Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Azure peak

Mewakili kedamaian, kebijaksanaan, dan pengejaran kekuatan yang benar. Ia tak akan membiarkan usaha

mereka sia-sia....ujar anindya' dab Ia akan menjadi perwujudan semangat Azure Peak yang abadi, sebuah bukti nyata ketangguhannya.

Kasih sayang orang tuanya, mercusuar yang telah menuntun hidupnya, kini menjadi kompas batinnya, mengarahkannya menuju masa depan yang ditempa api dendam. Ia akan mencari Air Terjun Berbisik, menguraikan petunjuk-petunjuk samar, dan menemukan tempat perlindungan tersembunyi. Ia akan menahan rasa sakit meridiannya yang rusak, bergulat dengan kegelapan di dalam dirinya hingga kegelapan itu tunduk pada kehendaknya. Dan ketika ia telah pulih kembali, ketika kekuatannya telah pulih dan kekuatannya terasah, ia akan memburu para Kaisar Iblis, satu per satu, dan membuat mereka membayar untuk setiap nyawa yang telah mereka musnahkan, untuk setiap air mata yang telah ia teteskan.

Sumpah itu disegel bukan dengan kata-kata yang diucapkan lantang, melainkan dengan komitmen diam-diam dan teguh yang menggema di sekujur tubuhnya. Darah orang tuanya di bumi bukanlah tanda akhir hayat mereka, melainkan tanah subur tempat pembalasan dendamnya akan bersemi. Duka itu tetap ada, duka yang mendalam dan abadi, namun kini terjalin dengan tekad yang kuat dan tak tergoyahkan. Anindya, satu-satunya yang selamat di tengah abu Puncak Azure, telah ditempa ulang. Ia bukan lagi sekadar murid; ia adalah alat pembalasan, pertanda perhitungan yang tak terelakkan. Perjalanan telah dimulai, bukan dengan langkah maju, melainkan dengan sebuah janji yang dibisikkan kepada arwah masa lalunya, sebuah janji untuk bangkit, bertahan, dan membuat para Kaisar Iblis gemetar. Ia dengan hati-hati melipat surat ayahnya, menyelipkannya dengan aman ke dalam jubahnya, sebuah pengingat nyata akan tujuannya. Beban dunianya yang hancur sangat besar, tetapi itu adalah beban yang akan ia pikul, mengubahnya menjadi kekuatan tekadnya. Bara api semangatnya, yang dikipasi oleh angin kesedihan dan kenangan cinta, mulai bersinar dengan api yang ganas dan tak tergoyahkan.

Hujan telah reda, tetapi udara di Puncak Azure masih terasa berat dengan aroma tanah lembap dan bayangan keputusasaan yang masih tersisa. Anindya, masih terguncang oleh bencana yang telah meratakan rumahnya menjadi puing-puing dan meninggalkan keluarganya dalam kenangan, berlutut di tengah kehancuran. Tubuh fisiknya menjadi bukti kekerasan yang telah dialaminya—memar, babak belur, dan hancur di dalam. Namun, di balik lapisan rasa sakit dan selimut duka yang menyesakkan, secercah kehidupan yang gigih dan gigih menolak untuk dipadamkan. Itu adalah denyut nadi yang samar, denyut kekuatan hidup yang nyaris tak terasa yang berkelap-kelip di dalam meridiannya yang rusak, bara api yang rapuh di tengah kegelapan yang luas dan menyesakkan.

Bara ini, meskipun sangat kecil, mewakili secercah harapan. Itu adalah sisa vitalitas bawaannya sendiri, yang dengan keras kepala berpegang teguh pada keberadaan. Jalur-jalurnya yang dilalui energi vital, atau Qi, telah menjadi korban energi iblis yang merusak, residu beracun yang ditinggalkan oleh para penyerbu, telah menyusup dan memutar saluran-saluran suci ini, membuatnya tidak stabil dan sangat sensitif. Setiap napas, setiap detak jantungnya, mengirimkan gelombang siksaan yang berapi-api melalui dirinya. Namun, melalui kabut penderitaan, gema ajaran-ajaran gurunya bergema. Mereka berbicara bukan tentang penyerahan diri, tetapi tentang ketahanan. Mereka berbicara tentang kekuatan batin yang melampaui keterbatasan fisik, semangat pantang menyerah yang dapat menghadapi badai apa pun.

Prinsip-prinsip dasar seni bela diri, yang tertanam selama bertahun-tahun latihan keras, tetap utuh di benaknya. Bentuk-bentuk yang rumit, posisi-posisi yang tepat, teori manipulasi Qi, semuanya masih ada, benih yang terpendam menunggu tanah subur. Pengetahuan itu adalah janji diam-diam, cetak biru untuk pemulihan, meskipun kenyataan langsungnya tampak tak terlampaui. Pemahaman ini, kebijaksanaan yang terinternalisasi ini, adalah fondasi rapuh yang di atasnya harapannya yang baru lahir dibangun. Ia tahu, secara intelektual, bahwa jalur menuju kultivasi telah rusak, mungkin tak dapat diperbaiki lagi dengan cara-cara konvensional. Namun, keberadaan pengetahuan ini, ditambah dengan denyut nadi yang kuat di dalam dirinya, menunjukkan bahwa perjalanan itu belum tentu berakhir.

Ia teringat kata-kata Guru Jian yang tegas namun menyemangati di masa mudanya: "Tubuh adalah sebuah kapal, Anindya, tetapi jiwa adalah pelaut. Bahkan kapal yang lumpuh pun dapat dituntun oleh tangan yang teguh, jika pelaut memiliki tekad untuk mengemudikannya." Kala itu, kata-katanya terasa seperti kebijaksanaan alegoris untuk mengatasi kemunduran kecil. Kini, kata-kata itu memiliki makna yang mendalam, yang menentukan hidup atau mati. Kapalnya tidak hanya lumpuh; tetapi juga hancur. Namun pelaut, jiwanya, mulai menemukan tekadnya.

Kenangan akan ibunya, sang penyembuh lembut dari Puncak Azure, juga muncul kembali. Ibunya selalu menekankan keterkaitan segala sesuatu, aliran energi yang halus di dunia dan di dalam diri sendiri. Ia telah mengajari Anindya tentang kemampuan alami tubuh untuk beregenerasi, tentang bagaimana luka terdalam sekalipun, jika diberi waktu dan kondisi yang tepat, dapat mulai pulih. "Hidup akan menemukan jalannya, Nak," ibunya sering berkata, suaranya bagaikan balsem yang menenangkan. "Bahkan di tengah embun beku yang paling parah sekalipun, sebutir benih kecil menyimpan janji musim semi." Anindya berpegang teguh pada kenangan-kenangan ini, membiarkannya menjadi jangkarnya melawan arus keputusasaan yang mengamuk.

Energi korup di dalam dirinya adalah kehadiran yang konstan dan berbahaya. Itu adalah unsur asing, kekuatan parasit yang secara aktif berusaha untuk mengonsumsi kekuatan hidupnya sendiri, untuk merusak aliran alaminya. Itu berdenyut dengan ritme jahat, mencoba untuk mengurai

Namun, Anindya mulai mengamatinya, bukan hanya dengan rasa takut dan jijik, tetapi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar, meskipun menakutkan. Surat ayahnya menyebutkan kemungkinan "menempa" energi yang rusak, mengubah potensi destruktifnya menjadi kekuatan yang unik. Pikiran itu begitu berani, hampir mustahil. Bagaimana seseorang bisa mengendalikan racun? Bagaimana seseorang bisa mengendalikan noda iblis?

Ia mencoba meniru metode yang diajarkan para gurunya untuk merasakan dan mengedarkan Qi. Prosesnya sangat lambat dan menyakitkan. Alih-alih aliran halus dan harmonis yang biasa ia rasakan, Qi-nya bergerak tersendat-sendat, disertai rasa sakit yang tajam dan membakar. Energi yang rusak itu melawan usahanya, menerjang seperti binatang buas yang terpojok setiap kali ia mencoba mengendalikannya. Rasanya seperti mencoba menjinakkan api liar dengan setetes air. Namun, dengan setiap upaya yang menyakitkan, ia mempelajari sesuatu yang baru tentang sifat, kelemahan, dan kekuatannya. Ia mulai memahami pola-pola halus dalam gelombangnya yang kacau, saat-saat ketika energi itu tampak mundur dari kondisi meditasi tertentu atau dari kekuatan tekadnya yang kuat.

Fokusnya beralih dari sekadar mencoba mengusir kerusakan menjadi memahami bagaimana kerusakan itu berinteraksi dengan kekuatan hidupnya sendiri. Ia membayangkan meridiannya sebagai jaringan sungai. Biasanya, sungai-sungai ini mengalir dengan air murni yang memberi kehidupan. Kini, lumpur gelap dan kental telah mencemarinya, menyumbat alirannya, dan meracuni tanah yang dipupuknya. Pendekatan konvensional adalah mencoba membendung lumpur dan mengeringkan sungai, suatu hal yang tampaknya mustahil mengingat luasnya pencemaran. Namun, kata-kata ayahnya, dan intuisinya yang berkembang, menyarankan jalan yang berbeda: mungkinkah ia menemukan cara untuk memurnikan lumpur itu sendiri, menyaring kotorannya, dan mendapatkan kembali esensinya?

Ini bukan jalan bagi mereka yang lemah hati. Jalan ini membutuhkan ketabahan mental dan disiplin spiritual yang hanya sedikit orang yang mampu memahaminya. Bersedia terlibat dengan sumber rasa sakitnya, menyelami kerusakan yang mengancamnya, adalah tindakan keberanian yang luar biasa. Namun, juga merupakan tindakan putus asa. Tanpa cara untuk menyembuhkan meridiannya, kultivasinya praktis mati. Ia tak akan pernah bisa mencapai puncak yang dibayangkan orang tuanya, ia juga tak akan pernah cukup kuat untuk menghadapi para Kaisar Iblis.

Ia mulai melatih teknik pernapasannya, berfokus pada ritme tarikan dan embusan napasnya. Ia mencoba menghirup udara pegunungan yang bersih dan segar, membayangkannya sebagai Qi murni, lalu perlahan-lahan mengembuskan energi yang rusak. Rasanya seperti mencoba memurnikan sumur yang tercemar. Air yang ia hirup tercemar, dan napasnya...

Ia mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Namun ia bertahan, menemukan penghiburan dalam konsistensi latihannya, meskipun hasilnya minim. Setiap tarikan napas adalah kemenangan kecil, sebuah bukti penolakannya untuk menyerah.

Para gurunya juga telah mengajarinya konsep "kekosongan" sebagai kondisi kedamaian dan kejernihan yang mendalam. Di tengah duka dan rasa sakit yang luar biasa, kondisi ini hampir mustahil dicapai. Pikirannya bagaikan medan perang, terus-menerus memutar ulang kengerian serangan itu, hatinya diliputi badai kesedihan dan amarah. Namun ia mencoba, berfokus pada keheningan di antara pikirannya, pada kesunyian bebatuan di sekitarnya, pada langit luas yang tak acuh di atas. Di saat-saat tenang yang singkat itu, ia bisa merasakan kekuatan hidupnya sendiri berdenyut sedikit lebih stabil, sedikit lebih ringan.

Ia membayangkan energi yang rusak itu sebagai sulur gelap, terjalin rumit di antara benang-benang halus meridiannya. Tujuannya bukanlah mencabut sulur itu, yang kemungkinan besar akan semakin merobek meridian, melainkan dengan lembut dan telaten, mengurainya. Ia membayangkan dirinya sebagai seorang penenun, jari-jarinya sehalus sutra laba-laba, dengan hati-hati memilah-milah pertumbuhan yang berbahaya itu, benang demi benang yang menyiksa. Ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa, kualitas yang selalu ia perjuangkan. Latihannya sangat intensif, berfokus pada kemajuan pesat dan tindakan tegas. Pendekatan baru ini menuntut perubahan yang halus dan bertahap, sebuah upaya perlahan dan pasti untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang.

Rasa sakit fisik itu terus-menerus mengganggu, bagai nyanyian sirene penderitaan yang mengancam akan menjerumuskannya ke dalam jurang. Rasa sakit itu mewujud sebagai sensasi terbakar, tusukan tajam, dan kekosongan yang dalam dan menyakitkan. Ia belajar untuk memilah-milah rasa sakit itu, untuk mengakuinya tanpa membiarkannya menggerogotinya. Ia akan berfokus pada satu titik, satu sensasi, dan membenamkan diri di dalamnya, membiarkan dunia lain memudar. Mungkin itu adalah bentuk penyiksaan diri, tetapi juga cara untuk mengendalikan narasi penderitaannya sendiri. Ia tidak akan menjadi korban rasa sakitnya; ia akan menjadi tuannya.

Anindya teringat sebuah pelajaran khusus dari guru kultivasi Qi-nya, Tetua Mei. Ia merasa frustrasi karena tidak mampu menembus suatu hambatan dalam kultivasinya. Tetua Mei hanya tersenyum dan berkata, "Terkadang, Nak, kemajuan terbesar terjadi ketika kita berhenti berjuang, tapi "Tidak selalu, Nak, kemajuan terbesar terjadi ketika kita berhenti berjuang," kata Tetua Mei dengan senyum yang lembut.

Anindya merasa frustrasi karena tidak mampu menembus suatu hambatan dalam kultivasinya. Ia telah mencoba berbagai teknik, berbagai latihan, tapi tidak ada yang berhasil.

"Aku tidak mengerti, Tetua," kata Anindya dengan nada kecewa. "Aku telah mencoba segala cara, tapi aku masih tidak bisa menembus hambatan ini."

Tetua Mei tersenyum lagi, "Kadang-kadang, kita terlalu fokus pada tujuan kita sehingga kita lupa untuk menikmati prosesnya. Kita terlalu keras pada diri sendiri, terlalu memaksakan diri kita untuk mencapai sesuatu."

Anindya memandang Tetua Mei dengan penasaran, "Apa yang harus aku lakukan, Tetua?"

Tetua Mei menjawab, "Coba berhenti berjuang sejenak, Nak. Biarkan dirimu bernapas, biarkan dirimu rileks. Terkadang, kemajuan terbesar terjadi ketika kita berhenti memaksakan diri kita dan membiarkan diri kita menjadi apa adanya."

Anindya merenungkan kata-kata Tetua Mei, mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan. Ia merasa bahwa ada kebenaran dalam kata-kata itu, bahwa kadang-kadang, kita memang perlu berhenti berjuang dan membiarkan diri kita bernapas.ketika kita membiarkan diri kita apa adanya. Sungai tidak memaksakan diri melewati bendungan; ia menunggu, ia mengumpulkan kekuatan, hingga bendungan itu pasti jebol." Saat itu, Anindya merasa nasihat ini sangat pasif. Kini, ia mulai memahami kebijaksanaannya. Mungkin upayanya untuk mengusir kerusakan secara paksa justru kontraproduktif. Mungkin ia perlu fokus memperkuat fondasinya sendiri, memelihara bara api kehidupan yang samar di dalam dirinya, dan membiarkannya secara alami melawan kegelapan.

Ia mulai berlatih gerakan fisik dasar, sangat lambat dan terencana. Peregangan sederhana, rotasi lembut anggota tubuhnya. Rasa sakitnya luar biasa, tetapi ia terus melawannya, berfokus pada mempertahankan postur dan keseimbangan yang tepat, merasakan arus energi halus yang masih mengalir di sekujur tubuhnya, meskipun terbatas. Ia berlatih kuda-kuda dasar seni bela diri Azure Peak, "Silent Cloud Form", bukan dengan kekuatan eksplosif yang pernah dimilikinya, tetapi dengan fokus pada keseimbangan dan stabilitas internal. Setiap gerakan merupakan tindakan perlawanan yang disengaja terhadap kekuatan yang berusaha melumpuhkannya.

Ajaran para gurunya bukan hanya tentang teknik bela diri; melainkan tentang menumbuhkan pikiran yang tangguh dan semangat yang tak tergoyahkan. Mereka telah menanamkan dalam dirinya pentingnya disiplin mental, fokus, dan kemampuan untuk tetap tenang dan terpusat bahkan dalam menghadapi kesulitan. Inilah fondasi sejati dari kultivasi, fondasi yang membangun semua kekuatan fisik. Dan kekuatan batin inilah yang kini dipegang teguh Anindya, satu-satunya senjata yang tersisa di gudang senjatanya.

Ia memulai rutinitas meditasi yang ketat, mendedikasikan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih. Ia berusaha menenangkan hiruk-pikuk kesedihan dan amarahnya sendiri, untuk menemukan ketenangan di tengah badai. Ia memvisualisasikan meridiannya bukan sebagai saluran yang rusak, melainkan sebagai benih yang terbengkalai, menunggu nutrisi dari kekuatan hidupnya untuk bertunas dan tumbuh. Ia membayangkan energi yang rusak sebagai kabut tebal, dan Qi-nya sendiri sebagai angin sepoi-sepoi, perlahan tapi pasti menghilangkan kabut tersebut. Prosesnya lambat dan melelahkan, dan kabut seringkali tampak menebal lebih cepat daripada angin yang mampu membubarkannya.

Rasa lapar menggerogotinya. Aktivitas fisik yang melelahkan, ditambah pergulatan batin, menguras cadangan energinya dengan cepat. Ia mencari akar-akaran dan buah beri yang bisa dimakan, gerakannya lambat dan hati-hati agar lukanya tidak semakin parah. Setiap gigitan makanan merupakan tindakan sadar untuk mengisi bahan bakar tubuhnya, menyediakan bahan baku untuk tugas penyembuhan yang berat. Ia minum dari sungai pegunungan, memurnikan airnya dengan teknik penyaringan Qi sederhana, keterampilan yang ia pelajari untuk keadaan darurat.

Ia terus meneliti gulungan dan teks yang secara ajaib selamat dari kehancuran, terutama yang berfokus pada meridian dan kultivasi internal. Ia mencari catatan tentang cedera serupa, catatan tentang individu yang telah mengatasi kerusakan meridian parah. Teks-teks kuno tersebut menceritakan tentang individu-individu langka yang berhasil menempa atau bahkan mentransmutasikan Qi yang rusak, tetapi metodenya seringkali tidak jelas dan berbahaya, membutuhkan pemahaman mendalam tentang alkimia spiritual dan tekad yang kuat. Ini bukanlah solusi instan, melainkan jalan berliku yang menuntut latihan bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, dan dedikasi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel