Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. TUMPANGAN

Malam itu, Felzein merasa suntuk di rumah. Untuk mengusir kejenuhan, dia mengeluarkan motor matic putihnya dan memutuskan berkeliling sebentar, sekedar menikmati malam yang bertabur bintang.

Saat melewati Apotek Koba Baru, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang masih berdiri di depan apotek.

Dari seragamnya, Felzein langsung mengenalinya sebagai salah satu apoteker yang bekerja di sana.

"Mungkin dia sedang menunggu jemputan," pikirnya.

Felzein tak berniat berhenti. Dia melanjutkan perjalanannya, menyusuri jalanan yang mulai lengang.

Sempat, dia mampir ke sebuah kolam pemancingan, hanya untuk melihat orang-orang yang masih tekun menunggu kail mereka disambar ikan.

Pemandangan itu, entah bagaimana, cukup menghibur hatinya.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 22.20. Felzein melirik jam tangannya dan menghela nafas pelan.

"Udah cukup malam, mending pulang aja," gumamnya.

Tanpa berlama-lama, dia kembali menyalakan motornya dan bergegas pulang ke rumah.

Saat kembali melintasi depan Apotek Koba Baru, Felzein melihat wanita itu masih di sana.

Kali ini, dia duduk di bangku depan apotek, mungkin lelah setelah lama berdiri.

Felzein mengerutkan kening dan menghentikan motornya sejenak.

"Kok dia belum pulang juga? Apa nggak ada yang jemput atau gimana?" gumamnya, merasa heran.

Rasa iba muncul dalam dirinya. Dia pun memutuskan untuk mendekati wanita itu, hanya memastikan keadaannya.

Sebelum turun dari motor, Felzein merogoh saku jaketnya dan mengenakan masker hitam yang selalu dia pakai saat berada di luar.

Baru setelah itu, dia melangkah mendekat.

Rosa tersentak ketika melihat seorang pria berjalan mendekatinya.

Penerangan yang minim membuatnya sulit mengenali siapa orang itu.

Dari posturnya, dia tahu pria itu bukan pamannya, orang yang sedang dia tunggu.

"Siapa dia? Kok tiba-tiba datang?" batinnya, merasa waspada.

Jantungnya berdegup lebih kencang. Rasa takut mulai merayapi pikirannya.

"Aku harus gimana? Mana udah malam lagi..." Rosa menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang.

Rosa sudah pasrah. Dia ingin berlari atau berteriak, tapi tubuhnya terasa kaku.

Pikirannya dipenuhi ketakutan, dan dia yakin pria di depannya memiliki niat buruk.

Namun, tiba-tiba suara yang familiar terdengar dari pria itu.

"Mbak... Kok belum pulang?" tanya lelaki itu dengan nada tenang.

Rosa terkejut. Dia memperhatikan pria itu lebih seksama.

Begitu matanya menyesuaikan dengan gelapnya malam, dia akhirnya mengenali sosok itu, pelanggan setianya di apotek.

Pria bermasker hitam yang entah seperti apa wajahnya sebenarnya.

Rasa lega langsung menyelimuti hatinya, "Alhamdulillah... Ternyata Mas-nya," ucap Rosa, menghela nafas panjang.

Felzein mengernyit, merasa bingung, "Memangnya saya dikira siapa, Mbak?" tanyanya.

Rosa tersipu, "Maaf, Mas. Saya kira tadi penjahat. Hehe..." katanya sambil tertawa kecil.

Felzein menghela nafas, lalu menggelengkan kepala.

"Astaghfirullah..." gumamnya, antara heran dan geli.

Felzein lalu melanjutkan, "Udah malam lho, Mbak. Kok belum pulang?" tanyanya sekali lagi.

Rosa menghela nafas, "Saya juga pengin pulang, Mas. Tapi paman saya ban motornya bocor di jalan. Udah lebih dari satu jam saya nunggu. Ada-ada aja," keluhnya, sedikit kesal.

Felzein mengangguk paham, "Rumahnya di daerah mana, Mbak?" tanyanya.

"Di daerah Karang Randu, Mas," jawab Rosa.

Felzein sedikit terkejut, "Lumayan jauh juga, ya?"

Rosa mengangguk pelan, "Iya."

Karena sudah berniat menolong, Felzein pun menawarkan diri.

"Saya antar pulang aja, Mbak," ujarnya.

Rosa ragu, "Aduh, nanti malah ngrepotin, Mas," balasnya, sedikit tidak enak hati.

Felzein tersenyum di balik maskernya, "Gak papa. Dari pada gak tahu kapan bisa pulang, kan?"

Rosa terdiam sejenak. Entah kenapa, hatinya merasa tenang. Pria ini tidak terlihat berniat jahat.

Akhirnya, dia mengangguk, "Ya udah, Mas. Makasih, ya."

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rosa melakukan sesuatu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Yaitu pergi bersama seorang pria yang bahkan wajahnya pun belum pernah dia lihat dengan jelas.

Di sepanjang jalan menuju Karang Randu, tempat tinggal Rosa, mereka berdua lebih banyak diam.

Felzein hanya sesekali bertanya saat menemui perempatan atau pertigaan, memastikan arah yang harus diambil.

Dia memang tahu daerah Karang Randu, tetapi begitu memasuki area pedesaannya, dia mulai bingung.

Jujur saja, ini pertama kalinya Felzein berkendara sejauh ini, menelusuri jalanan yang asing baginya.

Sampai di pertigaan terakhir, Felzein kembali bertanya, “Kanan atau kiri, Mbak?”

“Belok kanan, lurus aja. Nanti ada pos ronda di depan, berhenti di situ aja,” jawab Rosa dengan suara lembut.

Felzein mengangguk tanpa banyak bicara, lalu sedikit mempercepat laju motornya menuju arah yang dimaksud.

Sekitar lima menit kemudian, pos ronda yang dimaksud akhirnya terlihat.

Meskipun malam sudah larut, tulisan "Karang Randu, RT 06 RW 01" di pos ronda itu masih terbaca jelas, berkat lampu yang cukup terang.

Felzein perlahan mengurangi kecepatan dan akhirnya menghentikan motornya tepat di depan pos ronda.

Di dalam pos, beberapa bapak-bapak tampak duduk santai, mungkin mereka sedang menjalankan tugas ronda malam ini.

Rosa menyapa bapak-bapak di pos ronda dengan ramah, "Malam, Pak."

Spontan, mereka semua menoleh dan menjawab sapaan Rosa serentak.

Salah satu dari mereka, Sudiro, langsung berseru, "Wah, Ocha... Kok malam banget pulangnya?"

Tatapannya kemudian beralih ke Felzein yang masih duduk di atas motor.

Dengan nada menggoda, dia menambahkan, "Wah, ternyata abis pacaran, ya?"

Rosa langsung merasa malu, "Aduh, Pak Diro... Ocha gak pacaran, kok. Ini temen Ocha, kebetulan pelanggan di Apotek Koba Baru," jelasnya buru-buru.

"Om Feri motornya bocor, jadi..." lanjut Rosa, lalu menjelaskan semua kejadiannya.

Sudiro mengangguk paham, "Oh, gitu. Ya udah, Cha. Silakan kalau mau masuk ke rumah," ujarnya santai.

Rosa mengangguk dan berterima kasih, lalu menoleh ke arah Felzein, "Mas, mampir dulu yuk," ajaknya tiba-tiba.

Felzein merasa tidak enak karena sudah malam, "Aduh, Mbak, udah malam," katanya, berusaha mencari alasan.

"Gak papa, Mas. Pokoknya harus mampir dulu," desak Rosa, sedikit memaksa.

Felzein menatapnya bingung, "Kok dia malah kayak maksa aku mampir?," gumamnya dalam hati.

"Ayo, Mas," Rosa mengulangi ajakannya sekali lagi.

Felzein akhirnya menghela nafas pasrah, "Oh, iya, iya, Mbak," balasnya.

Dengan sedikit canggung, Felzein akhirnya mengikuti Rosa dari belakang, setelah menyempatkan diri menyapa bapak-bapak di pos ronda.

Sampai di depan pintu rumah sederhana itu, Rosa kembali berbicara, "Ayo, Mas. Jangan sungkan-sungkan," katanya ramah.

Felzein hanya mengangguk tanpa banyak bicara.

"Assalamualaikum, Pak, Bu. Ocha udah pulang," sapa Rosa sambil membuka pintu.

Beberapa saat kemudian, dari dalam rumah muncul sepasang suami istri, Ayah dan Ibu Rosa.

"Alhamdulillah, Ocha," ucap Lasmini, ibunya, dengan lega. "Akhirnya pulang juga."

Ayahnya, Baharuddin, ikut mengangguk, "Alhamdulillah. Maafin Pamanmu, ya. Ada-ada aja emang dia," tambahnya dengan senyum tipis.

"Gak papa, Pak, Bu. Untung ada Mas ini. Dia yang anter Ocha pulang," kata Rosa sambil menoleh ke arah Felzein.

Baharuddin dan Lasmini baru menyadari kehadiran lelaki yang berdiri di belakang Rosa.

Mereka saling pandang, rasa penasaran jelas terlihat di wajah mereka.

Siapa pemuda yang baru saja disebutkan oleh putri mereka?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel