Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

komunal Azure Peak

memahaminya, menemukan intinya, kelemahannya, dan kekuatannya yang tersembunyi. Ini adalah jalan yang berbahaya, sebuah petualangan ke kedalaman tergelap dari keberadaannya sendiri, tetapi itu adalah jalan yang terpaksa ia tempuh.

Perjalanan itu merupakan perjalanan yang lambat dan melelahkan menembus hutan belantara. Siang berganti malam, ditandai oleh rasa lapar yang menggerogoti dan rasa dingin yang terus-menerus menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Anindya belajar tidur dalam waktu-waktu singkat yang tak menentu, indranya tak pernah benar-benar tenang. Ia menemukan tempat berlindung di gua-gua, di bawah akar-akar pohon purba yang berbonggol, atau sekadar meringkuk di tanah yang keras, kenyataan pahit dari keberadaan barunya melenyapkan ilusi-ilusi yang masih tersisa. Dunia telah menjadi tempat yang berbahaya, dan ia, seekor serigala yang terluka dan sendirian, adalah penghuni terbarunya.

Ia menyaksikan sisa-sisa amukan Kaisar Iblis di sudut-sudut dunia yang sunyi, sekilas melihat kehancuran yang telah mereka buat. Desa-desa yang hancur, bumi yang hangus, kesunyian yang menusuk tulang tempat kehidupan pernah berkembang pesat. Pemandangan ini menjadi pengingat yang tajam akan kekuatan dan kekejaman musuh, yang memperkuat tekadnya. Ia menjadi saksi kebiadaban mereka, dan kenangan akan tragedi-tragedi ini memicu hasratnya yang membara untuk membalas dendam. Itu bukan amarah yang membabi buta, melainkan api yang dingin dan penuh perhitungan, sebuah janji bagi mereka yang tak lagi mampu berbicara untuk diri mereka sendiri.

Kondisi fisiknya adalah pertarungan yang tak henti-hentinya. Sementara luka luar perlahan mulai mengering, kerusakan internal tetap menjadi rintangan yang berat. Meridiannya terasa seperti benang rapuh, rentan putus jika ditekan terlalu keras. Energi yang rusak berdenyut tak menentu, terkadang mereda menjadi nyeri tumpul, terkadang meledak menjadi kejang tajam yang melemahkan. Ia harus mewaspadai setiap gerakan, setiap napas, terus-menerus menilai risiko cedera lebih lanjut. Keseimbangan yang rapuh antara memaksakan diri untuk bertahan hidup dan pingsan karena kelelahan ibarat berjalan di atas tali yang ia lakukan setiap saat terjaga.

Ia teringat latihan bela dirinya, disiplin keras selama bertahun-tahun yang telah membentuk tubuh dan pikirannya. Bentuk-bentuk dasar, kuda-kuda, kendali napas—semua ini tertanam dalam dirinya. Bahkan dalam kondisi lemahnya, ia masih bisa mengingat prinsip-prinsipnya, nuansa-nuansa halus gerakannya. Ia berlatih latihan-latihan dasar secara diam-diam, jauh dari mata-mata, berfokus pada gerakan-gerakan yang terkendali dan disengaja. Peregangan sederhana, rotasi lengan, angkat kaki perlahan. Setiap gerakan adalah tindakan sadar untuk membangkitkan kembali kemampuan fisiknya yang terpendam, sebuah proses yang lambat dan menyakitkan untuk mendapatkan kembali apa yang telah dicuri.

Keterasingannya begitu mendalam. Tak ada seorang pun yang bisa berbagi duka, tak ada yang bisa menghibur atau membimbingnya. Ia benar-benar sendirian, terombang-ambing dalam lautan kehilangan. Keheningan

Alam liar sangat kontras dengan kehidupan komunal Azure Peak yang semarak. Ia merindukan persahabatan sesama murid, nasihat bijak para gurunya, dan kehadiran lembut keluarganya. Kenangan itu bagai pedang bermata dua, sumber kekuatan sekaligus pengingat akan apa yang telah hilang darinya. Ia mendapati dirinya berbicara kepada angin, kepada pepohonan, kepada hantu-hantu masa lalunya, mencurahkan dukanya ke hamparan yang tak peduli.

Suatu malam, meringkuk di bawah rimbunnya pepohonan tua, sebuah kesadaran menyadarkannya. Ia tak sekadar berlari, ia bergerak dengan tujuan. Kata-kata samar ayahnya, ajaran para gurunya, intuisinya sendiri—semuanya menunjuk pada jalan pemahaman, jalan transformasi. Para Kaisar Iblis telah berusaha menghancurkannya, memadamkan kekuatan hidupnya. Namun dalam tindakan pemusnahan brutal mereka, mereka secara tak sengaja memberinya kesempatan unik, meski menakutkan. Energi korup di dalam dirinya merupakan bukti kekuatan mereka, tetapi juga merupakan zat yang mudah menguap yang, jika dipahami, berpotensi dikendalikan.

Ia mulai mendekati kondisi internalnya dengan perspektif baru. Alih-alih hanya berfokus pada pengusiran korupsi, ia mulai mengamati polanya, lonjakannya, momen-momen ketenangannya. Ia memperlakukan tubuhnya sendiri sebagai artefak kultivasi yang kompleks, meridiannya yang rusak dan noda iblis di dalamnya sebagai komponen yang rumit dan berbahaya. Ia akan duduk berjam-jam, bermeditasi tentang aliran energi, mencoba memahami tanda-tanda energi halus dari korupsi, membandingkannya dengan dengungan samar dan murni dari kekuatan hidupnya sendiri. Itu adalah proses kartografi internal yang melelahkan, memetakan lanskap kultivasinya sendiri yang hancur.

Surat terakhir ayahnya membahas sebuah konsep yang jarang dibahas dalam dunia kultivasi ortodoks: penempaan energi iblis. Kebanyakan sekte mengajarkan pemberantasannya, penolakan mutlaknya. Namun ayahnya, seorang ahli seni kuno dan terlarang, telah mengisyaratkan kemungkinan jalan yang berbeda, yang merangkul paradoks penjinakan yang tak terjinakkan. Ia telah menulis tentang "Esensi Nether," sebuah energi teoretis yang dapat diekstraksi dari bentuk-bentuk Qi iblis yang paling ampuh, zat yang mudah menguap namun luar biasa kuat yang dapat memicu kemampuan luar biasa. Pikiran itu menakutkan sekaligus menggembirakan. Mungkinkah meridiannya yang rusak menjadi wadah bagi transformasi semacam itu?

Perjalanan itu diselingi momen-momen keputusasaan yang mendalam, saat-saat ketika beban berat situasinya mengancam untuk menenggelamkannya. Ada hari-hari ketika rasa sakitnya begitu hebat hingga ia hampir tak bisa bergerak, hari-hari ketika kekosongan di hatinya terasa seperti kehampaan yang menganga. Selama masa-masa ini, ia akan mundur ke relung terdalam

pikirannya, mencari penghiburan dalam ajaran para gurunya. Ia teringat akan pelajaran Guru Jian tentang ketahanan, kebijaksanaan Tetua Mei tentang kesabaran, dan keyakinan ibunya yang teguh akan kekuatan hidup. Kenangan-kenangan ini menjadi jangkarnya, mencegahnya hanyut oleh arus keputusasaan.

Ia harus sangat cerdik. Setiap pengetahuan yang ia miliki, setiap barang yang ia selamatkan, sangatlah berharga. Ia menggunakan pecahan obsidian sebagai pisau kasar, mengasahnya dengan batu. Ia membuat perban sederhana dari potongan-potongan kain. Ia belajar melacak pergerakan hewan, bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga untuk memahami isyarat halus dari alam liar, untuk mengantisipasi bahaya. Indra perasanya, yang diasah oleh kebutuhan, menjadi sekutu terbesarnya dalam perjalanan berbahaya ini.

Pertanyaan tentang tujuannya masih menjadi ketidakpastian yang mengganggu. Ke mana dia bisa pergi?

Siapa yang bisa ia percayai? Dunia ini luas dan penuh bahaya. Pengaruh Kaisar Iblis begitu luas, dan ia adalah buronan yang nyata. Ia tahu ia perlu menemukan tempat di mana ia bisa mulai menyembuhkan diri, mengolah diri, dan memahami rahasia pesan ayahnya. Namun untuk saat ini, satu-satunya fokusnya adalah bertahan hidup, selangkah demi selangkah, menanggung beban warisan di pundaknya yang rapuh namun tak tergoyahkan. Gema duka selalu mengiringi, tetapi di baliknya, dengungan samar kekuatan hidupnya membisikkan janji masa depan, masa depan yang harus ia perjuangkan.

Puncak-puncak bergerigi dari apa yang dulunya Puncak Azure surut di belakang Anindya, bukan sebagai pemandangan yang menenangkan, melainkan sebagai luka menganga di cakrawala. Setiap langkah menurun adalah negosiasi yang menyiksa dengan tubuhnya sendiri, simfoni protes dari otot-otot yang memar dan meridian yang menjerit. Udara, meskipun kini tak lagi terasa berat dengan bau kematian dan racun iblis, masih membawa hawa dingin yang samar, pengingat abadi akan kobaran api yang telah melahap rumahnya. Perjalanannya dimulai bukan dengan tujuan yang jelas, melainkan dengan keinginan yang mendesak untuk melarikan diri, untuk menjauhkan diri sejauh mungkin dari bencana itu. Perbekalan yang sedikit yang dibawanya—sebuah kantung air, beberapa ransum kering, dan sisa-sisa surat terakhir ayahnya yang samar dan compang-camping—terasa sangat tidak memadai dibandingkan dengan luasnya dunia yang kini menganga di hadapannya.

Alam liar yang menyambutnya adalah entitas yang keras dan liar. Hutan lebat, ditumbuhi pepohonan tua dengan cabang-cabangnya yang berbonggol mencakar langit, tak menawarkan sedikit pun penghiburan. Sinar matahari yang menembus kanopi tak banyak menghangatkan tulang-tulangnya yang dingin, dan gemerisik dedaunan, yang dulunya merupakan bisikan vitalitas alam yang menenangkan, kini terdengar seperti gerakan diam-diam para pengejar yang tak terlihat. Indra perasanya, yang diasah oleh kultivasi bertahun-tahun, berada dalam kondisi siaga tinggi, menafsirkan setiap patahan ranting, setiap kicauan burung di kejauhan, sebagai pertanda malapetaka yang potensial. Qi-nya, meskipun masih seekor burung terluka yang berkibar

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel