Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. LUKA SAHABAT

Baharuddin menatap Felzein tanpa berkedip, lalu tiba-tiba menunjuk ke arahnya.

"M-Ma... Malaikat, Bu!" serunya terbata-bata.

Lasmini yang duduk di sebelahnya ikut terkejut.

"Iya, Pak... Ini beneran kayak malaikat..." katanya dengan suara lirih, masih tak percaya.

Felzein hanya tersenyum tipis, "Masya Allah, Tabarakallah," ucapnya tenang.

Tanpa banyak bicara lagi, dia meraih cangkirnya, meniup permukaan teh yang masih hangat, lalu menyeruputnya pelan.

Setelah itu, dia mengambil satu kue kecil di hadapannya dan menggigitnya dengan santai, seolah tak terganggu dengan tatapan penuh keterkejutan dari mereka.

Felzein sudah menduganya. Reaksi seperti ini bukan hal baru baginya.

Setiap kali seseorang melihat wajahnya untuk pertama kali, mereka selalu terkejut.

Dia melirik Rosa yang masih terpaku, tatapannya seolah terkunci pada dirinya.

Felzein tersenyum tipis, lalu berkata dengan suara lembut, "Istighfar, Cha."

Rosa tersentak, sadar dari keterpakuannya. Dia buru-buru mengalihkan pandangan dan menghela nafas panjang.

"Astaghfirullah..." ucapnya pelan, masih berusaha menenangkan debaran di dadanya.

Baharuddin dan Lasmini yang mendengar itu refleks ikut beristighfar.

"Astaghfirullah..." ucap mereka hampir bersamaan.

Felzein tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada tenang, "Kalau melihat saya saja sampai terkejut seperti ini, bagaimana kalau kalian melihat Nabi Yusuf atau Nabi Muhammad?"

Baharuddin dan Lasmini saling berpandangan, belum bisa menjawab.

"Beliau berdua, para Nabiyullah itu, seratus kali, mungkin seribu kali lebih menakjubkan dari saya," lanjut Felzein dengan kerendahan hati.

Baharuddin, Lasmini, dan Rosa mengangguk, menyadari kebenaran kata-kata Felzein.

Sejenak, suasana terasa sepi. Hanya suasana malam yang terdengar.

Lalu, dengan gerakan halus, Baharuddin dan Lasmini saling bertukar pandang, seolah memberi isyarat satu sama lain.

Tanpa banyak kata, mereka berdua bangkit dari duduknya.

"Cha, Ibu ke dalam dulu, ya," ujar Lasmini sambil tersenyum.

"Iya, Bapak juga mau lihat sesuatu di dalam," tambah Baharuddin, berdehem kecil.

Mereka pun melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rosa dan Felzein berdua di ruang tamu.

Rosa menelan ludah. Kini, hanya ada mereka berdua.

Tidak ada percakapan di antara mereka.

Felzein meraih maskernya dan mengenakannya kembali, lalu mengalihkan pandangannya ke jam dinding di ruang tamu.

Jarum pendek hampir menyentuh angka dua belas, sementara jarum panjang terus bergerak perlahan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.40 malam. Malam semakin larut.

"Ocha..." suara Felzein terdengar lembut, memecah kesunyian malam yang mulai larut.

Rosa menoleh, menatapnya dengan sedikit harap.

"Aku pamit pulang dulu, ya. Udah hampir jam 12," lanjut Felzein sambil melirik jam di pergelangan tangannya.

Rosa terkejut, "Ah..." katanya refleks. "Minumnya gak dihabisin dulu, Mas?"

Felzein tersenyum tipis di balik maskernya, "Makasih, Cha. Udah cukup kok," ujarnya, lalu bangkit berdiri.

Rosa ikut berdiri, meski hatinya terasa berat. Dia menatap Felzein, seolah masih ingin berbicara lebih lama.

"Salam buat Bapak Ibu, ya? Aku pamit dulu," kata Felzein sambil menatapnya sekilas.

Rosa mengangguk pelan. Ada perasaan kecewa yang sulit dia jelaskan, tapi dia tahu tidak bisa menahan Felzein lebih lama.

"Iya, nanti aku sampaikan," balasnya lirih.

Felzein tersenyum sekali lagi sebelum melangkah pergi, meninggalkan Rosa yang masih berdiri di depan rumah, menatap punggungnya yang perlahan menjauh di bawah remang lampu jalan.

Setelah Felzein pergi, suasana mendadak terasa lebih sepi.

Rosa menatap gelas teh di atas meja, gelas yang tadi sempat disentuh dan diminum oleh Felzein.

