5. PERAMPOKAN
Keesokan paginya berjalan seperti biasa bagi Felzein.
Bedanya, mulai hari ini hingga sebulan ke depan, dia cuti total.
Tak ada jadwal pasien, tak ada beban pekerjaan yang harus dipikirkan.
Seperti biasa, dia bangun pagi-pagi dan langsung menuju halaman belakang rumahnya untuk berolahraga.
Felzein memang menyukai olahraga yang menguras tenaga, seperti lari atau latihan fisik lainnya.
Tanpa benar-benar menyadarinya, kebiasaannya itu telah membentuk tubuhnya.
Otot-ototnya mengencang, dadanya semakin bidang, dan perutnya menjadi sixpack.
Setelah satu jam penuh berolahraga, Felzein akhirnya berhenti untuk beristirahat sejenak.
Baru saja dia mengatur nafas, ponselnya bergetar di atas meja. Suara dering memenuhi udara pagi yang masih sejuk.
Felzein melirik layar ponselnya. Nama yang tertera di sana membuat alisnya sedikit berkerut, Bu Atun.
Karyawan yang sudah lama bekerja di toko sembako miliknya.
"Ada apa Bu Atun pagi-pagi begini menelepon?" gumamnya pelan.
Tanpa pikir panjang, dia segera menggeser tombol hijau di layar dan menjawab panggilan itu.
"Assalamualaikum, Bu Atun," ujar Felzein setelah menjawab panggilan.
"Wa'alaikumussalam, Mas Fel," sahut Bu Atun, suaranya terdengar panik. "Mas Fel sekarang di mana?"
"Saya di rumah, Bu. Kenapa ya? Kok terdengar panik?" tanya Felzein, mulai khawatir.
"Toko kita dirampok, Mas!" seru Bu Atun.
Felzein terkejut, "Apa? Dirampok? Coba jelasin, Bu?"
"Iya, Mas. Mending Mas Fel segera ke toko sekarang," kata Bu Atun cepat. "Nanti saya jelasin."
"Baik, Bu. Saya segera ke sana," jawab Felzein tanpa ragu.
Felzein langsung bangkit dari duduknya. Rasa lelah setelah olahraga pagi tadi seketika lenyap.
Toko sembakonya dirampok?
Pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan.
Tanpa membuang waktu, dia masuk ke dalam rumah, mengambil kunci motor, dan bergegas keluar.
Setelah mengunci pintu rumah, dia segera menyalakan motornya dan melaju ke arah toko sembako miliknya.
Di sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar.
Siapa yang berani merampok tokonya? Apa ada karyawannya yang terluka?
Felzein mengendarai motornya dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.
Jalanan pagi masih cukup lengang, tetapi pikirannya sibuk menerka apa yang sebenarnya terjadi di tokonya.
Begitu sampai, dia melihat beberapa orang sudah berkumpul di depan toko.
Warga sekitar tampaknya ikut penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi.
Felzein segera memarkir motornya dan berjalan cepat menuju Bu Atun, yang berdiri di dekat pintu masuk dengan wajah cemas.
"Mas Fel!" seru Bu Atun begitu melihatnya.
"Bu, bagaimana kejadiannya?" tanya Felzein langsung, matanya menyapu keadaan sekitar.
Rolling door toko setengah terbuka, dan dia bisa melihat rak-rak yang berantakan di dalamnya.
Bu Atun menarik nafas sebelum menjawab, "Tadi subuh, waktu saya datang, pintu toko sudah ke buka."
"Saya kira Mas Fel yang datang, tapi begitu masuk, saya lihat barang-barang berserakan, laci kasir kebuka, uangnya hilang…"
Felzein mengepalkan tangannya, "Apa Bu Atun udah cek CCTV?"
Bu Atun mengangguk, "Saya udah cek, tapi monitor CCTV mati. Kayaknya pelakunya juga ngerusak CCTV-nya."
Felzein menghela nafas, mencoba meredam amarahnya, "Apa ada barang yang hilang selain uang, Bu?"
"Lumayan banyak, Mas Fel. Lima slop rokok, beberapa dus minyak goreng, dua karung beras isi 50 kg, sama beberapa barang mahal lainnya," jawab Bu Atun, suaranya masih gemetar.
Felzein menatap ke dalam toko. Dia sedikit curiga, dengan pencurian ini.
Tiba-tiba, dari kerumunan warga, seorang pria maju mendekat, "Mas Fel, tadi malam saya sempat lihat ada dua orang naik motor mondar-mandir di depan toko ini sekitar jam dua pagi. Orangnya mencurigakan."
Felzein langsung menoleh, "Apa Bapak lihat dengan jelas wajahnya?"
Pria itu menggeleng, "Gelap, Mas. Mereka pakai helm dan jaket. Tapi salah satu motornya kayaknya Vario warna merah."
Felzein mencatat informasi itu dalam pikirannya. Setidaknya ada satu petunjuk.
Dia mengeluarkan ponselnya, "Bu Atun, kita lapor ke polisi sekarang."
Bu Atun mengangguk, "Iya, Mas. Kita harus cari pelakunya!"
Felzein segera mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan singkat.
"Heru, bisa ketemu gak? Toko gue barusan dirampok."
Heru adalah teman Felzein yang bekerja sebagai wartawan kriminal di salah satu media lokal.
Jika ingin mendapatkan informasi lebih cepat dibandingkan polisi, Heru adalah orang yang tepat untuk dihubungi.
Setelah mengirim pesan itu, dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan menoleh ke Bu Atun.
"Ayo, Bu. Kita ke kantor polisi sekarang."
Bu Atun mengangguk, dia masih terlihat cemas, "Iya, Mas Fel. Kita harus cari pelakunya!"
Felzein segera menyalakan motor dan meminta Bu Atun membonceng di belakangnya.
Tanpa buang waktu, mereka langsung meluncur ke kantor polisi.
Sepanjang perjalanan, Felzein berusaha menenangkan pikirannya.
Amarah masih bergejolak di dadanya, tapi Felzein harus tetap berpikir jernih.
Bagi Felzein, toko sembakonya memang bisnis kecil sampingannya, tapi bisnis kecilnya itu adalah sumber mata pencaharian bagi beberapa orang karyawannya.
Begitu sampai di kantor polisi, Felzein langsung masuk bersama Bu Atun.
Ruangan itu cukup ramai, beberapa orang tampak melapor kasus mereka masing-masing.
Seorang petugas jaga kemudian mendekati mereka.
"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?" tanya polisi itu dengan nada profesional.
Felzein mengangguk, "Saya mau lapor, Pak. Toko sembako saya dirampok tadi subuh."
Polisi itu langsung mengarahkan mereka ke meja pelaporan.
Seorang polisi lain, berpakaian dinas dengan nama di dadanya tertulis Aipda Bowo, siap mencatat laporan mereka.
"Baik, bisa ceritakan kronologinya?" tanyanya sambil membuka buku catatan.
Bu Atun mengambil nafas dalam dan mulai menjelaskan, "Saya datang ke toko sekitar jam lima pagi, Pak. Waktu itu rolling door udah setengah terbuka."
"Saya pikir Mas Felzein ini yang datang lebih awal, tapi pas saya masuk, rak-rak udah berantakan, laci kasir kebuka, dan uangnya hilang."
Felzein menambahkan, "CCTV di toko juga mati, kemungkinan besar dirusak oleh pelaku."
Aipda Bowo mencatat sambil mengangguk, "Barang yang hilang apa saja?"
"Lima slop rokok, beberapa dus minyak goreng, dua karung beras, dan beberapa barang lain," jawab Bu Atun.
Felzein menatap polisi itu dengan serius, "Ada saksi yang melihat dua orang mencurigakan naik motor Vario merah mondar mandir di depan toko saya sekitar jam dua pagi."
Aipda Bowo mendongak dari catatannya, "Itu petunjuk bagus. Kami akan cek apakah ada laporan serupa di daerah sekitar."
Dia lalu beralih ke rekannya yang duduk di sebelah, "Pak Rudi, tolong cek laporan pencurian beberapa hari terakhir. Mungkin ada pola yang bisa dicocokkan."
Polisi bernama Rudi itu segera mengetik di komputernya.
Tak lama, dia mengangguk, "Benar, Pak. Dalam seminggu ini ada tiga laporan serupa."
"Modusnya sama, toko kelontong, CCTV dirusak, dan barang yang diambil kebanyakan rokok, sembako, sama uang tunai."
Felzein mengepalkan tangannya, "Berarti ini bukan kejadian tunggal?"
Aipda Bowo mengangguk, "Sepertinya ini ulah satu kelompok."
Dia menutup buku catatannya dan menatap Felzein, "Kami akan segera menyelidiki. Untuk sekarang, Pak Felzein bisa bantu dengan menyerahkan rekaman CCTV kalau ada, meskipun rusak, siapa tahu masih bisa diperbaiki."
Felzein mengangguk, "Baik, Pak. Saya akan ambil sekarang."
Aipda Bowo berdiri dan menjabat tangan Felzein, "Terima kasih sudah melapor. Kami akan usahakan menangkap pelakunya secepat mungkin."
