"Kehampaan bukanlah kekosongan
Pikiran untuk mencari bantuan eksternal terlintas di benaknya, tetapi ia segera menepisnya. Siapa yang bisa ia percayai? Dunia di luar Azure Peak begitu luas dan seringkali tak kenal ampun. Lebih jauh lagi, kondisinya merupakan perjuangan pribadi yang mendalam. Mengungkapkan meridiannya yang hancur dan energi yang merusak di dalamnya sama saja dengan mengekspos kerentanannya, mengundang belas kasihan atau eksploitasi. Orang tuanya telah mengajarkannya kemandirian, dan di saat-saat yang sunyi ini, pelajaran itu menjadi lebih penting dari sebelumnya.
Ia mulai mempraktikkan apa yang disebutnya "kultivasi observasional". Alih-alih secara aktif mencoba mengedarkan Qi, ia hanya duduk dan mengamati alirannya yang alami, meskipun menyakitkan. Ia mencoba merasakan pasang surut yang halus, titik-titik penyumbatan, area-area di mana kerusakan tampak paling kuat. Rasanya seperti mempelajari mesin yang rumit dan rusak, mencoba memahami cara kerjanya sebelum mencoba memperbaikinya. Pengamatan yang tenang ini memungkinkannya mengumpulkan informasi penting tentang kondisinya, pengetahuan yang akan sangat penting untuk upaya penyembuhan di masa mendatang.
Kenangan akan pengorbanan orang tuanya membakar tekadnya. Mereka telah gugur demi melindunginya, memastikan ia memiliki kesempatan untuk hidup dan meneruskan warisan mereka. Menyia-nyiakan pengorbanan itu, menyerah pada keputusasaan, sama saja dengan mencemarkan nama baik mereka dengan cara yang paling dalam. Kesadaran ini menjadi motivator yang kuat, pengingat yang terus-menerus akan taruhannya. Setiap urat nadinya kini didedikasikan untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga untuk berkembang, untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Ia mulai mengintegrasikan ajaran para gurunya ke dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya selama sesi latihan khusus. Ia menjalani setiap tindakan, setiap pikiran, dengan kesadaran penuh. Saat berjalan, ia berfokus pada sensasi kakinya di tanah, pada keseimbangan halus yang dibutuhkan. Saat makan, ia menikmati setiap suapan, menghargai nutrisi yang diberikannya. Kesadaran penuh ini membantu menenangkan celotehan batin berupa kesedihan dan ketakutan, menciptakan ruang-ruang kedamaian di mana daya hidupnya dapat mengumpulkan kekuatan.
Jalan di depannya mencekam, diselimuti ketidakpastian. Kerusakan meridiannya parah, dan energi yang merusak merupakan musuh yang tangguh. Namun Anindya memiliki sesuatu yang bahkan tak dapat dirampas oleh Kaisar Iblis: tekad yang gigih, ditempa dalam api kehilangan dan ditempa oleh kebijaksanaan para gurunya. Bara harapan dalam dirinya, meski kecil, semakin menyala terang. Itu adalah bukti kekuatan hidup yang abadi, sebuah janji diam bahwa bahkan dalam kegelapan terdalam sekalipun, secercah cahaya masih dapat menemukan cara untuk bersinar. Ia terluka, ia berduka, tetapi ia tidak hancur. Ia adalah seorang penyintas, dan perjalanan penyembuhan serta pembalasannya telah benar-benar dimulai.
Kehancuran Puncak Azure telah ditinggalkan, gambaran menghantui terukir dalam jiwa Anindya. Turun dari rumahnya yang hancur bukanlah perjalanan penyembuhan, melainkan merangkak penuh penderitaan menembus lanskap kengerian yang tak kunjung hilang. Setiap langkah adalah upaya sadar, pertarungan melawan tubuhnya yang melemah dan bayangan kehilangan yang menghantui. Beban yang dipikulnya bukan sekadar persediaan yang sedikit yang telah diselamatkannya, melainkan beban berat untuk bertahan hidup. Ia adalah satu-satunya penyimpan warisan Puncak Azure, bara terakhir dari api yang pernah berkobar. Kesadaran ini adalah rasa sakit yang terus-menerus menggerogoti, luka batin yang berdarah deras seperti luka fisiknya.
Dunia di luar pelukan Azure Peak yang familiar terasa begitu kontras dan tak kenal ampun. Warna-warna cerah alam, yang dulu menjadi sumber penghiburan, kini tampak redup, seolah terselubung duka lara. Udara pegunungan yang segar, meskipun terasa seperti balsem bagi paru-parunya yang perih, tak memberikan kenyamanan, hanya gema jeritan yang tak bisa ia lupakan. Setiap gemerisik dedaunan, setiap patahan ranting, mengirimkan adrenalin ke seluruh tubuhnya, naluri primitif untuk melarikan diri dari musuh yang tak lagi hadir secara fisik, tetapi tertanam dalam ingatannya. Ia bergerak dengan hati-hati yang lahir dari keputusasaan, indranya sangat waspada, mengamati dedaunan lebat untuk mencari tanda-tanda pengejaran, tanda-tanda kekuatan iblis yang telah memusnahkan hidupnya.
Kekuatan fisiknya hanyalah tiruan pucat dari kejayaannya di masa lalu. Hari-hari setelah serangan itu bagaikan kaburnya penderitaan dan tekad yang kuat. Kini, saat ia memaksakan diri untuk bergerak, luka-lukanya yang parah menjadi siksaan yang nyata. Meridiannya berdenyut dengan rasa sakit yang tumpul dan tak henti-hentinya, pengingat akan kerusakan yang bercokol di dalam dirinya. Otot-ototnya menjerit protes pada sedikit usaha, dan kelelahan bagaikan selubung tebal yang mengancam akan menyeretnya ke dalam tidur abadi. Namun, dengan setiap langkah yang menyakitkan, percikan perlawanan berkobar dalam dirinya. Itu adalah penolakan keras kepala untuk menjadi hantu dari dirinya yang dulu, korban yang ditelan keputusasaan. Kata-kata ayahnya, yang bergema di ruang-ruang sunyi pikirannya, adalah sebuah mantra: "Bertahan hidup bukan sekadar bertahan, Anindya. Ini tentang bertahan, tentang menemukan kekuatan untuk terus maju ketika semua harapan tampak hilang."
Jalan yang ia tempuh adalah jalan yang terpaksa, bukan pilihan. Ia menghindari rute yang sudah mapan, tanda-tanda peradaban apa pun. Ia tahu, para Kaisar Iblis tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Mereka akan memburunya, berusaha memadamkan sisa-sisa perlawanan. Ia belajar bergerak mengikuti bayangan, memanfaatkan medan sebagai sekutunya. Belukar yang lebat menjadi tempat perlindungan sementaranya, singkapan batu menjadi titik pandangnya. Keahliannya mencari makan, yang diasah selama ekspedisi yang tak terhitung jumlahnya di Puncak Azure, kini menjadi soal hidup dan mati. Ia dengan cermat mengidentifikasi akar dan buah beri yang dapat dimakan, perutnya terasah karena rasa lapar dan gentar yang bercampur aduk. Sumber air
didekati dengan sangat hati-hati, setiap tegukan mengandung risiko. Ia menggunakan teknik penyaringan Qi dasar yang diajarkan ibunya, sebuah metode sederhana namun efektif untuk memurnikan air, sambil berdoa agar energi kotor di dalam dirinya tidak mencemari kebutuhan dasar ini.
Beban psikologis mungkin merupakan beban terberat. Keheningan seringkali lebih menakutkan daripada suara apa pun. Dalam kesunyian yang sunyi, wajah-wajah para gurunya yang gugur, ibunya, ayahnya, akan terbayang di depan matanya, tawa mereka, ajaran mereka, saat-saat terakhir mereka. Rasa bersalah terus-menerus menemani, membisikkan keraguan yang licik di telinganya. Sudahkah ia berbuat cukup? Mungkinkah ia menyelamatkan mereka? Rasa tanggung jawab yang begitu besar membebaninya, mengancam akan menghancurkan semangatnya. Ia tidak hanya berjuang untuk kelangsungan hidupnya sendiri; ia berjuang untuk mengenang mereka yang telah tiada, untuk cita-cita yang telah mereka perjuangkan dengan hidup dan mati.
Ia teringat pernyataan tegas guru bela dirinya, Jian, suaranya bergema dengan beban pengalaman: "Medan perang pikiran seringkali lebih krusial daripada medan perang tubuh. Keputusasaan adalah racun yang melumpuhkan dari dalam. Taklukkan kesedihanmu sendiri, dan kau akan menemukan kekuatan untuk menghadapi musuh mana pun." Anindya berpegang teguh pada kebijaksanaan ini, bahkan saat air mata mengalir di wajahnya, tak terlihat oleh siapa pun. Ia memaksa dirinya untuk fokus pada tugas yang dihadapi, pada kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup. Setiap tarikan napas adalah kemenangan, setiap mil yang ditempuh adalah bukti ketangguhannya.
Kultivasinya, meskipun sangat terganggu, tidak sepenuhnya padam. Denyut samar kekuatan hidupnya, meridian yang rusak masih terhubung dengan inti spiritualnya, memungkinkan teknik-teknik dasar. Ia mempraktikkan seni penginderaan Qi yang halus, bukan untuk mengumpulkan kekuatan, melainkan untuk mendeteksi ancaman langsung. Prosesnya menyakitkan, setiap upaya untuk mengedarkan energi internalnya mengirimkan gelombang rasa sakit yang membakar ke seluruh tubuhnya. Energi iblis yang merusak itu melawan, bagaikan binatang buas yang terbelenggu di dalam dirinya, menyerang setiap gangguan. Ia belajar mengantisipasi reaksinya, menavigasi arus berbahaya dari kekuatan hidupnya yang rusak, sebuah keterampilan yang lahir dari kebutuhan dan didorong oleh tekad yang kuat untuk bertahan hidup.
Ia teringat kata-kata terakhir ayahnya yang mendesak, yang ditulisnya dengan tergesa-gesa di atas perkamen yang tergenggam di tangan ayahnya yang tak bernyawa: "Kehampaan bukanlah kekosongan, Anindya, melainkan potensi. Korupsi bukan sekadar racun, melainkan bentuk kekuatan bengkok yang menunggu untuk dibentuk kembali. Jangan takut pada kegelapan di dalam; belajarlah untuk mengendalikannya." Pesan samar ini telah menghantuinya sejak ia menemukannya, sebuah teka-teki tentang bertahan hidup dan transformasi. Bagaimana seseorang bisa memimpin pasukan yang berusaha menghancurkan mereka? Bagaimana ia bisa membentuk kembali racun? Jawabannya, ia curiga, bukanlah menolak korupsi, melainkan