Entah kenapa, ada dorongan aneh dalam dirinya.

Perlahan, dia meraih gelas itu, jari-jarinya menyentuh permukaannya yang masih sedikit hangat.

Tanpa benar-benar berpikir, dia membawa gelas itu ke bibirnya dan menyesap sisa teh yang ada.

Rasanya masih manis, bercampur dengan kehangatan yang perlahan mengalir ke tenggorokannya.

"Manis..." gumamnya pelan, matanya sedikit menerawang.

"Semanis senyummu tadi," lanjutnya, sembari tersenyum kecil, seolah merasakan kembali momen yang baru saja berlalu.

Ternyata, Baharuddin dan Lasmini tidak benar-benar pergi.

Dari dalam rumah, mereka diam-diam mengintip Rosa dan Felzein.

Saat melihat apa yang dilakukan anak perempuan mereka, keduanya terkejut.

"Lihat, Bu... Ocha minum teh bekasnya Nak Felzein," bisik Baharuddin, matanya membulat tak percaya.

Lasmini menatap suaminya, lalu kembali melirik ke arah Rosa yang masih memegang gelas itu.

"Iya, Pak... Kayaknya bener deh, Ocha suka sama Nak Felzein," jawabnya pelan, sambil menahan senyum.

"Masuk aja, Bu. Udah malam. Yuk, tidur," ajak Baharuddin, suaranya lembut namun tegas.

Lasmini mengangguk pelan, masih sesekali melirik ke arah Rosa yang tampak termenung di ruang tamu.

Tanpa banyak bicara, dia pun mengikuti Baharuddin masuk ke kamar, membiarkan putri mereka menikmati malam yang semakin sunyi.

Sementara itu, setelah cukup lama termenung, Rosa akhirnya beranjak dan mulai merapikan gelas serta sisa kue dari meja tamu.

Dia membawa semuanya ke dapur, mencucinya satu per satu.

Namun, saat sampai pada gelas yang tadi digunakan Felzein, dia ragu sejenak.

Setelah membersihkannya dengan hati-hati, Rosa meletakkan gelas bening kebiruan itu terpisah dari yang lain.

Mulai sekarang, tidak boleh ada yang memakai gelas itu kecuali dirinya atau Felzein, jika suatu hari nanti dia datang lagi.

Rosa kemudian masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di atas tempat tidur.

Dia mencoba memejamkan mata, tetapi bayangan wajah Felzein terus muncul di pikirannya, seolah-olah tersenyum lembut di balik masker yang tadi dikenakannya.

Merasa sulit tidur, Rosa meraih ponselnya dan membuka WhatsApp. Jemarinya mengetik pelan-pelan di kolom status.

"Aku bertemu malaikat malam ini."

Setelah menekan tombol kirim, dia meletakkan ponselnya di samping bantal.

Butuh waktu, tetapi akhirnya, dengan hati yang masih berdebar, Rosa pun terlelap.

Tanpa sepengetahuan Rosa, Melati yang belum tidur diam-diam melihat status WhatsApp-nya.

"Ocha... Alhamdulillah," gumamnya pelan, merasa lega sekaligus bersyukur.

Melati bisa menebak bahwa Rosa baru saja mengalami sesuatu yang spesial, mungkin tanpa sadar telah bertemu seseorang yang istimewa.

Dia tersenyum kecil, lalu meletakkan ponselnya, masih menyimpan rasa penasaran di dalam hatinya.

Melati kemudian menatap pantulan dirinya di cermin rias, matanya menerawang jauh.

Dengan suara lirih, dia bergumam, "Semoga kekasihmu nanti tidak seperti kekasihku, Cha."

Wajahnya tampak sendu, bayangan kesedihan tergambar jelas di sana.

Perlahan, dia mengusap pipinya sendiri, seolah ingin menghapus jejak luka yang tak hanya terasa di kulit, tetapi juga di hatinya.

Luka tamparan dari Welly, kekasih yang seharusnya mencintainya, tapi entah sudah berapa kali melayangkan tangan kepadanya.

Melati menarik nafas dalam, berharap tak ada seorang pun yang melihat bekas itu.

Sebab, dia sendiri pun ingin berpura-pura bahwa luka itu tidak ada.

Yang lebih penting adalah Rosa, sahabatnya, tidak tahu bahwa dia mengalami sesuatu yang begitu menyakitkan.

Bukan hanya menyakiti hatinya, tapi juga tubuhnya.

Dan Melati tidak ingin Rosa tahu akan hal ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel