Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

puncak azure

Sebuah pemahaman yang mulai muncul tentang jurang yang bisa dimasuki dunia persilatan. Ini bukan perang; ini kehancuran. Para murid Puncak Azure, yang dikenal karena jalan lurus mereka dan komitmen teguh mereka pada Jalan, sedang dibasmi secara sistematis oleh makhluk-makhluk yang penuh kebencian.

Keterampilan bela dirinya sendiri, yang terasah hingga ke ujung pisau, terasa sangat tidak memadai untuk menghadapi kebrutalan yang begitu dahsyat. Ia adalah petarung yang terampil, mampu bertahan melawan lawan-lawan berpengalaman, tetapi yang ia saksikan adalah serangan gencar para iblis yang berwujud. Qi mereka bukanlah energi murni dan bersemangat dari kultivasi, melainkan miasma yang korup dan menyesakkan yang seolah menguras kehidupan dari udara. Itu adalah kekuatan yang memakan keputusasaan, kekuatan yang bersuka ria dalam penderitaan.

Pikiran Anindya melayang kembali ke masa kecilnya, pada kisah-kisah terpendam orang tuanya, tentang keberanian mereka dan akhir tragis mereka. Ia teringat duka, rasa sakit yang telah bersemayam di hatinya selama bertahun-tahun, tetapi kini, berkobar menjadi kobaran api yang berkobar. Tangan Obsidian tidak hanya menghancurkan rumahnya, mentornya, dan teman-temannya; mereka adalah perwujudan dari kejahatan yang telah merenggut keluarganya. Gema jeritan mereka, gambaran nyata dari kematian brutal mereka, yang selalu menjadi kenangan yang jauh dan menghantui, kini terasa nyata. Ia melihat wajah orang tuanya di mata para murid yang sekarat, kepolosan mereka mencerminkan kerentanan orang-orang yang dibantai di sekitarnya.

Tuan Jian, jubah putihnya kini berlumuran ichor gelap, terdorong mundur, napasnya tersengal-sengal. Ia menangkis serangkaian pukulan telak, pedangnya hanya seberkas cahaya keperakan, tetapi ketiga penyerang itu memanfaatkan keunggulan mereka dengan koordinasi yang mengerikan. Salah satu dari mereka, sosok kurus dengan mata yang membara bagai bara api, melepaskan semburan sulur bayangan. Sulur-sulur itu mengular di udara, sangat cepat, berusaha menjerat sang tetua. Tuan Jian menghindar dan menghindar, kelincahannya mencengangkan untuk usianya, tetapi sulur-sulur itu tak kenal ampun. Sulur-sulur itu mencambuk, menghantam lengan pedangnya dan memaksanya menjatuhkan senjatanya sambil menjerit kesakitan.

Melihat penderitaan gurunya, naluri primitif menggelora dalam diri Anindya. Ia bukan lagi sekadar murid Puncak Azure; ia adalah seorang putri, seorang penyintas, dan bara api terakhir dari dendam yang membara. Tubuhnya bergerak sebelum pikirannya dapat sepenuhnya memproses keputusan itu. Ia menghunus pedangnya sendiri, bilah pedang yang ditempa dengan teknik kuno, berdengung dengan Qi-nya yang kuat. Perjuangan untuk hidupnya, dan untuk mengenang orang tuanya, telah dimulai.

Dia tidak langsung menyerang. Sebaliknya, dia bergerak dengan sembunyi-sembunyi dan licik yang telah tertanam dalam dirinya selama bertahun-tahun pelatihan di medan perang yang berbahaya.

Lereng gunung. Ia memanfaatkan kekacauan, asap mengepul dari bangunan yang terbakar, dan kepanikan kebingungan beberapa pembela yang tersisa untuk keuntungannya. Ia menyelinap melalui bayang-bayang, bagaikan hantu di tengah pembantaian, indranya sangat waspada, mencari celah, titik lemah dalam serbuan tanpa ampun para penyerang.

Tatapannya tertuju pada salah satu anggota Tangan Obsidian yang baru saja menghabisi seorang murid dengan tebasan cepat dan brutal. Penyerang itu sejenak teralihkan, perhatiannya teralih ke pembantaian yang sedang berlangsung di tempat lain. Anindya melihat kesempatannya. Ia menyalurkan Qi-nya, memfokuskannya ke pedangnya, mengisinya dengan niat yang tajam dan menusuk. Ia melesat dari bayang-bayang, gerakannya seperti kilatan kecepatan.

Sang penyerang, yang menyadari kehadirannya di detik-detik terakhir, berbalik sambil menggeram, mengangkat senjatanya—bilah obsidian melengkung yang seolah menyerap cahaya. Anindya membalas serangannya secara langsung. Dampaknya sangat dahsyat, dentang yang menggemakan kekerasan malam itu. Bilahnya berat, dipenuhi energi negatif yang menyesakkan, yang berusaha mencekik Qi-nya sendiri. Namun, bilah Anindya dipandu oleh sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar teknik: kenangan membara akan orang tuanya dan penderitaan mendalam malam itu.

Ia memanfaatkan keunggulannya, tak memberinya waktu untuk pulih. Pedangnya menari-nari, guratan perak menerpa kegelapan, setiap tusukan dan tangkisan dipenuhi amarah yang membara. Ia merasakan pengaruh pedangnya yang merusak mencoba meresap ke dalam dirinya sendiri, rasa mati rasa yang dingin dan mengancam akan melumpuhkan anggota tubuhnya. Namun ia terus menerobosnya, tekadnya bagaikan perisai yang membara. Ia teringat ajaran Master Jian tentang menyalurkan kekuatan batin, tentang menyatu dengan Qi-nya, dan ia mencurahkan seluruh tekadnya ke dalam gerakan-gerakannya.

Ia berpura-pura ke kiri, membuat pertahanannya tinggi, lalu berputar rendah, pedangnya mengiris bagian belakang lututnya. Penyerang itu meraung kesakitan, terhuyung-huyung. Sebelum ia sempat membalas, Anindya membalikkan cengkeramannya dan menghunjamkan gagang pedangnya ke pelipisnya sekuat tenaga. Matanya berputar ke belakang, dan ia ambruk ke tanah, tak bernyawa.

Anindya tak berhenti. Ia tak menikmati kemenangan itu. Harga dari satu pembunuhan ini terlalu besar, skala kehancurannya terlalu dahsyat. Ia mengamati medan perang, jantungnya berdegup kencang, bercampur antara ngeri dan tekad. Ia melihat anggota Tangan Obsidian bergerak dengan efisiensi yang mengerikan, barisan mereka seakan tak ada habisnya. Mereka bukanlah individu yang bertempur; mereka adalah wabah, kekuatan alam yang dilepaskan.

Matanya tertuju pada orang-orang yang telah memojokkan Master Jian. Sosok kurus dengan mata yang membara itu hendak memberikan pukulan terakhir kepada mentornya yang lemah. Pedang-pedang bulan sabit itu mendekat, ujung-ujungnya yang berbayang menjanjikan

Akhir yang menyakitkan. Napas Anindya tercekat. Inilah akhirnya. Inilah momen yang akan menentukan masa depannya, momen di mana ia benar-benar merengkuh jalan balas dendam.

Dengan teriakan parau yang lebih terdengar seperti binatang daripada manusia, Anindya menerjang ke arah kerumunan. Ia melemparkan segenggam pecahan logam tajam—alat latihan yang selalu ia bawa—ke wajah penyerang berlambang bulan sabit. Gangguan itu hanya sesaat, tetapi cukup. Ia membalas serangan sosok kurus itu dengan benturan pedangnya yang putus asa dan langsung ke bilah pedangnya yang gelap dan bergerigi. Kekuatan benturan itu membuat lengannya bergetar, hampir melepaskan senjatanya, tetapi ia tetap teguh.

Dalam momen singkat nan kacau itu, ia melihat wajah asli Tangan Obsidian. Mereka bukan sekadar pejuang; mereka adalah instrumen penghancur, diri mereka terbenam dalam kegelapan yang seolah menolak cahaya. Tatapan mereka tak menunjukkan belas kasihan, tak ada ampun, hanya rasa lapar yang dingin dan penuh perhitungan. Mereka bergerak dengan presisi yang menunjukkan latihan brutal tanpa henti selama bertahun-tahun, teknik mereka diasah oleh filosofi yang menghargai pemusnahan di atas segalanya.

Bulan merah tua, yang kini berada di puncaknya, menebarkan bayangan-bayangan panjang terdistorsi yang menggeliat dan menari-nari bak hantu. Bulan itu seakan mengejek kesucian Puncak Azure, memandikan pemandangan pembantaian dengan cahaya merah darahnya. Anindya merasakan kehilangan yang mendalam, duka yang begitu dalam hingga mengancam untuk melahapnya. Tempat perlindungan masa mudanya yang tenteram kini hancur berkeping-keping, para pembelanya tercerai-berai atau terbunuh. Kedamaian yang telah membentuk hidupnya telah diganggu dengan keras, digantikan oleh kenyataan pahit perang yang tak pernah ia cari, tetapi kini telah merenggutnya sepenuhnya.

Malam ini, di bawah bayang-bayang bulan merah tua, bukan sekadar serangan; melainkan sebuah kebangkitan. Momen ketika kepolosannya hancur tak terelakkan, digantikan oleh tekad yang membara. Murid Azure Peak yang tenang itu telah tiada, dilahap api tragedi. Di tempatnya berdiri seorang pejuang yang ditempa dalam api kehilangan, hatinya kini menjadi wadah kebencian yang tak tergoyahkan dan janji pembalasan. Benih-benih pembalasan, yang ditanam di tanah subur kesedihannya, akhirnya mulai tumbuh, akarnya menancap jauh ke dalam inti dirinya, bersiap untuk tumbuh menjadi pohon pembalasan yang tangguh dan tak tergoyahkan. Jalan di depannya diselimuti kegelapan, diaspal dengan sisa-sisa kehidupan masa lalunya yang hancur, tetapi ia akan menjalaninya, berapa pun harganya. Tangan Obsidian telah melakukan dosa yang tak terampuni, dan Anindya akan memastikan mereka membayar harga tertinggi.

Bulan merah darah, yang kini menggantung bagai mata bengkak dan sakit di langit, memancarkan cahaya redup dan pucat ke lanskap Puncak Azure yang porak-poranda. Udara, yang dulunya hidup

dengan dengungan tenteram kultivasi dan bisikan angin pegunungan, kini dipenuhi bau kematian yang menyengat dan aura Qi jahat yang menindas. Suara pertempuran, tangisan putus asa para korban, dan geraman para penyerang yang parau, mulai mereda, digantikan oleh derak bangunan yang terbakar dan erangan pilu para korban luka. Namun, di tengah simfoni kehancuran ini, ketenangan yang mencekam telah turun, sebuah awal dari terungkapnya arsitek sejati kehancuran ini - Kaisar Iblis Tangan Obsidian.

Anindya, jubah putihnya kini berlumuran darah merah darah saudara-saudaranya yang gugur dan nanah gelap dari musuh-musuhnya yang kalah, berdiri di tengah kehancuran. Napasnya tercekat di tenggorokan, setiap tarikan napas mengingatkannya akan kekacauan yang telah terjadi. Beberapa murid yang masih hidup, berkerumun seperti domba yang ketakutan, melemparkan pandangan ngeri ke arah alun-alun pusat, tempat para prajurit Tangan Obsidian yang tersisa telah membentuk setengah lingkaran yang mengerikan. Di jantung formasi ini, tiga sosok berdiri terpisah, kehadiran mereka memancarkan aura kekuatan yang begitu dalam, begitu mengerikan, hingga seolah-olah membengkokkan udara di sekitar mereka.

Mereka adalah Kaisar Iblis.

Yang pertama, seorang pria jangkung dan brutal yang baju zirah obsidiannya tampak menyatu mulus dengan kulitnya, memiliki wajah yang bagaikan permadani bekas luka yang brutal. Matanya, bagai pecahan batu vulkanik, membara dengan api batin, tanpa kehangatan atau kemanusiaan. Di satu tangan, ia dengan santai menyeimbangkan gada raksasa berduri yang berdenyut dengan energi gelap dan beresonansi, yang mampu menghancurkan gunung. Seni bela dirinya, bahkan dari kejauhan, merupakan pertunjukan mengerikan dari kekuatan mentah yang tak terkendali, setiap gerakan diresapi dengan kekuatan yang dapat menghancurkan tulang dan meluluhlantakkan jiwa. Ia adalah perwujudan kekuatan brutal, sebuah bukti nyata dari filosofi Tangan Obsidian tentang kekuatan yang luar biasa.

Di sampingnya berdiri sosok yang sangat kontras, namun tak kalah mengancam. Mengenakan jubah biru tua yang berkibar, Kaisar Iblis ini kurus kering, nyaris seperti kerangka, raut wajahnya tajam dan buas. Namun, matanyalah yang benar-benar membuat Anindya gelisah; bagaikan bara api kembar, membara dengan kecerdasan yang dingin dan penuh perhitungan serta hasrat tak terpuaskan akan kehancuran. Ia tak memegang senjata yang terlihat, namun udara di sekitarnya berderak dengan energi tak terlihat, sebuah bukti penguasaannya atas seni korupsi dan jerat yang lebih halus, namun sama-sama dahsyat. Ia adalah perwujudan kekuatan yang licik, ahli serangan tak terlihat, bisikan merusak yang dapat mematahkan tekad terkuat sekalipun.

Kaisar Iblis ketiga, dan mungkin yang paling meresahkan, adalah makhluk bayangan murni. Sulit untuk melihat wujud yang jelas di balik pusaran kegemenyelimuti mereka, tetapi dua mata merah tua yang tajam berkilauan dari dalam miasma, bagaikan bintang-bintang jahat di kehampaan. Entitas ini seolah menarik kekuatannya langsung dari malam itu sendiri, gerakannya cair dan tak alami, seolah tak terikat oleh hukum fisika yang mengatur manusia. Bisikan-bisikan tentang kemampuan mereka bahkan telah mencapai Puncak Azure yang terpencil—kisah-kisah tentang seni ilusi yang dapat membuat seseorang menjadi gila, tentang teknik langkah bayangan yang memungkinkan mereka melintasi jarak yang mustahil, dan tentang kekuatan yang dapat menguras daya hidup korban mereka. Inilah perwujudan kekuatan halus yang merusak, kekuatan yang memangsa rasa takut dan putus asa.

Anindya memperhatikan Kaisar Iblis yang kurus kering, yang bermata bara, mengangkat tangan. Makhluk buas berbekas luka itu, mengangguk, mulai maju. Ia bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan untuk ukuran tubuhnya, gada besarnya siap sedia. Sasarannya adalah Master Jian, yang, meskipun luka parah dan Qi-nya terkuras, tetap teguh pada pendiriannya, pedang patahnya tergenggam defensif. Melihat gurunya, pria yang telah membimbingnya, merawatnya, dan yang kini berdarah dan hancur, memicu gelombang amarah baru dalam diri Anindya.

Kaisar Iblis yang terluka mengayunkan tongkatnya dengan gerakan melengkung yang lebar. Itu bukan sekadar serangan fisik; melainkan gelombang Qi gelap, semburan kekuatan penghancur yang mendistorsi udara yang dilaluinya. Master Jian, dengan upaya yang gagah berani, mencoba menangkis dengan pedangnya yang patah, tetapi kekuatan pukulan itu terlalu besar. Benturan itu membuatnya terpelanting mundur beberapa meter, sisa kekuatannya tampak terkuras. Ia mengerang, tubuhnya gemetar karena upaya untuk tetap tegak.

"Kau bertarung dengan keputusasaan seekor tikus yang terpojok, pak tua," Kaisar Iblis yang penuh luka itu menggelegar, suaranya serak dan parau, menggesek saraf Anindya. "Tapi tikus yang paling ganas sekalipun tak bisa lolos dari hal yang tak terelakkan."

Ia menyerang lagi, kali ini dengan rentetan serangan, setiap pukulan ditujukan untuk menghancurkan pertahanan Master Jian yang sudah rapuh. Seni bela diri si biadab berbekas luka itu bagaikan balet penghancuran yang brutal, sebuah bukti dari latihan tanpa henti selama bertahun-tahun dalam seni pemusnahan. Ia menyukai serangan yang lebar dan menyapu, masing-masing dirancang untuk menghancurkan dan meluluhlantakkan. Gerakannya tampak sederhana, namun sarat dengan efisiensi yang menghancurkan, setiap ayunannya membawa beban seberat gunung yang runtuh. Anindya dapat melihat kekuatan murni dan murni di balik setiap serangan, kekuatan yang bahkan mengerdilkan teknik terkuat para grandmaster Azure Peak.

Master Jian, meskipun jelas sudah kehabisan daya tahan, menghadapi setiap pukulan dengan ketahanan yang tabah. Gerak kakinya, meskipun lebih lambat, tetap presisi, dan ia berhasil menangkis beberapa serangan yang menghancurkan, pedangnya yang patah memercikkan energi gelaplapan yang

memancar dari gada itu. Tapi itu adalah pertempuran yang sia-sia. Kebrutalan dan kekuatan luar biasa dari Kaisar Iblis yang terluka terlalu berat untuk kondisinya yang lemah.

Saat Kaisar Iblis yang terluka melancarkan serangannya, Kaisar yang kurus kering dan bermata bara itu mulai melantunkan mantra. Suaranya, bisikan pelan dan mendesis, seakan menyatu dengan medan perang. Anindya merasakan sensasi geli merayapi kulitnya, rasa takut yang merayapi hatinya. Udara semakin dingin, dan bayangan di sekitar Kaisar yang kurus kering itu seakan semakin dalam, menyatu menjadi sulur-sulur tipis yang menjalar di tanah, menjangkau para penyintas yang tercerai-berai.

Salah satu sulur ini, luar biasa cepatnya, melilit kaki seorang murid muda, seorang anak laki-laki yang usianya hampir sama dengan Anindya sendiri, yang sedang berusaha merangkak menjauh dari pembantaian itu. Sulur itu menegang, dan anak laki-laki itu menjerit saat rasa sakit yang membakar menjalar ke seluruh tubuhnya. Kakinya mulai bersinar dengan cahaya hijau yang mengerikan, dan kulitnya tampak layu, Qi-nya tampak terkuras habis, membuatnya lemah dan terengah-engah. Jeritannya terhenti ketika sulur lain, yang kali ini lebih tebal dan lebih gelap, melilit tenggorokannya, menghancurkan nyawanya.

Darah Anindya mendidih. Ini bukan sekadar pertempuran; ini adalah pemusnahan terencana, penyiksaan dan eksekusi yang disengaja terhadap orang-orang tak berdosa. Ia melihat presisi mengerikan yang sama dalam tindakan Kaisar Iblis ketiga, yang berbalut bayangan. Dari kedalaman pusaran kegelapannya, bilah-bilah bayangan murni yang halus mulai mewujud, mengiris udara dengan niat mematikan yang sunyi. Mereka mengincar setiap murid yang berani bergerak, siapa pun yang mencoba menawarkan bantuan, atau siapa pun yang tampak menghalangi tarian maut mereka. Bilah-bilah bayangan ini sangat akurat, memotong anggota tubuh, menusuk titik-titik vital, dan memadamkan nyawa dengan efisiensi yang mengerikan dan impersonal.

Kekejaman itu tidak lahir dari amarah atau nafsu; melainkan merupakan aspek fundamental dari keberadaan mereka, sebuah kebejatan yang mengakar dan termanifestasi dalam setiap tindakan mereka. Para Kaisar Iblis bukan sekadar prajurit yang kuat; mereka adalah perwujudan kejahatan, jiwa mereka terbenam dalam seni tergelap dan hati mereka hampa empati. Mereka bergerak dengan keanggunan yang tak wajar, seni bela diri mereka diresapi energi yang merusak yang tak hanya melukai tubuh tetapi juga berusaha menodai jiwa, untuk mematahkan tekad lawan-lawan mereka.

Tatapan Anindya menyapu wajah ketiga Kaisar Iblis, mengukir wajah mereka dalam ingatannya dengan jelas, lahir dari teror dan kebencian yang membara. Si biadab penuh luka, dengan kekuatannya yang kasar dan merusak. Kaisar kurus kering, dengan kelicikannya,

Seni perusak jiwa. Dan entitas bayangan, makhluk dengan niat jahat murni dan murni. Inilah wajah para pria, atau apa pun mereka, yang telah mengatur pembantaian tuan-tuannya, teman-temannya, dan seluruh dunianya. Inilah wajah-wajah yang akan diburunya.

Kaisar Iblis yang kurus kering, menyadari perubahan fokus Anindya, mengalihkan pandangannya ke arahnya. Matanya yang seperti bara bertemu dengan mata Anindya, dan senyum dingin, tanpa humor, tersungging di bibirnya. "Ah, burung pipit kecil," seraknya, suaranya terdengar di tengah kehancuran. "Matamu berapi-api, Nak. Benar-benar percikan yang berbahaya."

Anindya merasakan dinginnya rasa takut yang menerpanya, tetapi ia tak membiarkan rasa takut itu menggerogotinya. Ia membalas tatapannya, matanya sendiri menyala dengan janji diam-diam. Ia mungkin muda, ia mungkin terluka, tetapi ia tidak hancur. Belum.

Kaisar Iblis yang terluka, tampaknya telah menaklukkan Tuan Jian yang kini terbaring tengkurap dan berdarah, mengalihkan perhatiannya kepada Anindya. "Anak muda yang begitu ganas," gumamnya, sekilas geli di mata berapinya. "Mungkin dia layak dipertahankan hidup, untuk sementara waktu."

Anindya mencengkeram pedangnya lebih erat. Bebannya terasa menenangkan, seperti jangkar yang familiar di pusaran kehancuran yang berputar-putar. Ia tahu, dengan keyakinan yang merindingkan tulangnya, bahwa jalan di depannya akan penuh dengan bahaya yang tak terbayangkan. Ia telah menyaksikan sendiri kekuatan mengerikan para Kaisar Iblis, penguasaan mereka atas ilmu hitam, dan ketidakpedulian mereka terhadap kehidupan. Namun ia juga tahu bahwa kenangan akan orang tuanya, kehancuran Puncak Azure, dan hasrat membara untuk membalas dendam akan membakar setiap langkahnya.

Kaisar Iblis yang kurus kering, senyumnya semakin lebar, mengangkat tangannya lagi. Gumpalan energi gelap semakin kuat, berputar-putar di sekelilingnya bagai pusaran predator. Tanah di bawah kaki Anindya seakan mengerang saat Qi gelap meresap ke bumi. Bayangan semakin pekat, menelan sisa-sisa cahaya bulan, dan bulan merah tua di atas tampak berdenyut dengan irama yang memuakkan, seolah seirama dengan kegelapan yang merayap.

Para Kaisar Iblis, dengan kehebatan bela diri mereka yang mengerikan dan energi mereka yang merusak, mewakili kekuatan penghancur yang mengancam akan menelan seluruh dunia persilatan. Anindya menyadari bahwa pencariannya untuk membalas dendam akan menjadi perjalanan yang panjang dan sulit, sebuah perjalanan melalui alam kekuatan yang jauh melampaui pemahamannya saat ini. Namun saat ia berdiri di sana, di tengah reruntuhan rumahnya, ia merasakan gelombang tekad yang begitu kuat hingga hampir mengalahkan rasa takutnya. Ia bukan lagi sekadar

Anindya, murid Puncak Azure. Ia adalah Anindya, pembawa pembalasan. Dan perangnya melawan Tangan Obsidian, melawan para Kaisar Iblis yang mengerikan ini, baru saja benar-benar dimulai. Ia akan mengasah kemampuannya, mengumpulkan kekuatannya, dan menghadapi mereka lagi, bukan sebagai korban, melainkan sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan. Wajah para Kaisar Iblis kini terpatri dalam jiwanya, sebuah pengingat akan apa yang telah hilang darinya, dan sebuah janji akan apa yang akan diraihnya. Mereka telah menabur benih kehancuran, tetapi tanpa sengaja mereka telah mengolah lahan subur bagi dendamnya untuk bersemi.

Keriuhan pertempuran mulai mereda, digantikan oleh derak api yang mengancam dan erangan orang-orang yang terluka parah. Di tengah pembantaian itu, Anindya tetap tersembunyi, tubuh mungilnya menempel di batu paviliun yang runtuh, dingin dan tak tergoyahkan. Napasnya tercekat di tenggorokan, suara parau dan putus asa yang hilang dalam kehancuran di sekitarnya. Teror yang ia rasakan nyata, rasa takut yang dingin dan merayap yang mengancam akan melumpuhkannya. Namun, emosi yang lebih ganas dan panas membara di dalam dirinya: kebencian yang membuncah, dipicu oleh jeritan yang didengarnya, raungan tak wajar yang menggema di Puncak Azure, dan keheningan yang membekukan yang menyelimuti setelah serangan gencar itu.

Matanya, terbelalak ketakutan yang tak seharusnya diketahui anak-anak, tertuju pada alun-alun pusat. Di sanalah, di tengah puing-puing rumah damainya yang hancur, inti kengerian itu berkumpul. Ketiga sosok itu, yang diselimuti aura kedengkian murni, adalah arsitek kehancuran ini. Makhluk buas berbekas luka, segunung otot dan kebencian, gadanya meneteskan Qi gelap. Kaisar kurus kering, matanya bagai bara api kembar, memancarkan kecerdasan yang menyeramkan. Dan makhluk bayangan, kehampaan tak berbentuk yang seolah-olah menyerap cahaya dunia. Mereka adalah Kaisar Iblis, dan kehadiran mereka merupakan kutukan bagi hakikat Puncak Azure.

Namun, bukan hanya kekuatan mengerikan mereka yang membuat Anindya terkurung. Tatapannya, yang ditarik oleh tali tak kasat mata dan menyiksa, terpaku pada tragedi yang lebih kecil dan lebih intim yang terbentang di pinggiran alun-alun. Orang tuanya. Ibunya, Lian, dengan wajah yang biasanya tenang berubah penuh tekad, pedangnya tampak seperti bayangan perak di balik kegelapan yang merayap. Dan ayahnya, Jian, dengan sikap riang yang biasanya tergantikan oleh tekad yang muram, tinjunya yang mengepal dengan Qi pelindung saat ia melindungi sekelompok kecil murid yang lebih muda, rekan-rekan Anindya, dari pembantaian tak pandang bulu.

Mereka terkepung. Tangan Obsidian, yang terbalut baju zirah obsidian khas mereka, membentuk gelombang tanpa henti, gerakan mereka presisi dan brutal. Namun, orang tua Anindya tetap teguh pada pendirian mereka, menjadi mercusuar perlawanan terhadap segala rintangan. Ibunya, dengan serangkaian serangan secepat kilat, menangkis serangan dua orang berzirah obsidian

Para prajurit, pedangnya melantunkan lagu perlawanan yang putus asa. Setiap tangkisan adalah bukti latihan keras selama bertahun-tahun, setiap tusukan merupakan upaya putus asa untuk mengukir secuil ruang, momen jeda.

Anindya menyaksikan, bersembunyi di balik pilar batu yang sebagian hancur, jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya bagai burung yang terperangkap. Sementara itu, ayahnya bagaikan pusaran amarah defensif. Ia tidak menghunus senjata, tangannya adalah alatnya, tubuhnya adalah perisainya. Ia menghadapi pukulan-pukulan ganas para penyerangnya secara langsung, tinjunya yang kuat memancarkan energi pelindung yang berdenyut. Ia tidak sekadar menangkis; ia mengalihkan, menyerap, dan menangkis Qi gelap yang memancar dari para penyerangnya, sebuah prestasi yang menunjukkan betapa hebatnya penguasaannya atas seni pertahanan. Kekuatan serangan baliknya yang dahsyat membuat para prajurit yang lebih lemah terhuyung mundur, baju zirah mereka berderit karena benturan.

Namun, Tangan Obsidian bukanlah kekuatan yang bisa diremehkan. Mereka adalah pasukan yang disiplin dan tak berperasaan, setiap prajurit bagaikan pion dalam permainan yang lebih besar dan lebih mengerikan. Untuk setiap prajurit yang ditumbangkan Lian, dua prajurit lainnya tampak muncul dari balik bayang-bayang. Setiap kali Jian menangkis serangan, posisinya semakin goyah, cadangan Qi-nya tampak berkurang. Anindya bisa melihat ketegangan di wajah mereka, keringat bercucuran di dahi mereka, darah menetes dari luka-luka kecil. Namun, tatapan mereka tak pernah goyah, tak pernah menunjukkan sedikit pun tanda menyerah. Mereka bertempur bukan untuk kejayaan, bukan untuk kemenangan, melainkan untuk Lian. Mereka mengulur waktu Lian, momen-momen berharga yang mereka tahu, dengan keyakinan yang mencekam, tak mungkin mereka menangkan sendiri.

Ibu Anindya, Lian, melakukan manuver udara yang memukau, berputar dengan ujung kakinya untuk menghindari tebasan pedang yang menyapu, bilah pedangnya sendiri membentuk lengkungan bercahaya yang memotong lengan penyerang di siku. Prajurit obsidian itu melolong, mencengkeram tunggulnya yang berdarah, tetapi sebelum ia sempat mundur, pedang Lian sudah berada di tenggorokannya. Dengan tebasan cepat dan bersih, ia mengakhiri serangannya. Namun kemenangannya tak bertahan lama. Saat ia menurunkan pedangnya, sebuah bayangan jatuh menimpanya. Sesosok tubuh besar, lebih besar dari yang lain, gadanya berderak dengan energi gelap, menghunus senjatanya dalam sebuah tebasan brutal dari atas kepala.

"Ibu!" jeritan Anindya yang lirih merobek hatinya. Ia melihat ibunya secara naluriah mengangkat pedangnya untuk menangkis, tetapi kekuatan pukulan itu terlalu besar. Baja itu memekik protes, lalu hancur berkeping-keping, pecahan-pecahannya meledak keluar seperti pecahan peluru mematikan. Gada itu terus turun, menghantam bahu Lian dengan bunyi derak yang memuakkan. Ia berteriak, tubuhnya terlempar keras ke samping, lengan pedangnya terkulai tak berdaya.

Sebelum penyerang berbadan besar itu sempat memanfaatkan keunggulannya, Jian sudah ada di sana. Dengan raungan yang seakan mengguncang fondasi Puncak Azure, ia melontarkan diri ke depan, tinjunya bergerak tak beraturan. Ia menghantam gada itu langsung dengan lengan bawahnya, dampaknya bergema di seluruh alun-alun. Anindya bisa melihat ketegangan di wajahnya, buku-buku jarinya memutih, seluruh tubuhnya gemetar karena upaya tersebut. Ia bagaikan tembok, menyerap kekuatan penghancur bawahan Kaisar Iblis, melindungi istrinya yang terkapar.

Lian, meskipun lukanya parah, merangkak mundur, matanya beradu pandang dengan mata suaminya. Sebuah pemahaman diam-diam terjalin di antara mereka, sebuah perjanjian yang ditempa dalam cinta dan keputusasaan. Mereka tahu hari ini akan tiba, telah mempersiapkannya, bukan dengan mencari kekuasaan untuk mendominasi, melainkan dengan memupuk kekuatan jiwa, ketangguhan hati.

Kaisar Iblis yang kurus kering, mengamati pemandangan itu dengan rasa ingin tahu yang tak tergoyahkan, mengalihkan tatapan matanya yang membara ke arah Jian. Suaranya, bisikan mendesis yang membawa hawa dingin yang meresahkan, terdengar di tengah pembantaian. "Dedikasi yang luar biasa," gumamnya, senyum tipis dan kejam tersungging di bibirnya. "Kasih sayang seorang ayah, pengorbanan seorang ibu. Indah, dengan caranya sendiri. Tapi pada akhirnya sia-sia." Ia mengangkat tangan, dan dari bayangan yang melekat padanya, sulur-sulur energi gelap dan korosif mulai menjalar keluar, bukan ke arah Jian, melainkan ke arah sekelompok murid muda yang ia lindungi.

Anindya menyaksikan dengan ngeri saat sulur-sulur itu meliuk-liuk ke arah anak-anak yang ketakutan. Ayahnya, melihat ancaman baru itu, meraung menantang. Ia tak bisa berada di dua tempat sekaligus. Ia tak bisa melindungi istri dan anak-anaknya secara bersamaan. Kesadaran itu menyadarkannya, dan untuk sesaat, tekadnya goyah.

Lian-lah yang bertindak. Sambil menjerit lirih, ia bangkit berdiri, mengabaikan rasa sakit yang membakar. Ia melontarkan diri ke depan, bukan ke arah prajurit raksasa itu, melainkan ke arah anak-anak, ke arah sulur-sulur yang mendekat. Ia tahu ia tak mampu melawan Kaisar Iblis, tetapi mungkin, hanya mungkin, ia bisa menangkis serangan terburuknya, dan menciptakan momen pengalihan perhatian yang krusial.

Ia menjatuhkan diri di hadapan anak-anak, lengannya yang sehat terentang, tubuhnya menegang menghadapi hal yang tak terelakkan. Anindya memperhatikan, tubuhnya sendiri menegang karena ketakutan yang begitu mendalam hingga terasa seperti beban fisik yang meremukkan dadanya. Ia melihat sulur-sulur gelap itu menyerang ibunya, melihat tubuh ibunya mengejang saat Qi korosif mencabik-cabiknya. Lian menjerit, suara penderitaan yang akan selamanya terukir di jiwa Anindya, jubahnya berasap dan hancur di tempat sulur-sulur itu bersentuhan.

Namun Lian tidak langsung jatuh. Dengan upaya yang luar biasa, ia berhasil mengalihkan kekuatan utama sulur-sulur itu, membuatnya meluncur tanpa membahayakan melewati anak-anak, menghilang di tanah berbatu. Ia berhasil, tetapi dengan pengorbanan yang tak terbayangkan. Tubuhnya gemetar hebat, kulitnya menghitam dan mengelupas di beberapa tempat. Ia jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal.

Ayahnya, Jian, melihat pengorbanan istrinya, meraung penuh penderitaan dan amarah. Gada prajurit raksasa itu kembali menyerang, tetapi Jian tak lagi bertahan. Ia menyerang. Dengan semburan kekuatan yang seolah tak mampu melawan kondisinya yang sudah terkuras habis, ia melancarkan serangan balik yang dahsyat, serangkaian pukulan tepat yang meremukkan tulang, menghantam lengan prajurit raksasa yang memegang gada, lalu dada, lalu kepalanya. Prajurit raksasa itu, terkejut dengan keganasan serangan Jian yang kembali, terhuyung mundur, gadanya jatuh ke tanah dengan bunyi berdentang.

Namun momen kemenangan ini hanya sekejap. Kaisar Iblis yang kurus kering, matanya berbinar-binar geli yang mengerikan, hanya bertepuk tangan. Suaranya bergema seperti lonceng kematian. Prajurit bertubuh besar itu, yang tampaknya tidak terluka, menggeram parau dan menyerang lagi, tetapi kali ini, matanya menyala dengan warna merah tua yang membara. Kekuatannya tampaknya berlipat ganda, serangannya menjadi semakin ganas, semakin gegabah. Jian, yang sudah melemah, mendapati dirinya tak mampu menangkis setiap pukulan. Sebuah tendangan keras mendarat di sisi tubuhnya, membuatnya terkapar.

Anindya memperhatikan ayahnya yang berjuang keras untuk bangkit, gerakannya lamban. Prajurit bertubuh besar itu menjulang di atasnya, mengangkat gadanya untuk pukulan terakhir yang menghancurkan. Di dekatnya, ibunya, Lian, masih berlutut, tubuhnya hancur, dengan lemah mengulurkan tangan ke arah suaminya, permohonan tersirat di matanya.

Kemudian, Kaisar Iblis ketiga, makhluk bayangan, bergerak. Ia tak perlu bergerak jauh. Dari pusaran kegelapannya, sebilah pedang bayangan halus muncul. Pedang itu tidak diarahkan ke Jian, melainkan ke Lian. Pedang itu bergerak dengan kecepatan yang tak terbayangkan, bagai bisikan kegelapan di tengah cahaya bulan merah tua. Anindya melihatnya menyerang ibunya, bukan dengan suara benturan, melainkan dengan asimilasi yang sunyi dan mengerikan. Wujud Lian berkelebat, lalu lenyap, seluruh esensinya seakan terserap ke dalam bayangan. Helaan napas samar, nyaris tak terdengar, lalu ia lenyap, hanya menyisakan aroma ozon dan keputusasaan.

Dunia Anindya hancur berkeping-keping. Sisa-sisa terakhir tempat persembunyiannya hancur berkeping-keping. Ibunya, pergi. Menghilang, ditelan kegelapan. Isak tangis tercekat dari tenggorokannya, suara yang begitu parau, begitu penuh kepedihan, hingga suatu keajaiban ia tak tertelan oleh kekacauan di sekitarnya.

Ayahnya, Jian, menyaksikan kematian istrinya yang mengerikan, meraungkan kesedihan dan amarah yang murni dan murni. Amarah yang melahapnya adalah kekuatan yang nyata, cahaya menyilaukan yang sesaat menutupi kelelahannya. Ia bangkit berdiri, Qi-nya meletus keluar dalam gelombang yang menantang. Ia tak lagi peduli dengan pertahanan diri, tentang peluang. Ia hanya peduli pada balas dendam. Ia menyerbu prajurit besar itu, tinjunya berderak dengan energi putus asa dan ingin bunuh diri. Ia bertarung dengan keganasan seekor binatang buas yang terpojok, pusaran serangan putus asa, masing-masing dipicu oleh kenangan akan pengorbanan istrinya, oleh bayangan putrinya yang tersembunyi, oleh keinginan membara untuk menimbulkan rasa sakit pada mereka yang telah menghancurkan dunianya.

Namun, bahkan perlawanan terakhir itu pun belum cukup. Prajurit bertubuh besar itu, yang diperkuat oleh Kaisar yang kurus kering, bagaikan kekuatan alam. Pukulan-pukulan kuat Jian, meskipun tepat sasaran, tak lebih dari sekadar menghancurkan baju zirah gelap sang iblis. Kemudian, Kaisar yang kurus kering itu, dengan jentikan pergelangan tangannya, mengirimkan gelombang sulur bayangan lain yang meliuk-liuk. Kali ini, sulur-sulur itu bukan ditujukan kepada para murid, melainkan kepada Jian sendiri.

Anindya menyaksikan, lumpuh oleh duka yang begitu mendalam hingga terasa seperti tenggelam secara fisik, ketika sulur-sulur itu melilit ayahnya. Ia melihat ayahnya meronta, Qi-nya tersendat dan sekarat seiring energi korosif mengurasnya. Raungan perlawanannya berubah menjadi lenguhan kesakitan, lalu menjadi jeritan tercekik. Ia jatuh berlutut, tubuhnya didera kejang-kejang, kulitnya menggelap, kekuatan hidupnya disedot dengan efisiensi yang mengerikan. Prajurit bertubuh besar itu, dengan mata merah menyala, mengayunkan gadanya, bukan dengan kekuatan pukulan mematikan, melainkan dengan benturan yang disengaja dan menghancurkan tulang, mematahkan kaki Jian yang sudah melemah. Ia ingin Jian menderita, menyaksikan kematiannya sendiri yang perlahan.

Pandangan Anindya mengabur, kabur oleh air mata yang tak terbendung. Ia melihat ayahnya, hancur dan sekarat, tatapannya tertuju ke arah di mana ia bersembunyi, permohonan tersirat di matanya. Ia masih berusaha melindunginya, bahkan di saat-saat terakhirnya. Ia berhasil mengangkat tangannya dengan lemah, jari-jarinya terentang membentuk gestur cinta, sebuah perpisahan terakhir.

Kaisar Iblis yang kurus kering menghampiri Jian, matanya yang semerah bara api berkilat puas. Ia berlutut di samping guru yang tersungkur itu, suaranya seperti bisikan rendah dan dingin yang Anindya berusaha keras untuk mendengarnya. "Semangat yang luar biasa," gumamnya. "Sayang sekali ia harus dipadamkan. Tapi jangan takut, orang tua. Pengorbananmu tak akan terlupakan. Ia akan menjadi bahan bakar untuk api yang jauh lebih besar." Ia kemudian mengangkat tangannya, dan gelombang energi gelap terakhir yang menyilaukan melahap Jian. Tubuhnya hancur, esensinya lenyap ke dalam Qi yang rusak, napas terakhirnya adalah bisikan nama yang Anindya berusaha keras untuk memahaminya.

Anindya tetap membeku, tangan mungilnya membekap mulutnya, menahan tangisan yang mengancam akan keluar. Orang tuanya. Keduanya telah tiada. Dikorbankan. Keberanian mereka,

Cinta, telah memberinya beberapa momen berharga untuk bertahan hidup, momen-momen yang kini terasa seperti ejekan kejam atas kehilangannya. Bayangan ibunya yang lenyap dalam bayang-bayang, ayahnya yang ditelan kegelapan, terpatri kuat di benaknya. Mereka telah gugur melindunginya, benih rapuh di dunia yang ditelan kehancuran. Pengorbanan mereka tak akan sia-sia. Itu adalah utang yang akan ia bayar, sebuah janji yang terukir di lubuk hatinya yang terdalam. Hasrat membara untuk membalas dendam, yang dipicu oleh pemandangan saat-saat terakhir mereka, kini berkobar bagai api neraka, melahap dukanya, mengubahnya menjadi tekad yang dingin dan tak tergoyahkan. Ia akan hidup. Ia akan bertahan hidup. Dan suatu hari nanti, ia akan membuat para Kaisar Iblis membayar atas apa yang telah mereka lakukan. Pemandangan menyakitkan ini bukanlah akhir, melainkan awal yang brutal dan berdarah.

Rasa sakit yang membakar itu tak seperti apa pun yang pernah dialami Anindya. Rasa sakit itu bukanlah rasa sakit yang tajam dan sekilas seperti luka daging, atau rasa sakit yang mendalam seperti tulang yang memar. Ini adalah sebuah pelanggaran, robekan brutal dari dalam, seolah-olah esensinya sedang dicabik-cabik. Semburan energi korup yang menyimpang, sisa-sisa keji dari kekuatan penghancur Kaisar Iblis, telah menemukannya saat ia tertatih-tatih melewati reruntuhan Puncak Azure yang runtuh. Semburan itu menghantamnya dengan kekuatan pukulan fisik, bukan ke kulitnya, melainkan ke sesuatu yang jauh lebih intrinsik, sesuatu yang baru mulai ia pahami: meridiannya.

Gelombang kejut itu beriak melewati tubuh kecilnya, menyesakkan napas dari paru-parunya.

Pandangannya melayang, lorong-lorong rumahnya yang dulu familiar kini menjadi kaleidoskop kehancuran yang membara dan kedengkian yang membayangi. Ia merasakan kekacauan yang mendalam, seolah-olah jaringan rumit saluran energi di dalam tubuhnya, saluran-saluran pengembangan dirinya yang baru lahir, telah dihancurkan dengan dahsyat. Rasanya seperti implosi internal, arus vital yang tercekik, terpelintir, dan teracuni. Jeritan parau keluar dari bibirnya, suara tercekat dan putus asa ditelan oleh hiruk-pikuk kehancuran yang tak henti-hentinya.

Ia terjatuh, lututnya lemas, batu dingin menggigit dagingnya. Rasa sakitnya semakin menjadi, berkembang dari guncangan lokal menjadi dengungan membara yang menjalar dan berdenyut di setiap jengkal tubuhnya. Seolah-olah ribuan jarum kecil, yang dipanaskan hingga tak tertahankan, ditusukkan ke dalam dirinya, menembus jalur-jalur halus yang memelihara energi spiritualnya. Pengembangannya, kekuatan yang sedang tumbuh yang telah dipupuk dengan penuh kasih sayang oleh orang tuanya, tak hanya terhenti; ia juga lumpuh, aliran vitalnya terganggu, fondasinya pun terancam. Energi bawaan yang mulai bangkit dalam dirinya, menjanjikan masa depan yang penuh kekuatan dan perlindungan, kini menjadi sumber siksaan, kekuatan liar dan tak terkendali yang menggempur reruntuhan bentengnya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel