Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. WAJAH DI BALIK MASKER

Baharuddin dan Lasmini akhirnya menyambut Felzein dengan ramah.

"Silakan duduk, Nak," ujar Baharuddin.

"Jangan sungkan, ya. Terima kasih sudah bantuin Ocha," tambah Lasmini dengan senyum hangat.

Baharuddin lalu menoleh ke putrinya, "Cha, bikinin teh dulu buat tamu," pintanya.

"Iya, Pak," jawab Rosa sambil melirik Felzein. "Sebentar ya, Mas," katanya sebelum beranjak ke dapur.

Felzein, yang masih merasa sedikit canggung, hanya mengangguk pelan.

Lasmini tersenyum ramah, "Saya ke belakang dulu ya, Nak. Bantuin Ocha."

Felzein hanya mengangguk sopan, sementara Lasmini berjalan menuju dapur.

Sepertinya dia ingin menyiapkan sedikit camilan sebagai suguhan.

Ruang tamu kini hanya menyisakan Baharuddin dan Felzein.

Suasananya sedikit hening. Keduanya sama-sama tidak tahu harus berkata apa.

Baharuddin berdehem pelan, lalu melirik sekilas ke arah pemuda di depannya.

Felzein pun tetap duduk dengan tenang, tapi dalam hati, dia merasa sedikit canggung.

Sementara itu, dari arah dapur, terdengar suara piring dan gelas yang saling beradu, menandakan Rosa dan ibunya tengah sibuk menyiapkan sesuatu.

Baharuddin akhirnya membuka suara, "Jadi... Rumahmu di mana, Nak?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.

Felzein sedikit terkejut dengan pertanyaan mendadak itu.

"Saya di daerah Koba, Pak," jawabnya singkat, masih merasa canggung.

Baharuddin mengangguk, "Oh, jadi dekat ya rumahnya sama Apotek Koba Baru itu?" tanyanya lagi.

"Iya, Pak. Lumayan dekat," ujar Felzein. "Saya sering beli obat di apotek tempat Ocha kerja, Pak."

Baharuddin terkekeh pelan, "Nak ini sepertinya pemalu, ya?" katanya sambil tersenyum.

Felzein menunduk sedikit, "I-Iya, Pak. Saya... saya baru pernah bertamu," ucapnya jujur.

Baharuddin mengangkat alis, tampak sedikit terkejut, "Jadi, Nak ini enggak pernah ke mana-mana? Di rumah terus?" tanyanya heran.

Felzein menggaruk tengkuknya, terlihat semakin canggung, "Em... Maksudnya... Saya baru pernah ke rumah perempuan, Pak," jelasnya dengan suara agak lirih.

Baharuddin terkekeh lebih keras, "Oalah... Pantas saja kelihatan grogi begitu. Hahaha! Santai saja, Nak."

Felzein hanya mengangguk pelan, "I-Iya, Pak," balasnya dengan suara hampir berbisik.

Sementara di dapur, percakapan antara Baharuddin dan Felzein terdengar jelas oleh Rosa.

Dia tersenyum kecil, entah apa makna di balik senyuman itu.

Lasmini, ibunya, yang sedang menyiapkan suguhan, menangkap ekspresi putrinya lalu meledeknya.

"Ehem..." Lasmini berdehem pelan.

Rosa tersentak, lalu menoleh, "Kenapa, Bu?" tanyanya heran.

Lasmini menyeringai kecil, "Dia kayak kamu, Cha," godanya.

Rosa mengerutkan kening, "Maksudnya?"

Lasmini terkikik, "Baru pertama kali ke rumah perempuan. Nah, kamu sendiri juga enggak pernah dekat sama laki-laki," ujarnya, masih menggoda.

Rosa membuka mulut, hendak membantah, tapi ibunya buru-buru menambahkan, "Artinya, bisa jadi..."

Lasmini tidak menyelesaikan kalimatnya, membiarkan Rosa menebak sendiri maksudnya.

Rosa langsung mendengus, pipinya sedikit memerah, "Udah, Bu. Udah..." potongnya cepat, pura-pura sibuk menuangkan teh ke dalam gelas.

Lasmini terkekeh sendiri, "Cieee... anak Ibu," godanya.

Rosa semakin malu dengan ledekan ibunya.

Tiba-tiba, Lasmini bertanya, "Eh, namanya siapa, Mas itu?"

Rosa terperanjat, "Astaghfirullah... Ocha lupa nanyain nama," katanya sambil menepuk dahinya.

Lasmini melongo, "Lah... katanya dia sering beli obat di apotek tempat kamu kerja? Kok enggak tahu namanya?" tanyanya heran.

"Jangankan nama, Bu," Rosa mendengus kesal. "Wajahnya aja Ocha enggak tahu kayak apa."

Lasmini menatap putrinya dengan mata membesar, "Apa?! Kamu serius enggak tahu?!"

Rosa mengangguk, "Ocha udah tiga tahun kenal Mas itu. Enggak pernah tahu wajahnya. Ditutupin masker mulu."

Lasmini menggelengkan kepala sambil terkekeh, "Ya Allah... masih ada ya cerita kayak gitu."

"Ya udah, yuk. Kita ke depan. Udah selesai kan teh hangatnya?" kata Lasmini.

Rosa mengangguk, "Udah. Yuk, ke depan, Bu," ajaknya.

Keduanya keluar dari dapur. Rosa membawa dua gelas teh hangat.

Satu untuk Felzein dan satu untuk ayahnya, Baharuddin.

Sementara itu Lasmini menenteng nampan berisi kue-kue kecil.

"Teh hangatnya, Mas," kata Rosa sambil menyerahkan segelas teh kepada Felzein.

"Makasih, Cha," balas Felzein, menerima dengan hati-hati.

"Ini, Nak... Kue kecilnya dimakan, ya," ujar Lasmini sambil menyodorkan nampan.

"Makasih, Bu," kata Felzein lagi, tersenyum sopan.

Lasmini dan Rosa kemudian duduk di sebelah Baharuddin. Mereka bertiga menatap Felzein.

Felzein merasa canggung. Dalam hati, dia bergumam, "Aduh... Kok pada liatin aku? Harus ngapain aku ini?"

Baharuddin, sebagai sesama pria, memahami kegelisahan itu. Dia segera mencoba mencairkan suasana.

"Nak... Diminum dulu tehnya, ayo, kuenya juga dimakan," katanya, lalu menyeruput teh hangatnya dan mengambil satu kue kecil.

Kemudian, Baharuddin menoleh ke Rosa, "Rosa, Nak ini... Siapa namanya? Rumahnya di daerah Koba juga, ya?"

Rosa mengangguk, "Iya, Pak. Daerah Koba," jawabnya, meski dalam hati merasa bingung karena sebenarnya dia tidak tahu nama Felzein.

Dia pun akhirnya bertanya langsung, "Maaf, Mas... Namanya siapa ya?"

Baharuddin terkejut, lalu melirik istrinya, Lasmini, seolah meminta penjelasan.

Lasmini hanya menggeleng, menandakan dia juga sama sekali tidak tahu.

Felzein terkejut. Dia juga lupa memperkenalkan dirinya.

"Aduh, maaf, Cha. Maaf, Pak, Bu," katanya gugup. "Nama saya... Felzein."

"Ohh... Mas Felzein tho..." jawab Baharuddin dan Lasmini serempak.

Sementara itu, Rosa tersenyum tipis, "Jadi namanya Felzein... Tiga tahun baru tahu namanya. Namanya bagus juga," batinnya.

Felzein mengangguk, "Iya, Pak, Bu. Hehe," ujarnya cengengesan di balik masker hitamnya.

"Ya udah, ayo diminum dulu, Nak Felzein," kata Baharuddin, menawarkan lagi.

"Maskernya dilepas, Nak," timpal Lasmini santai.

Felzein tersentak, "Anu... Itu..." dia berusaha mencari alasan.

"Lah kenapa, Nak? Masa mau minum pakai masker juga," ledek Lasmini.

Felzein semakin bingung. Kalau dia melepas maskernya, maka...

Rosa menahan nafas, matanya tak lepas dari wajah Felzein.

"Coba aku lihat... Apa benar dia seperti yang aku duga? Atau malah seperti ledekan Melati tadi?" batinnya penuh rasa penasaran.

Felzein menghela nafas pelan. Dengan berat hati, dia mulai menurunkan maskernya.

Sedikit demi sedikit, wajahnya mulai terlihat.

Garis rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, alisnya yang melengkung seperti busur panah, dan kulitnya yang putih bersih perlahan terungkap di hadapan mereka.

BYAR!

Felzein akhirnya menampakkan wajahnya. Rosa membelalakkan mata, "Masya Allah..."

Wajah yang selama ini tersembunyi di balik masker kini terlihat jelas di hadapan mereka.

Rahang yang tegas, hidung yang lurus dan sempurna, serta sepasang mata tajam yang memancarkan ketenangan.

Kulitnya putih bersih dan terlihat begitu sempurna di bawah cahaya lampu ruang tamu.

Bukan sebuah ketampanan biasa. Wajahnya memiliki pesona yang luar biasa.

Bukan seperti orang Indonesia pada umumnya, tapi juga bukan sepenuhnya seperti orang Eropa.

Wajahnya memiliki keunikan yang sulit dijelaskan, perpaduan yang harmonis antara darah Eropa, Arab, dan Persia.

Benar-benar luar biasa.

Baharuddin dan Lasmini membelalakkan mata mereka, nyaris tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Mereka berdua saling berpandangan, merinding melihat ketampanan yang begitu menakjubkan di depan mereka.

Dan Rosa?

Gadis itu membeku di tempatnya. Tubuhnya kaku, jantungnya berdetak lebih cepat, dan pikirannya tiba-tiba kosong.

Matanya lurus menatap wajah indah dan tampan itu, seolah tak bisa berpaling.

Dia hampir lupa bernafas.

Tiga tahun bekerja di apotek, bertemu banyak pelanggan, tapi tak ada satupun yang seistimewa ini.

"Dugaanku benar..." Rosa bergumam dalam hati.

Ketampanan yang bahkan tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel