Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

air terjun berbisik

Tangan Anindya secara naluriah meraba perutnya, pusat sensasi yang menyiksa itu.

aa..khhhhh...perutku......ku merasakan energi yang sangat besar berputar di dantian ku'gumam nya

Ia bisa merasakan gejolak yang kacau di bawah kulitnya, ketidakseimbangan yang mengerikan di tempat yang seharusnya mengalir lancar dan harmonis. Kehangatan Dantiannya yang familiar, yang dulu menjadi sumber kenyamanan dan kekuatan, kini terasa seperti luka yang bernanah. Air mata mengalir di wajahnya, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi juga karena kesadaran yang mengerikan dan menyingsing akan apa yang telah terjadi. Fondasi berharga masa depannya, yang dibangun dengan susah payah di bawah bimbingan orang tuanya, telah rusak tak terelakkan. Kekuatan yang telah menghancurkan rumahnya juga, akibatnya, telah menghancurkan potensi dalam dirinya.

Kehancuran batin ini merupakan kontras yang tajam dan menyakitkan bagi kekacauan eksternal. Erangan orang-orang yang terluka, derak api, raungan kemenangan dari kejauhan dari para penyerangnya—semua suara ini seakan surut, digantikan oleh gemuruh kehancuran batinnya sendiri. Ia bagaikan pulau kecil penderitaan di tengah lautan kehancuran, penderitaannya begitu mendalam hingga rasanya bisa melahap dunia. Rasa sakit itu terus-menerus menjadi pengingat yang menggerogoti akan kekuatan-kekuatan yang berpihak padanya, kekuatan yang dahsyat dan dahsyat yang telah mengoyak Puncak Azure dan tak menyisakan apa pun selain kehancuran.

Wajah orang tuanya terbayang di depan matanya, ibu ..bapak... aku pasti akan membalas perbuatan mereka...10x lipat...,.tidak tidak pasti akan ku balas 100x lipat,1000x lipat akan kubalas ....teringat kembali

saat-saat terakhir mereka bagaikan mimpi buruk yang terus berulang. Pengorbanan ibunya, perjuangan gagah berani ayahnya, yang telah mereka perjuangkan untuk melindunginya, untuk memberinya kesempatan melarikan diri. Dan dalam pelarian yang nekat itu, ia terpukul, potensinya untuk membalas dendam, kekuatan masa depannya, hancur. Ironisnya, beban yang pahit dan menghancurkan. Mereka telah mengorbankan nyawa mereka untuk menyelamatkannya, dan dengan berbuat demikian, secara tidak sengaja meninggalkannya dengan luka yang mungkin menghalanginya untuk menghormati pengorbanan mereka.

Energi korup yang telah melukainya bukan sekadar penyerang fisik; melainkan noda yang membara, racun yang merembes ke dalam saluran yang telah dirusaknya. Ia berbisik tentang keputusasaan, kelemahan, kesia-siaan. Ia berusaha memadamkan percikan kehidupan dan semangat yang telah dibela dengan gigih oleh orang tuanya. Anindya dapat merasakan kehadirannya yang licik, kekuatan parasit yang dingin yang mencoba berlabuh di dalam dirinya, membusuk dan tumbuh, mencerminkan kehancuran yang telah ditimbulkannya. Ini bukan sekadar meridian yang rusak; ia adalah jiwa yang hancur, fondasi yang retak tak dapat diperbaiki, setidaknya, itulah yang tersirat dalam bisikan-bisikan jahat itu.

Ia mencoba berdiri, melarikan diri lebih jauh, didorong oleh naluri bertahan hidup yang telah mendorongnya sejauh ini. Namun kakinya menolak untuk patuh. Rasa sakit itu bagaikan beban berat, mengikatnya ke tanah. Dantiannya berdenyut dengan ritme yang memuakkan, Qi vitalnya

Di dalamnya bergolak bagai pusaran air beracun. Ia bisa merasakan jalur-jalurnya, yang biasanya bersemangat dan berdengung dengan kekuatan laten, kini terasa lamban, menyempit, dan sangat sensitif. Seolah-olah darah kehidupan kultivasinya telah membeku, alirannya terhambat oleh penghalang tak terlihat dan energi korosif.

Kepanikan mulai merasukinya, rasa takut yang dingin dan primitif mengancam akan mengalahkan rasa sakitnya. Apa yang akan terjadi padanya sekarang? Tanpa meridiannya yang berfungsi dengan baik, bagaimana ia bisa berkultivasi? Bagaimana ia bisa tumbuh lebih kuat? Bagaimana ia bisa berharap untuk membalaskan dendam orang tuanya, untuk melawan Kaisar Iblis dan murid-murid neraka mereka? Pikiran itu saja merupakan pukulan telak, keputusasaan yang begitu dalam hingga mengancam akan memadamkan bara api perlawanan yang telah berkobar begitu hebat beberapa saat sebelumnya.

Ia memejamkan mata rapat-rapat, berusaha menghalangi bayangan mengerikan itu, agar fokus pada apa pun selain siksaan. Namun, kenangan akan wujud ibunya yang hancur, tatapan ayahnya yang sekarat, terukir tak terhapuskan di benaknya. Mereka telah mati untuknya. Darah mereka, pengorbanan mereka, kini menjadi bebannya. Dan luka ini, kehancuran meridiannya, adalah manifestasi fisik dari pengorbanan itu, sebuah pengingat yang terus-menerus dan membara tentang apa yang telah hilang darinya dan apa yang perlu ia dapatkan kembali.

Namun, rasa sakit itu bukan sekadar penghancur; ia juga guru. Dalam intensitasnya yang ekstrem, ia melucuti semua sensasi lain, semua gangguan, hanya menyisakan fakta mentah dan murni tentang keberadaannya dan hasrat membara untuk terus berlanjut. Energi korup yang telah melukainya juga, dengan cara yang terpelintir, memaksanya untuk menghadapi hakikat kultivasinya. Itu adalah baptisan api yang tak diinginkan, sebuah pelajaran pahit tentang rapuhnya kekuatan dan ketangguhan jiwa.

Anindya, meringkuk seperti janin di tengah reruntuhan, merasakan getaran yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kali ini bukan rasa sakit, melainkan tekad yang baru lahir. Kehancuran ini, penderitaan ini, bukanlah akhir. Itu adalah bekas luka. Dan bekas luka, ia tahu dari kisah-kisah yang biasa diceritakan ayahnya, adalah bukti keberlangsungan hidup, bukti pertempuran yang diperjuangkan dan diatasi. Para Kaisar Iblis telah berusaha memadamkan potensinya, menghancurkan jiwanya beserta tubuhnya. Namun mereka telah meremehkan kekuatan cinta yang telah memeliharanya, ketangguhan yang telah ditanamkan dalam dirinya.

Qi yang rusak di dalam meridiannya berdenyut, kehadiran yang terus-menerus membara. Itu adalah entitas jahat, energi parasit yang menggerogoti kekuatan hidupnya. Namun, setiap denyutnya juga membangkitkan kekuatan tandingan, penolakan yang mengakar kuat untuk menyerah. Orang tuanya telah mencurahkan esensi mereka ke dalam dirinya, bukan hanya untuk menumbuhkan kekuatannya, tetapi juga untuk menumbuhkan jiwanya. Jiwa itu, betapapun terlukanya, menolak untuk dipadamkan.

Ia fokus, berusaha mengatasi rasa sakit, menemukan kendali di tengah kekacauan. Rasanya seperti mencoba menahan air dalam saringan, energi vitalnya bocor dan menghilang dengan segala upaya. Namun, ia bertahan. Ia memvisualisasikan meridiannya bukan sebagai jalur yang putus, melainkan sebagai saluran yang retak, saluran yang, dengan usaha dan waktu yang luar biasa, berpotensi dapat diperbaiki. Rasa sakit itu terus-menerus menjadi penghalang, penghalang yang membakar, tetapi juga berfungsi sebagai suar, yang menyoroti dengan tepat di mana letak kerusakannya.

Prosesnya lambat dan menyakitkan. Setiap fluktuasi kecil energi batinnya mengirimkan gelombang rasa sakit yang membakar. Ia membayangkan Qi-nya, bukan sebagai aliran deras yang deras, melainkan sebagai aliran yang tenang, mencoba mengarungi lanskap meridiannya yang hancur. Sering kali, aliran itu dialihkan, diblokir, atau bahkan diredakan sepenuhnya. Namun, sesekali, untuk sesaat, setetes energi akan menemukan jalan keluar, menawarkan jeda singkat yang nyaris tak terasa sebelum rasa sakit itu kembali dengan ganas.

Ia memahami, dengan kejelasan yang lahir dari keputusasaan, bahwa luka ini tak seperti luka lainnya. Luka ini tak bisa disembuhkan dengan tapal biasa atau ramuan spiritual. Ini adalah gangguan mendasar dalam perjalanan hidupnya, luka yang ditimpakan pada inti dirinya. Energi yang rusak itu bukan sekadar kekuatan eksternal; ia telah menjadi antagonis internal, musuh yang terus-menerus melawan kekuatan hidupnya sendiri.

Rasa terkejut awalnya telah mereda, digantikan oleh rasa sakit yang mendalam dan menggerogoti, sebuah pengingat akan pelanggaran yang terus-menerus. Namun, di balik rasa sakit itu, sebuah emosi baru mulai mekar: tekad yang dingin dan terfokus. Para Kaisar Iblis telah merenggut segalanya darinya. Mereka telah memadamkan cahaya dunianya, meninggalkannya dalam kegelapan yang mengerikan. Meridian yang rusak ini bukan sekadar simbol penderitaannya; melainkan bukti kekejaman mereka, tanda kemenangan mereka. Dan ia tak akan membiarkan hal itu menjadi kata terakhir.

Ia teringat tatapan terakhir ayahnya, permohonan diam-diamnya agar ia bertahan hidup. Ia teringat pengorbanan terakhir ibunya, esensinya terserap ke dalam kegelapan. Kenangan mereka mengobarkan api dalam dirinya, api yang membakar lebih panas daripada rasa sakit, lebih panas daripada rasa takut. Cedera ini, kehancuran jalur meridiannya, bukanlah akhir baginya. Cedera ini akan menjadi wadah peleburannya. Cedera ini akan menempanya menjadi sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang lebih tangguh. Cedera ini akan menjadi bukti nyata dan tak terbantahkan atas apa yang telah mereka lakukan, dan motivasi yang membara untuk apa yang akan ia capai kelak. Jalan di depannya penuh dengan kesulitan yang tak terbayangkan, sebuah perjalanan melalui lanskap batin yang hancur. Namun Anindya, yang terbuai di reruntuhan rumahnya, dengan gema pengorbanan orang tuanya terngiang di jiwanya, bersumpah dalam hati. Ia tidak hanya akan bertahan hidup; ia akan melampauinya. Meridian yang hancur memang luka, ya, tetapi juga akan menjadi guru terhebatnya, pengingat paling tajam akan utang budinya, dan kekuatan yang ia miliki.

Udara, yang dulunya segar dengan aroma pinus tua dan samar-samar aroma tanaman obat yang menghiasi tempat tinggal para murid, kini terasa berat dan memuakkan. Rasanya seperti selimut yang menyesakkan, ditenun dari asap tajam kayu bakar, bau tajam darah yang tumpah, dan bau busuk sisa energi iblis. Anindya terhuyung ke depan, setiap tarikan napas yang tersengal-sengal menjadi serangan baru bagi paru-parunya. Jalan setapak Azure Peak yang familiar, tanah suci tempat ia pertama kali berkultivasi, tempat ia tertawa dan belajar di bawah tatapan lembut orang tuanya, kini menjadi gambaran kehancuran yang mengerikan.

Aula Agung, tempat para tetua akan menyampaikan kebijaksanaan dan para murid akan beradu argumen dengan intensitas yang terfokus, kini tinggal reruntuhan kerangka. Lengkungan-lengkungan yang dulu menjulang tinggi ke langit kini hanya gigi-gigi tajam yang bergerigi di langit yang memar, pilar-pilar marmernya pecah dan roboh bagai raksasa yang roboh. Ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan para pendiri dan makhluk-makhluk surgawi kini terluka dan rusak, akibat cakar iblis dan energi yang rusak. Di tempat permadani-permadani gemerlap yang dulu tergantung, menggambarkan tindakan-tindakan heroik dan pemandangan mistis, kini hanya sisa-sisa hangus yang menempel di dinding-dinding yang menghitam, membisikkan kejayaan yang terlupakan.

Kaki Anindya berderak di atas lapisan puing—batu yang hancur lebur, pecahan tembikar, dan derak lembut yang meresahkan dari apa yang ia tahu, dengan keyakinan yang memuakkan, sebagai pecahan tulang. Ia mengalihkan pandangannya, tak tahan melihat barang-barang pribadi berserakan di antara puing-puing: pedang latihan seorang murid, gagang gioknya retak; sebuah buku panduan latihan, halaman-halamannya menyatu menjadi gumpalan hitam yang rapuh; sebuah selendang sutra, warna-warna cerahnya luntur terbakar, tergeletak di samping sosok hangus tak bergerak. Keheningan itu adalah kengerian yang paling mendalam dari semuanya. Keheningan itu lahir bukan dari kedamaian, melainkan dari kehancuran. Simfoni Puncak Azure yang biasa—kicauan burung gunung di kejauhan, gemerisik dedaunan, gumaman suara yang terbawa angin—telah lenyap, digantikan oleh kehampaan yang menyelimuti dan menyejukkan.

Tubuhnya sendiri berdenyut setiap kali bergerak. Denyut di meridiannya adalah rasa sakit yang konstan dan tumpul, pengingat akan penderitaan yang membakar yang hampir merenggutnya. Energi yang rusak, meskipun bukan lagi serangan yang ganas, tetap menjadi kehadiran yang bernanah, noda gelap di dalam dirinya. Itu membuat anggota tubuhnya terasa berat, indranya tumpul, dan jantungnya terasa seperti batu di dadanya. Namun, tekad yang tak tergoyahkan mendorongnya maju. Dia harus melihat. Dia harus tahu. Harapan yang putus asa, rapuh seperti sayap kupu-kupu, bahwa mungkin, hanya mungkin, suatu keajaiban telah terjadi, suatu jiwa telah selamat, bergulat dengan keyakinan yang menghancurkan bahwa murka Kaisar Iblis itu mutlak.

Ia menyusuri tempat yang dulunya merupakan taman meditasi para murid. Pohon-pohon pinus tua yang keriput, yang telah dirawat dengan cermat, kini layu dan rapuh, jarum-jarumnya berubah menjadi abu. Bunga-bunga roh yang dibudidayakan dengan cermat, yang terkenal karena auranya yang menenangkan dan khasiat obatnya, entah dibakar atau terinjak-injak dan patah. Sebuah kolam kecil yang tenang, tempat para murid sering berlatih teknik-teknik berbasis air, kini menjadi kawah yang stagnan dan berlumpur, dipenuhi puing-puing dan bentuk-bentuk aneh dari apa yang mungkin dulunya makhluk hidup.

Langkah Anindya terhenti saat melewati sisa-sisa lapangan latihan. Panggung latihan, yang biasanya ramai dengan benturan baja dan teriakan kelelahan, kini hanya tinggal tumpukan puing. Pilar-pilar batu yang digunakan untuk berlatih serangan retak dan tergores, meninggalkan jejak brutal dari ilmu iblis. Ia melihat samar-samar sosok-sosok, membeku di saat-saat terakhir mereka, terperangkap dalam ledakan amarah serangan itu. Itu adalah bukti bisu akan keganasan serangan itu, sebuah potret pertahanan terakhir Azure Peak.

Rumah orang tuanya, halaman yang tenteram yang pernah menjadi tempat perlindungannya, kini menjadi tempat kehancuran yang tak terbayangkan. Struktur kayu yang elegan, yang dulu menjadi bukti selera halus dan cinta mereka yang mendalam, kini menjadi tumpukan kayu bakar. Api, meskipun telah lama padam oleh hujan yang mulai turun, telah meninggalkan cangkang yang menghitam. Atapnya runtuh ke dalam, mengubur harta atau kenangan apa pun yang pernah tersimpan di dalamnya. Napas Anindya tercekat saat ia mendekati reruntuhan, jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya. Inilah pusat dukanya, tempat di mana dunianya benar-benar berakhir.

Ia bisa melihat pola kehancuran yang jelas. Energi-energi iblis telah memusatkan serangan mereka di sini, seolah-olah ingin melenyapkan bukan hanya sebuah hunian, tetapi juga sebuah garis keturunan. Tanah di sekitar rumah bergolak dan berlubang, bukti teknik-teknik dahsyat yang dilepaskan. Ia tahu, orang tuanya telah bertarung dengan ganasnya binatang buas yang terpojok, saat-saat terakhir mereka adalah tindakan perlawanan yang putus asa.

Dengan tangan gemetar, Anindya mulai memilah-milah puing-puing. Tugas yang sia-sia dan menyiksa. Panasnya luar biasa, kekuatan yang dilepaskan dahsyat. Ia menemukan pecahan-pecahan tembikar yang familiar, sisa-sisa peralatan minum teh kesayangan ibunya, meleleh dan berubah bentuk. Ia menemukan sepotong logam bengkok, yang dulunya merupakan bagian dari anglo hias yang berdiri di beranda mereka, kini tak dikenali lagi. Udara terasa berdengung bersama hantu-hantu kehadiran mereka, membuatnya merindukan hubungan yang telah terputus selamanya.

Kemudian, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang keras di bawah balok yang tumbang. Dengan kekuatan yang meluap-luap, ia menyingkirkan kayu berat itu. Kayu itu kecil,

Kotak kayu berukir rumit itu, ajaibnya masih utuh, meski terlapisi jelaga. Jantungnya berdebar kencang. Ia langsung mengenalinya. Itu adalah kotak kenang-kenangan yang dibuat ayahnya untuk ibunya di hari jadi pernikahan mereka yang kesepuluh, sebuah wadah untuk menyimpan kenangan-kenangan mereka yang paling berharga.

Dengan jari-jari gemetar, ia membukanya. Di dalamnya, terhampar di atas hamparan sutra pudar, terdapat beberapa benda: sebuah batu halus yang telah lapuk oleh air sungai, hadiah dari ibunya di hari ulang tahunnya yang ketujuh, melambangkan kekuatan dan ketangguhan; sekuntum bunga Moonpetal yang terawat sempurna, bunga langka yang hanya mekar di bawah bulan purnama, simbol kelembutan jiwa ibunya; dan selembar perkamen berlipat rumit yang diikat dengan tali sutra. Napas Anindya tercekat di tenggorokan. Itu adalah tulisan tangan ayahnya.

Dengan hati-hati, ia melepaskan ikatannya. Perkamen itu berderak saat ia membuka lipatannya. Itu adalah sebuah surat, ditulis dengan tangan kokohnya, tintanya sungguh awet.

"Anindya sayangku," awal surat itu, sapaan yang familiar itu mengirimkan gelombang air mata baru di pipinya. "Jika kau membaca ini, maka ketakutan terburuk kami telah menjadi kenyataan. Kaisar Iblis telah menyerang, dan dunia yang kami kenal telah musnah. Jangan bersedih untuk kami, anakku. Hidup kami didedikasikan untuk melindungimu, untuk memastikan bahwa api garis keturunan kami tidak akan padam. Ibumu dan aku berjuang sekuat tenaga, tetapi kegelapan itu terlalu kuat."

Ia menulis tentang saat-saat terakhir mereka, tentang cinta mereka yang tak tergoyahkan untuknya, tentang harapan mereka bahwa ia akan selamat. Ia berbicara tentang pengorbanan yang mereka lakukan, bukan sebagai beban, melainkan sebagai bukti keyakinan mereka. Ia mendesaknya untuk mengingat ajaran yang telah mereka tanamkan dalam dirinya, bukan hanya seni bela diri, tetapi juga tentang kasih sayang, keberanian, dan semangat pantang menyerah yang bersemayam dalam diri semua makhluk hidup.

"Kau membawa darah kami, warisan kami, Anindya," lanjut surat itu. "Dan lebih dari itu, kau membawa potensi untuk membangun kembali, memulihkan, memastikan bahwa tindakan pemusnahan brutal ini tidak akan menjadi bab terakhir dari kisah kami. Jalan di depan akan penuh bahaya. Kau terluka, bukan hanya fisik, tetapi juga jiwa. Energi korup yang telah mencemari meridianmu adalah warisan kejam dari serangan ini. Tapi ingatlah ini: bahkan luka terdalam pun dapat disembuhkan, dan bahkan fondasi yang paling hancur pun dapat dibangun kembali, batu demi batu yang tekun."

Ia berbicara tentang tempat perlindungan tersembunyi, tempat berlindung dan pengetahuan kuno yang telah dipelihara oleh sekte mereka selama berabad-abad, seandainya bencana seperti itu menimpa mereka. Ia memberikan petunjuk-petunjuk samar, serangkaian teka-teki dan petunjuk yang hanya dapat dipahami oleh seseorang yang benar-benar memahaminya.

Siapa pun yang familier dengan sejarah Azure Peak dan wilayah sekitarnya pasti bisa memahaminya. Itu adalah pertaruhan yang nekat, tindakan terakhir kasih sayang seorang ayah, tali penyelamat yang dilemparkan kepada putrinya di tengah jurang maut.

"Carilah Air Terjun Berbisik," instruksi surat itu, "di mana airnya meneteskan air mata giok. Ikuti jalan setapak yang diterangi oleh pelukan bulan kembar, dan dengarkan kicauan burung gagak yang menyendiri. Di sana, kau akan menemukan cara untuk memperbaiki apa yang telah rusak, untuk merebut kembali apa yang telah dicuri. Kultivasimu telah menerima pukulan telak, Nak. Energi yang rusak akan menjadi pergulatan terus-menerus, bayangan yang akan berusaha melahapmu. Namun ketahuilah ini: kekuatan terbesar bukanlah pada ketiadaan kelemahan, melainkan pada keberanian untuk menghadapinya, mengatasinya, dan menempanya menjadi kekuatan unikmu sendiri."

Anindya mendekap surat itu erat-erat, tubuhnya diliputi isak tangis. Duka itu terasa nyata, beban berat yang mengancam akan mencekiknya. Ia menangisi orang tuanya, atas hilangnya nyawa mereka, atas masa depan yang hancur yang mereka bayangkan untuknya. Ia menangisi keindahan Puncak Azure yang hancur, atas hilangnya rumahnya, komunitasnya, seluruh dunianya. Keheningan Puncak bukan lagi sekadar ketiadaan suara; melainkan kehampaan yang menganga, bergema bersama rasa sakitnya.

Saat air matanya jatuh ke perkamen, mengaburkan tinta, secercah hal lain menyala dalam dirinya. Itu bukan perlawanan, belum. Itu sesuatu yang lebih tenang, sesuatu yang lebih mendalam: sebuah tujuan. Orang tuanya tidak mati sia-sia. Pengorbanan mereka, cinta mereka, kata-kata terakhir mereka adalah sebuah mandat. Mereka telah mempercayakan warisan mereka kepadanya, dengan harapan akan masa depan di mana kengerian seperti itu tidak akan pernah terulang.

Energi korup di meridiannya berdenyut, mengingatkannya pada musuh yang berbisa. Namun kini, energi itu bukan sekadar sumber rasa sakit; melainkan target. Kata-kata ayahnya terngiang di benaknya: "tempalah menjadi kekuatan unikmu sendiri." Kehancurannya tak terbantahkan, kerusakannya parah. Namun, jika itu bisa diperbaiki, jika itu bisa diubah, maka mungkin, hanya mungkin, ia masih bisa menghormati kenangan mereka, masih bisa memenuhi takdir yang telah mereka bayar dengan begitu mahal.

Ia memandang sekeliling, kesunyian, kehancuran total atas segala sesuatu yang pernah dikenalnya. Bau kematian masih kuat, tetapi di baliknya, ia dapat mencium aroma samar tanah yang tercuci hujan, janji keteguhan hidup yang abadi. Puncak Azure porak-poranda, tempat perlindungannya dirusak, penghuninya lenyap. Namun, ia menyadari, semangatnya belum sepenuhnya padam. Semangat itu tetap hidup dalam dirinya, dalam denyut nadi meridiannya yang lemah, dalam surat yang tergenggam di tangannya, dan dalam bara tekad yang mulai berkobar di hatinya.

Tugas di hadapannya begitu berat, nyaris tak tertahankan. Ia sendirian, terluka, dan menghadapi musuh dengan kekuatan tak terbayangkan. Jalan yang ditempuh ayahnya diselimuti misteri, serangkaian cobaan yang akan mengujinya hingga ke lubuk hatinya. Namun kini ia punya arah, alasan untuk bergerak, tujuan untuk berpegang teguh di tengah abu. Tempat perlindungan Azure Peak yang porak-poranda itu bagaikan makam, tetapi juga merupakan bukti cinta yang telah membangunnya, dan cinta itu, ia tahu, adalah kekuatan yang lebih dahsyat daripada kegelapan apa pun. Anindya menarik napas dalam-dalam, menenangkan, udara dingin beraroma hujan menjadi balsem bagi paru-parunya yang membara. Perjalanan baru saja dimulai.

h4>Sumpah Pembalasan

Anindya tetap berlutut, tangannya menekan tanah yang masih hangat, sangat kontras dengan kekosongan dingin yang menyelimuti Puncak Azure. Hujan telah mereda, meninggalkan kilau licin pada pecahan batu dan logam yang terpelintir, tetapi tak banyak membasuh bau kematian dan noda energi iblis yang masih tersisa. Surat dari ayahnya, yang digenggam erat di satu tangan, terasa seperti benang rapuh yang menghubungkannya dengan dunia yang tak lagi ada. Tempat peristirahatan terakhir orang tuanya, di bawah reruntuhan rumah mereka, adalah luka yang menganga di jantung kehancuran. Udara di sekitarnya seakan berdengung dengan potensi mereka yang tak terpenuhi, dengan gema dari perjuangan terakhir mereka yang gagah berani. Kesedihan, selubung yang menyesakkan begitu lama, mulai bergeser di dalam dirinya, cengkeramannya yang dingin mengendur, menampakkan inti amarah yang meleleh. Itu adalah transformasi yang lahir dari kehilangan yang mutlak, sebuah wadah peleburan yang memurnikan rasa sakit menjadi sesuatu yang tajam dan mematikan.

Orang tuanya telah gugur. Mereka telah bertempur melawan keganasan para penjaga surgawi, nyawa mereka musnah dalam bencana kekuatan iblis. Bayangan saat-saat terakhir mereka, sebagaimana tergambar dalam surat ayahnya, terukir di benaknya: ibunya, sang penyembuh yang lembut, menyalurkan kekuatan hidupnya ke dalam sebuah perisai pelindung; ayahnya, sang pelindung yang teguh, berhadapan langsung dengan sosok-sosok raksasa Kaisar Iblis, pedangnya menjadi busur putus asa melawan kegelapan yang mencekam. Pengorbanan mereka bukanlah kekalahan yang harus diratapi secara pasif; itu adalah utang yang harus dibayar, sebuah warisan yang harus dibalaskan.

Nama-nama dalang kekejaman ini terngiang di benaknya—para Kaisar Iblis. Kekejaman mereka yang membara, kerakusan mereka akan kehancuran, telah memuncak di kuburan terpencil di tanah kelahirannya. Mereka bukan sekadar makhluk jahat; mereka adalah perwujudan dari rasa lapar yang membara dan kuno, yang ingin melahap semua cahaya, semua kehidupan. Anindya menelusuri jejak samar noda darah kering di surat ayahnya, warna merah tua itu mengingatkannya akan harga yang harus dibayar. Itu adalah ikatan yang mendalam dengan napas terakhir mereka, sebuah bukti bisu akan keberanian mereka.

"Aku takkan lupa," bisiknya, suaranya parau dan parau, namun diresapi kekuatan baru yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. Kata-kata itu bukanlah permohonan, melainkan sebuah dekrit, sebuah sumpah yang terucap dalam kesunyian yang sunyi. Ia menatap langit yang memar, sisa-sisa asap masih menempel di puncak-puncak Azure Peak yang bergerigi, kanvas tajam di balik cahaya yang memudar. Ini bukanlah akhir. Tak mungkin. Orang tuanya telah mati agar ia tetap hidup, agar ia bisa terus melangkah. Harapan mereka, impian mereka untuk masa depannya, kini menjadi haknya untuk diwujudkan, meskipun jalannya masih diaspal dengan sisa-sisa masa lalunya yang hancur.

Energi korup di meridiannya, denyutan penderitaan yang tak henti-hentinya, seakan merespons tekadnya yang semakin kuat. Itu adalah kekuatan gelap, racun peninggalan Kaisar Iblis, luka yang bernanah. Namun, saat ia berfokus padanya, pada rasa malu yang membara dan batasan menyakitkan yang ditimbulkannya, sebuah perspektif baru mulai terbentuk. Kata-kata ayahnya kembali: "tempalah menjadi kekuatan unikmu sendiri." Bagaimana jika kelemahan ini, penyakit ini, dapat diubah? Bagaimana jika itu bukan akhir, melainkan katalisator? Pikiran itu memang berani, bahkan mungkin delusi, tetapi itu adalah secercah harapan di tengah kegelapan yang mencekam.

Ia berdiri, lututnya berdenyut, tubuhnya terasa nyeri karena kelelahan yang menusuk tulang. Namun, semangatnya, meski babak belur, tak patah. Duka itu masih terasa berat, tetapi tak lagi melumpuhkan. Duka itu menjadi bahan bakar, bara api yang kuat dan membara, yang menyulut tekad yang kuat. Ia akan menghormati orang tuanya bukan dengan tenggelam dalam kesedihan, melainkan dengan merangkul perjuangan mereka yang telah mati demi mereka. Jalan yang telah digariskan ayahnya dalam suratnya, menuju tempat perlindungan tersembunyi dan cara untuk memperbaiki kultivasinya yang hancur, kini menjadi satu-satunya mercusuarnya. Perjalanan itu berbahaya, sarat ketidakpastian, tetapi jalan itu menjanjikan kesempatan untuk merebut kembali apa yang telah hilang, dan untuk membalas dendam.

Nama-nama Kaisar Iblis, terukir dalam ingatannya bagai cap, menjadi titik fokus tujuan awalnya. Masing-masing dari mereka, raksasa kehancuran, pada akhirnya akan menghadapinya. Yang termuda, yang bermata bak bara api, yang tawanya konon berderak dengan kilat neraka. Yang tertua, sosok samar yang diselimuti aura kematian, yang sentuhannya melenyapkan kehidupan itu sendiri. Dan yang ketiga, makhluk dengan keserakahan tak terpuaskan, yang memimpin pasukan binatang buas yang korup. Merekalah arsitek kehancuran ini, dan teror mereka tak akan dibiarkan begitu saja.

Tatapan Anindya menyapu bangunan-bangunan yang rata dengan tanah, menjadi saksi bisu kehancuran Puncak Azure. Ini lebih dari sekadar pembantaian; ini adalah pemusnahan, penghapusan garis keturunan suci secara sengaja. Kebrutalan serangan itu menunjukkan kebencian yang mendalam, keinginan untuk memusnahkan bukan hanya nyawa, tetapi juga esensi dari apa yang menjadi tujuan Puncak Azure.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel