Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Percaya

"Kamu gila, Nat?"

Gwen memekik histeris. Wajah cantiknya memucat disusul sepasang mata biru yang terbelalak lebar-lebar. Gwen menggeleng-geleng tak setuju. Sebuah isyarat besar jika dia menganggap ide sahabatnya itu sudah di luar nalar dan logika, bahkan masuk kategori konyol mengingat dia teramat hafal karakter Nat. Mulut gadis itu terbuka, bersiap memuntahkan sederetan kalimat penolakan lagi saat kibasan tangan Nat menghentikannya.

"Aku tahu aku gila." Nat nyaris putus asa. "Tapi aku benar-benar menginginkannya, Gwen."

"Demi apa coba?" Gwen galak.

"Peramal itu bilang aku akan bertemu jodohku di kafe ini."

Gwen ternganga. Tak percaya bahwa sahabatnya akan percaya omongan penuh bualan dari seseorang yang menyewakan jasa murahan meramal masa depan.

"Nat, kita hidup di abad dua puluh satu. Dan, kamu masih percaya seluruh omong kosong tentang ramalan?" Gwen geleng-geleng.

Apa sahabatnya sudah tak bisa diselamatkan lagi? Kondisi mentalnya pasti sudah sangat parah hingga lebih mempercayai omongan peramal gadungan daripada fakta dan logika.

Nat nyaris menangis. Pipinya memerah. Bahunya gemetaran menahan air mata yang hendak tumpah. Beruntung rest room kali ini dalam kondisi kosong. Mereka bisa jadi tontonan gratis jika ada satu orang saja yang menyelinap masuk.

"Aku sudah putus asa, Gwen," Nat bergumam lirih.

Gwen tertegun. Hampir enam belas tahun bersahabat dengan Nat, belum pernah dia melihat gadis itu begitu menyedihkan. Gwen tahu persis alasannya.

Level galaknya sontak menurun drastis. Diraihnya bahu sang sahabat dan merengkuhnya lembut. Kali ini intonasi suara Gwen lebih manusiawi dibanding beberapa detik sebelumnya.

"Tapi dia akan menganggapmu murahan.” Gwen menasihati.

Nat mengangguk paham. Suara mencicit sedih. "Aku tahu."

"Kenapa kamu yakin dia orang yang tepat? Kamu bahkan tak kenal dia."

Nat terdiam cukup lama sebelum menjawab. "Karena hatiku mengatakan dia orangnya."

Gadis itu menyentuh dadanya. Ekspresinya penuh tekad.

Gwen mengembuskan napas panjang. "Nat, kamu tak tahu orang seperti apa dia. Kamu bahkan baru bertemu dia hari ini. Mungkin saja dia seorang pembunuh berantai yang bersembunyi di balik kedok pria tampan, atau juga seorang psikopat yang suka menyiksa pasangan, atau ...."

Gwen menghentikan asumsinya saat mendapat lirikan tajam Nat. Akan tetapi, dia masih belum mau menyerah.

"Oke, mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi, kamu juga harus memikirkan apakah dia masih lajang atau tidak, dia seorang player atau bukan. Bagaimana jika pasangannya marah karena melihatmu bersamanya?"

"Dia gay?" Nat mencoba melucu, mengingatkan fakta bahwa siang ini dia hanya bersama rekan lelakinya.

"Nat, aku serius." Gwen menegur.

Helaan napas Nat kembali terdengar. Pundaknya menurun. Pandangannya menerawang menembus cermin rest room.

"Aku juga tak tahu, Gwen. Yang aku tahu hanyalah, dia orang yang kucari. Instingku mengatakan seperti itu."

Kali ini sang sahabat bungkam. Sepertinya Nat sudah kuat pendirian. Gwen harus mendukung keputusan Nat, apalagi saat kondisi makin genting seperti sekarang.

"Lalu, bagaimana caramu mencari tahu tentang dia? Dia bahkan sudah pergi." Gwen mengingatkan fakta.

"Aku percaya dia akan kembali ke sini."

"Apa?"

Nat menyunggingkan seulas senyum tipis. Sekadar cukup untuk mencerahkan wajahnya yang mulai letih.

"Dia pasti akan kembali ke sini.” Gadis itu optimis.

Gwen menggeleng takjub. "Kamu memang benar-benar gila, Brown."

Nat mengedikkan bahu, sekaligus isyarat bagi mereka untuk menyudahi obrolan para gadis. Gwen lebih dulu beringsut keluar rest room setelah memastikan penampilannya masih rapi. Namun, sampai di ambang pintu, dia tertegun. Sangat perlahan dia menolehkan kepala ke Nat.

"Nat?" Suara Gwen terdengar takjub.

"Ya?" Gadis itu menjawab tanpa menoleh. Dia masih sibuk merapikan rambut yang berantakan.

"Seberapa besar kamu percaya pada ramalan?" Gwen mulai merasakan mentalnya ikut terganggu.

"Jika itu menyangkut jodoh, aku sangat percaya." Nat akhirnya memilih menggerai rambut pirangnya setelah bingung dengan ikat rambut yang mendadak raib dalam tas.

"Apa itu benar-benar jodohmu?"

Kali ini Gwen mendapat perhatian penuh dari Nat. Dia melirik sahabatnya yang tengah berdiri dengan telunjuk teracung keluar ruangan. Gadis itu melangkahkan kaki ke ambang pintu dan melongok keluar. Mereka mematung di ambang pintu rest room.

"Oke, sepertinya omongan peramal itu benar-benar bisa dipercaya," Nat menarik napas panjang.

~~oOo~~

Daniel kembali mengusap bibirnya. Gerakan kecil yang tak sadar terus dilakukannya sejak satu jam terakhir. Meskipun matanya menatap laptop yang menyala tepat di hadapannya, sorot matanya kosong. Tampak jelas pikiran Daniel tak sedang berada di tempat.

Tendangan di tulang kering membuyarkan lamunan Daniel. Pria itu meringis kesakitan. Refleks dia membungkuk, mengusap kakinya yang baru saja mendapat hadiah tak menyenangkan.

Matanya beredar liar memperkirakan siapa yang cocok jadi tersangka. Seseorang dengan sengaja menendang tulang keringnya sangat keras. Rasa nyerinya bertahan lebih lama daripada perkiraan Daniel.

"Stephan?" Daniel membeliak kesal setelah berhasil menemukan pelaku penendangan.

Alih-alih bereaksi pada kejengkelan Daniel, sang tersangka justru menggerakkan dagu. Daniel mengikuti arah dagu Stephan dan langsung menelan ludah.

Pria berwajah oriental, dengan mata sipit dan kulit kuning, tengah menatapnya sangat tajam. Mata elangnya seolah siap menyambar dan membanting tubuh Daniel jadi berkeping-keping. Sepasang alis tebalnya bertaut, lengkap dengan kerutan dalam di dahi lebarnya. Tambahkan bibir setipis kertas yang mengatup rapat penuh kejengkelan.

Mental Daniel sedikit mengkerut melihat ekspresi atasannya. Mister Wu adalah pimpinan di firma hukum tempat kerja Daniel. Pembawaan pria berdarah campuran Tiongkok-Inggris itu ramah dan menyenangkan. Kecuali saat dia dalam suasana hati buruk.

Daniel paham dialah yang menyebabkan Mister Wu mengubah sikap ramah jadi tidak ramah. Sejak awal rapat, Daniel terlalu sibuk melamun. Padahal pertemuan sore ini tergolong penting.

"Pozzi, jika kamu lebih suka memulai kariermu di Edensor, aku dengan senang hati akan membuat surat mutasi untukmu."

Daniel terperangah. Pindah dari London ke Edensor? Jangan sampai terjadi! Dia sudah nyaman dengan kariernya di London. Bermigrasi ke daerah pedesaan sama saja melenyapkan kerja kerasnya selama ini.

Buru-buru lelaki itu menyempurnakan posisi duduk. Jemari rampingnya membetulkan letak kacamata yang melorot dan kembali fokus pada rapat.

"Kurasa sudah sedikit terlambat untuk kembali ke rapat ini, Pozzi," sindir Mister Wu, "tapi aku apresiasi kecerdasanmu. Kamu pasti bisa segera mengejar materi-materi yang tertinggal demi entah apa."

Frasa demi entah apa diucapkan dengan penuh penekanan. Daniel meringis. Atasan di tempat kerja mana pun pasti tak menginginkan bawahannya mendua, termasuk dalam hal isi pikiran. Saat di tempat kerja, pekerjaan adalah hal nomor satu.

Daniel mengangguk kecil. "Saya minta maaf, Sir. Semalam saya kurang tidur ...."

"Karena apa?" Mister Wu menyela cepat.

Beberapa koleganya yang ada di sekeliling Daniel terkikik geli. Ekspektasi mereka tentang fenomena kurang tidur lelaki itu tak jauh-jauh dari aktivitas intim yang melibatkan kegiatan fisik sepasang pria dan wanita. Daniel melirik koleganya dan tersenyum simpul. Lihat saja, dia akan memutarbalikkan keadaan dengan amat-sangat-elegan.

Daniel mengangkat berkas dalam map plastik di samping laptop. Pandangannya mengitari meja oval, sedikit berlama-lama pada beberapa orang yang telah mencibir. Intonasinya tenang saat menjabarkan rencananya dengan berkas di tangan.

"Kasus Mister Dawson memiliki lubang yang sangat besar. Celah di surat kontraknya bisa merugikan Mister Dawson bahkan tanpa pihak tergugat bersusah payah membela diri. Yah, semalam suntuk saya mengumpulkan materi untuk menutup lubang tersebut."

Hening. Daniel menikmati bagaimana ekspresi koleganya berubah drastis. Dari menertawakan jadi ternganga. Kepuasan terbesar lelaki itu disempurnakan oleh tepuk tangan membahana Mister Wu.

Daniel menyeringai dalam hati. Misi sukses!

"Bagus, bagus, kamu memang aset berharga firma ini, Pozzi." Mata hitam pria oriental itu beredar mengelilingi ruangan rapat. "Kalian harus belajar dari Pozzi. Dedikasinya pada pekerjaan sungguh luar biasa."

Daniel tersenyum puas melihat tampang masam para koleganya. Siapa suruh mereka berprasangka mesum padanya? Meskipun, well, Daniel juga pasti akan berpikir sama jika berada di posisi mereka. Lembur tengah malam melakukan aktivitas intim lebih mengasyikkan dibanding bekerja bersama setumpuk kertas.

Rapat yang tinggal setengah jam itu berlangsung dengan materi sangat padat. Kali ini Daniel tak ingin mendapat semprotan kejengkelan dari sang bos lagi. Tekun dia mempelajari fail kasus yang dikirim ke surelnya. Sebuah kasus pelecehan seksual dengan tergugat seorang politikus kondang.

Rapat sore itu ditutup dengan perintah Mister Wu untuk memenangkan kasus bagaimana pun caranya. Delapan pengacara tersohor di ruangan itu hanya mengangguk. Satu per satu mereka keluar ruangan. Hanya tinggal Daniel dan Stephan yang bertahan di ruangan berpenyejuk udara.

“Ada sesuatu terjadi?” Stephan bertanya menyelidik.

Daniel memasukkan laptop ke tas. Ujung-ujung bibirnya berkedut. “Masih tak sabaran seperti biasa, Steph?”

“Ayolah, Dan. Siapa yang tidak? Kamu terlihat sangat tertarik dengan gadis itu.”

“Sangat?” Satu alis Daniel terangkat tinggi. “Bagaimana kamu bisa menyimpulkan hanya dari sebuah dugaan?”

“Itu bukan dugaan. Itu kesimpulan dari pengamatanku,” Stephan tertawa kecil. Satu tangannya bertumpu ke meja, sementara tangan yang lain memainkan ponsel.

“Apa yang kamu lakukan saat kembali ke kafe tadi?”

Kali ini Stephan mendapat perhatian penuh dari Daniel. Lelaki itu menatap sahabatnya lekat-lekat. Dua ekspresi penasaran tergambar jelas di wajah Daniel dan Stephan, tapi dengan alasan yang berbeda.

“Jika kukatakan gadis di kafe tadi menciumku, apa kamu percaya?”

~~oOo~~

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel