Kami berjalan melintasi jalan setapak di antara pepohonan, hingga akhirnya pemandangan hamparan kebun jagung yang luas menyambut kami. Batang-batang jagung yang hijau dan tinggi menari ditiup angin, menciptakan pemandangan yang benar-benar menakjubkan.
"Ayo, Mas, kita ke sana," ajak Lina sambil melangkah lebih cepat, sedikit berlari kecil ke tengah kebun. Aku tersenyum melihatnya yang begitu ceria.
Sesekali aku menggodanya, membuat candaan ringan tentang bagaimana dia bisa jadi model kampung ini.
"Mbak Lina, kamu nggak cuma cocok jadi model di sungai tadi. Di kebun jagung pun mbak kelihatan luar biasa," ucapku sambil tertawa.
Lina tersipu, pipinya sedikit memerah.
"Mas bisa aja ih. Nanti aku benar-benar jadi model, lho," balasnya dengan senyuman malu-malu.
Aku tertawa kecil, senang melihatnya begitu polos dan bersahaja.
"Kalau jadi model, aku fotografernya ya. Pasti hasilnya bakal keren," sahutku sambil mengangkat kameraku lagi, siap untuk menangkap lebih banyak momen indah di kebun jagung yang luar biasa ini.
Sambil memotret kebun jagung, aku tidak bisa mengabaikan betapa cantiknya Lina, meskipun berkeringat karena panasnya matahari. Senyum manisnya dan cahaya yang memantul di wajahnya membuatku semakin terpesona. Setelah beberapa saat berkeliling, aku merasa sudah saatnya untuk istirahat.
"Eh, Mbak, bagaimana kalau kita istirahat aja dulu?" tanyaku, merasa sedikit kelelahan namun senang.
Dia mengangguk setuju, matanya bersinar cerah,"Boleh juga. Aku tahu ada saung yang nyaman di dekat sini. Kita bisa duduk-duduk di sana, Mas"
Lina memimpin jalan menuju saung sederhana yang terbuat dari bambu, terletak di antara pohon-pohon jagung. Saat kami tiba, aku merasa lega melihat tempat itu. Suasana di dalam saung sejuk dan nyaman, dikelilingi oleh angin sepoi-sepoi.
Aku menurunkan ransel yang berisi makanan dan minuman, mengeluarkan beberapa snack dan botol air minum yang kubawa.
"Ini, Mbak. Kita santai aja dulu di sini," ucapku sambil menata makanan di atas tikar saung.
Lina terlihat senang dan langsung duduk di sebelahku,"Wah, kamu bawa bekal banyak juga, Mas! Kita bisa makan sambil menikmati pemandangan dong"
Aku tersenyum, merasa bahagia bisa berbagi waktu dan makanan dengannya,"ya dong, kita bisa makan bersama, lebih seru kan? Hehe"
Kami mulai menikmati makanan sambil sesekali mengobrol. Suara angin yang berhembus lembut dan gemerisik dedaunan menambah suasana menjadi lebih tenang. Sambil menyantap snack, aku melihat Lina dengan lebih dekat. Dia tampak begitu bersinar, bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena kehangatan yang dia bawa.
"Jujur aja, aku senang bisa menghabiskan waktu denganmu, Mbak. Rasanya kayak mimpi gitu, gak nyangka banget," ucapku tulus.
Dia tersenyum lebar, membuat hatiku berdegup lebih cepat,"Aku juga senang, Mas. Sudah lama aku nggak jalan-jalan dan menikmati waktu seperti ini"
Saat itu, aku menyadari bahwa momen ini bukan hanya tentang foto-foto indah, tetapi juga tentang koneksi yang semakin kuat antara kami. Dan semakin dalam aku mengenal Lina, semakin sulit untuk menahan perasaanku yang semakin tumbuh.
Saat kami duduk di saung, rasa nyaman dan kedekatan semakin terasa. Tanpa sadar, aku mulai mengamati Lina dengan lebih intens. Kulitnya yang halus, matanya yang bercahaya, dan senyumnya yang menawan membuatku semakin tidak bisa berpaling darinya. Dalam momen yang intim ini, aku merasa perlu untuk lebih memahami perasaannya.
"Mbak Lina...," ucapku pelan, mencoba menciptakan suasana yang lebih akrab.
"Apakah mbak nggak merasa kesepian, tinggal di sini sendirian dengan anakmu tanpa ada suami?"
Dia terdiam sejenak, lalu menatapku dengan mata yang seakan mencari jujurku.
"Iya, Mas. Sejak perceraian itu, kadang aku merasa sangat kesepian. Rasanya hidup ini berat tanpa pendamping," jawabnya, suaranya lembut namun mengandung nuansa kesedihan.
Hatiku bergetar mendengar jawabannya. Aku merasakan empati yang dalam terhadap Lina, dan pada saat yang sama, perasaanku padanya semakin menguat.
"Tapi kamu terlihat kuat, Mbak. Aku yakin kamu bisa melewati semua ini" ucapku, berusaha memberinya semangat.
Dia tersenyum tipis, namun aku bisa melihat ada kerinduan di balik senyumnya.
"Terima kasih, Mas. Kadang aku hanya butuh seseorang untuk berbagi cerita, seseorang yang mengerti," balasnya dengan tulus.
Aku merasa terpanggil untuk lebih dekat dengan Lina yang cantik dan meggoda ini.
"Kalau gitu, aku di sini untuk mendengarkan. Aku bisa menjadi temanmu, untuk berbagi cerita," tawarku dengan harapan.
Lina menatapku, matanya seakan mencari kejujuran dalam perkataanku. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan,"Itu akan sangat membantu. Kadang, hanya dengan berbicara saja bisa membuat hati lebih ringan, Mas"
Kami terdiam sejenak, dan aku merasa momen ini sangat berharga. Rasa kesepian yang dia rasakan membuatku semakin ingin melindunginya. Dalam hati, aku berjanji untuk tidak hanya menjadi fotografer yang mengambil gambarnya, tetapi juga seseorang yang bisa menjadi teman dan mungkin lebih dari itu. Aku tahu perasaanku tumbuh lebih dalam, dan aku ingin Lina merasakan hal yang sama.
Dalam momen kedekatan yang semakin intim itu, rasa ingin tahuku tentang kehidupan pribadi Lina semakin menguat. Setelah mendengarkan cerita kesepiannya, aku beranikan diri untuk melontarkan pertanyaan yang agak sensitif, meskipun aku tahu ini bisa jadi membuat suasana menjadi canggung.
"Mbak Lina," ucapku, menatap matanya dengan serius.
"Jujur, aku penasaran… bagaimana mbak menyalurkan hasrat biologismu sebagai seorang janda? Maksudku, itu pasti bukan hal yang mudah untuk dilewati."
Lina terkejut mendengar pertanyaanku. Dia menatapku dengan ekspresi campur aduk, antara terkejut dan malu. Namun, setelah beberapa saat, dia menghela napas dalam dan terlihat mulai tenang.
"Duhh... itu memang agak sulit untuk dibicarakan, Mas," jawabnya pelan dan tampak malu-malu.
"Aku mengerti jika itu pribadi," balasku, berusaha menjaga nada suaraku tetap lembut.
"Tapi jika kamu merasa nyaman, aku ingin tahu bagaimana kamu menghadapinya."
Dia tersenyum sedikit, mungkin merasa lega bisa berbagi.
"Jujur saja, Mas, kadang aku merasa tertekan. Ada saat-saat di mana aku merasa sangat kesepian dan merindukan kehadiran seseorang. Tapi aku juga harus ingat bahwa aku punya anak yang harus kujaga," jelasnya, dengan tatapan yang tampak penuh rasa beban.
Aku merasakan kejujuran dalam jawabannya, dan itu membuatku semakin menghargai mbak Lina.
"Kadang, aku juga berpikir… mungkin kita sama-sama butuh seseorang untuk berbagi rasa, Itu wajar kan, Mbak?" lanjutku.
"Benar, Mas," jawabnya pelan.
"Tapi aku tidak ingin sembarangan. Aku ingin hubungan yang berarti, bukan hanya sekadar pelampiasan aja," tambahnya dengan mantap.
Degup jantungku berdegup kencang dengan momen seperti ini.
*****
