2. JANDA MUDA YANG MENGGODA
"Gini, Mbak... sebenarnya mbak udah berapa lama hidup sendiri?" tanyaku pelan, sambil menatapnya. Aku tak ingin terdengar terlalu ingin tahu, tapi rasa penasaran ini terus menggelitikku.
Dia terdiam sejenak, matanya menatap secangkir teh yang masih digenggamnya. Ada sorot sedih yang sekilas terlihat, sebelum akhirnya dia menghela napas pelan.
"Sudah dua tahunan, Mas," jawabnya lembut.
"Suamiku menceraikan aku tak lama setelah anak ku lahir," imbuhnya.
Jawabannya membuatku terkejut, meski aku mencoba menyembunyikannya. Aku bisa merasakan kepedihan dalam suaranya, meski dia berusaha menutupi.
"Maaf, Mbak. Aku enggak bermaksud membuat Mbak mengingat hal-hal yang menyakitkan," ucapku cepat, berharap dia tak merasa tersinggung.
Lina menggeleng sambil tersenyum kecil, meski senyumnya terlihat berat,"Enggak apa-apa, Mas Bayu. Kadang kita memang harus menerima kenyataan, seberat apa pun itu. Waktu itu, suamiku bilang sudah tidak ingin melanjutkan pernikahan ini. Katanya dia sudah tidak punya rasa lagi. Aku juga gak tahu kenapa"
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Mendengar ceritanya membuatku merasa iba sekaligus marah pada pria yang meninggalkannya. Bagaimana mungkin ada seseorang yang meninggalkan wanita sebaik dan setegar Lina, apalagi saat anak mereka baru lahir? Terlebih lagi Lina mempunyai paras yang cantik, tubuhnya juga bagus. Rugi banget pria yang menceraikannya.
"Padahal, waktu itu aku pikir semuanya baik-baik saja," lanjut Lina, suaranya tetap tenang meski ada kesedihan yang tersirat.
"Tapi ya, hidup kadang berjalan seperti ini. Aku hanya fokus pada anak sekarang, Mas."
Kata-katanya menyentuhku lebih dalam dari yang kukira. Perjuangannya, kesederhanaan dan ketegaran Lina dalam menghadapi hidupnya sebagai janda muda benar-benar membuatku jatuh hati. Di balik kelembutannya, ada kekuatan yang luar biasa. Bukan sekadar wajah cantik atau penampilan yang sederhana, Lina adalah sosok wanita yang berjuang tanpa keluh, yang berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya meskipun harus menghadapi kesulitan seorang diri.
"Aku benar-benar salut sama Mbak Lina," ucapku, suaraku penuh ketulusan.
"Mbak luar biasa kuat. Enggak semua orang bisa menghadapi hal seperti ini dengan cara seperti Mbak."
Lina menatapku, tatapan matanya seakan berterima kasih, tapi juga ada sedikit keraguan.
"Terima kasih, Mas Bayu. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk anak, Mas. Hidup ini terus berjalan, dan aku harus melangkah, meski terkadang rasanya berat," ucapnya lembut.
Aku tersenyum padanya, meski dalam hati perasaanku campur aduk, antara rasa prihatin, simpati, dan… ya, aku tak bisa menyangkal perasaanku juga yang memang jatuh hati sama perempuan di sebelahku.
Ada sesuatu dalam diri Lina yang membuatku ingin lebih dekat, ingin melindunginya. Aku tahu dia wanita yang kuat, tapi bagian dari diriku ingin menjadi seseorang yang bisa meringankan bebannya, meski hanya sedikit. Rasanya semakin lama semakin sulit bagiku untuk menyembunyikan perasaan ini.
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari Lina. Selain wajahnya yang cantik alami, tubuhnya pun menggoda meski sudah punya anak. Postur tubuhnya masih terlihat seperti seorang gadis, ramping dan anggun. Dalam benakku, terpikir betapa cocoknya Lina jika menjadi model. Kesederhanaannya yang memikat justru membuatnya tampak lebih istimewa.
Obrolan kami berlanjut, tapi aku merasa ingin lebih jujur padanya. Setelah beberapa saat, aku memberanikan diri untuk berbicara.
"Mbak Lina," ucapku pelan, mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan pikiranku.
"Jujur saja, aku kagum sama Mbak. Bukan hanya karena Mbak orangnya kuat dan tegar, tapi… Mbak juga cantik banget. Bahkan, aku kepikiran, sepertinya mbak cocok banget jadi model."
Mendengar kata-kataku, Lina terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Wajahnya langsung memerah, tampak jelas bahwa dia malu mendengar pujianku.
"Mas Bayu bisa saja," jawabnya sambil tersenyum, menutupi rasa malunya.
"Saya ini cuma ibu-ibu kampung, mana mungkin jadi model, Mas"
"Tapi bener loh, Mbak," lanjutku, lebih serius kali ini.
"Karena, meski Mbak sudah punya anak, Mbak masih terlihat seperti gadis. Dan aku rasa kalau Mbak mau, Mbak bisa jadi model. Bahkan mungkin model profesional."
Lina tertawa lagi, kali ini lebih lepas,"Mas Bayu bisa banget bikin orang malu, ya. Tapi terima kasih atas pujiannya. Aku enggak pernah kepikiran jadi model, apalagi sekarang fokus mengurus anak, Mas"
Aku tersenyum, senang melihat Lina tampak lebih santai dan tertawa,"Ya, enggak ada salahnya mencoba hal baru. Kalau Mbak mau, nanti aku bisa fotoin buat latihan"
Dia masih tersipu-sipu, tetapi ada rasa kehangatan di antara kami. Obrolan ini membuat hubungan kami semakin dekat. Aku bisa merasakan, meskipun dia tertawa dan menganggapnya candaan, ada bagian dari dirinya yang merasa senang dengan pujian itu. Bagiku, ini bukan sekadar candaan, aku benar-benar mengaguminya, dan semakin lama, semakin sulit menahan perasaan yang tumbuh dalam diriku.
"Gini aja deh, Mas. Jika mas butuh temen untuk menunjukkan lokasi atau pemandangan yang bagus, nanti aku bisa anterin keliling," ucapnya menawarkan diri.
Mendengar itu, aku langsung kaget sekaligus senang, karena dia bersedia membantuku mencari tempat-tempat indah untuk dipotret di kampung ini, hatiku langsung berdebar. Kesempatan emas untuk menghabiskan waktu lebih lama dengannya! Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujui ide tersebut.
"Wah, boleh tuh! Aku akan sangat senang, Mbak Lina," jawabku dengan semangat, berusaha menyembunyikan kegembiraanku yang melonjak.
"Kalau Mbak tahu tempat-tempat bagus, aku pasti mau mengambil gambar di sana, sekalian biar aku lebih bisa memahami kondisi kampung di sini, Mbak."
Lina tersenyum manis, dan entah kenapa senyumnya itu membuat malam yang dingin ini terasa lebih hangat.
"Besok pagi kita bisa pergi ke sawah dan sungai di dekat bukit. Di sana pemandangannya indah sekali, Mas. Banyak juga bunga liar yang tumbuh," ucapnya diakhiri senyuman manis.
Aku bisa membayangkan keindahan tempat yang dia sebutkan, dan semakin tak sabar menantikannya,"Itu terdengar sempurna, Mbak. Besok pagi aku pasti siap"
Setelah obrolan itu, aku merasa hubungan kami semakin dekat. Bukan hanya karena rasa kagumku yang semakin besar, tapi juga karena Lina membuka dirinya untuk berbagi lebih banyak denganku. Aku tahu, kesempatan untuk memotret bukan hanya tentang pemandangan yang indah, tapi juga tentang waktu yang lebih intim dihabiskan bersama Lina. Mungkin, dalam perjalanan mencari sudut-sudut terbaik di kampung ini, aku bisa mencari cara untuk mengenalinya lebih dalam lagi.
Karena sudah larut malam, setelah Lina kembali ke rumahnya, aku duduk merenung. Mungkin besok bukan hanya tentang potret alam, tapi juga tentang membuka lembaran baru dalam hidupku yang bisa saja melibatkan Lina. Rasanya aku semakin tak sabar menantikan apa yang akan terjadi esok hari.
Dalam diam, aku tak bisa berhenti memikirkan Lina. Bayangan dirinya terus bermain di kepalaku, dan semakin lama aku merasakan perasaan yang lebih dari sekadar kekaguman. Entah kenapa, meskipun dia seorang janda, hatiku merasa benar-benar jatuh hati padanya. Ada sesuatu yang begitu menggoda dalam dirinya, bukan hanya kecantikannya, tapi ketegaran, kelembutan, dan kesederhanaannya yang membuatku semakin tertarik. Begitu juga dengan tubuhnya yang bagus.
Dia memang sudah menjadi seorang ibu, tapi kecantikannya seolah tidak memudar. Bahkan, dalam pandanganku, Lina memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan. Aku ingin menangkap keindahan itu melalui lensa kameraku, ingin mengabadikan setiap sudut dari dirinya yang membuatku terpesona.
"Besok, aku akan berusaha membuatnya mau aku potret, sayang banget wajah secantik itu dan tubuhnya yang molek itu di sia-siakan," pikirku sambil menghela napas panjang.
*****
