Bab 7 Pemberontakan dari para tetua
Lyra masih terdiam, merasakan energi hangat yang mengalir di dalam tubuhnya. Napasnya sedikit memburu, sementara jantungnya berdebar kencang. Tanda suci itu masih terasa, seakan menyatu dengan setiap serat dalam dirinya.
Ares mengamati reaksi Lyra dengan tatapan penuh kepuasan. Ia mengangkat dagu Lyra dengan dua jarinya, memaksanya menatap langsung ke dalam mata emasnya yang bersinar.
"Bagaimana rasanya, Luna-ku?" suaranya rendah, dalam, dan penuh klaim.
Lyra menelan ludah. Tubuhnya terasa berbeda—lebih kuat, lebih ringan, dan yang paling mengejutkan, ia bisa merasakan kehadiran Ares lebih dalam dari sebelumnya. Seakan ada ikatan tak kasat mata yang menghubungkan pikiran dan jiwanya dengan sang Alpha.
"Aku…" Lyra menggigit bibirnya, mencoba memahami semua ini. "Aku bisa merasakanmu."
Ares tersenyum miring. "Tentu saja. Ikatan ini lebih dari sekadar tanda di dahi. Kau adalah bagian dariku sekarang."
Lyra mengerjap, mencoba mengatur napasnya. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Ares sudah menariknya lebih dekat, menekan tubuhnya erat ke dalam dekapan hangatnya.
"Kau adalah ratuku, Lyra," bisiknya di telinga gadis itu. "Dan semua yang ada di dalam dirimu… milikku."
Lyra ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia tetap memiliki dirinya sendiri. Tetapi detak jantungnya yang tidak teratur, tubuhnya yang masih lemah setelah menerima tanda, dan efek dari suara Ares yang seakan langsung meresap ke dalam dirinya membuatnya kehilangan kata-kata.
Ia kini bukan hanya seorang manusia.
Ia adalah Ratu Serigala, Luna dari Sang Raja Alpha.
Dan tidak ada jalan kembali.
Lyra masih berusaha memahami segalanya, tetapi pikirannya terlalu kacau. Energi yang mengalir dalam tubuhnya terasa berbeda—lebih kuat, lebih tajam, seakan ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Napasnya belum sepenuhnya stabil, sementara tubuhnya masih berada dalam dekapan Ares yang kokoh.
Ia menelan ludah, menatap pria di depannya dengan perasaan campur aduk. “Jadi… aku benar-benar milikmu sekarang?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Ares menatapnya dalam, lalu tersenyum kecil—senyum yang lebih seperti kepuasan seorang pemangsa yang telah mengklaim mangsanya. “Kau selalu milikku, Lyra. Aku hanya memastikan dunia mengetahuinya.”
Lyra ingin membalas, tetapi sebelum ia bisa membuka mulut, suara ketukan keras terdengar dari luar kamar.
DUG! DUG! DUG!
Ares menggeram pelan, tampak tidak senang karena gangguan itu. “Masuk.”
Pintu terbuka dengan cepat, dan seorang pria bertubuh besar dengan rambut hitam dan mata cokelat gelap masuk dengan ekspresi tegang.
“Yang Mulia,” pria itu menundukkan kepala, lalu melirik sekilas ke arah Lyra sebelum kembali menatap Ares. “Para Tetua menuntut kejelasan atas keputusanmu menjadikan seorang manusia sebagai Luna. Mereka ingin pertemuan segera diadakan di Aula Besar.”
Lyra menegang. Ia belum siap menghadapi lebih banyak perlawanan. Bahkan sekarang pun, tubuhnya masih beradaptasi dengan kekuatan baru yang diberikan tanda itu.
Ares hanya mendengus rendah, ekspresinya berubah dingin. “Mereka selalu banyak bicara.”
Pria itu menelan ludah. “Mereka juga menyebutkan tentang ancaman dari klan utara, Yang Mulia. Mereka mengatakan keputusanmu ini bisa melemahkan posisi kita.”
Lyra mengepalkan tangannya di bawah selimut. Ia tahu sejak awal bahwa keberadaannya di dunia para serigala akan memicu kontroversi, tetapi mendengar dirinya dianggap sebagai kelemahan tetap membuatnya kesal.
Ares menyeringai tipis—bukan senyum ramah, tetapi penuh dengan bahaya. “Kalau begitu, kita harus memastikan bahwa mereka tahu siapa yang berkuasa di sini.”
Ia lalu turun dari ranjang, tubuhnya yang tinggi dan berotot tampak mengintimidasi di bawah cahaya pagi. Dengan gerakan cepat, ia mengenakan jubah hitam panjangnya sebelum melirik ke arah Lyra.
“Kau ikut denganku,” katanya tegas.
Lyra menatapnya, ragu. “Aku?”
“Tentu saja.” Ares berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangannya. “Kau adalah Luna. Kau harus berdiri di sisiku.”
Lyra menatap tangan itu sejenak, lalu menarik napas dalam. Ia tahu, begitu ia menggenggam tangan Ares dan keluar dari kamar ini, tidak akan ada jalan kembali.
Namun, ia juga tahu bahwa ia bukan gadis yang suka bersembunyi di balik punggung orang lain.
Dengan mantap, ia meraih tangan Ares, membiarkan pria itu membantunya berdiri.
“Baiklah,” katanya, matanya berkilat dengan tekad. “Kalau mereka ingin tahu siapa aku, maka aku akan menunjukkannya.”
Ares menatap Lyra dengan senyum samar, matanya berkilat puas melihat keberanian yang terpancar dari gadis itu. Ia menggenggam tangan Lyra erat sebelum menuntunnya keluar dari kamar menuju Aula Besar.
Sepanjang perjalanan, para pelayan dan pengawal membungkuk hormat kepada mereka. Namun, Lyra bisa merasakan tatapan mereka yang penuh rasa ingin tahu—dan sebagian lagi memancarkan keraguan.
Langkah kaki mereka menggema di sepanjang koridor marmer yang luas, hingga akhirnya mereka tiba di depan pintu besar Aula Besar. Dua prajurit berjubah hitam segera membuka pintu, memperlihatkan ruangan luas dengan langit-langit tinggi, pilar-pilar kokoh, dan meja panjang yang dipenuhi para Tetua serta beberapa Alpha dari klan lain.
Begitu Ares dan Lyra melangkah masuk, suara-suara yang semula memenuhi ruangan langsung mereda. Semua mata tertuju pada mereka—atau lebih tepatnya, pada Lyra.
Seorang pria tua dengan janggut putih panjang berdiri dari kursinya. Matanya yang tajam menatap Lyra dengan ekspresi tidak menyukai. “Yang Mulia Ares,” suaranya berat dan penuh wibawa, “kami semua menanti penjelasanmu.”
Ares mendengus pelan, lalu berjalan dengan tenang ke singgasananya, masih menggenggam tangan Lyra. Ia menarik gadis itu ke sisinya sebelum duduk di kursi utama yang besar dan megah.
“Penjelasan?” Ares mengangkat alis, suaranya santai tetapi berbahaya. “Kurasa semuanya sudah jelas. Aku telah menjadikan Lyra sebagai Luna.”
Ruangan langsung dipenuhi bisikan tak setuju.
Seorang Alpha dari klan utara, pria bertubuh kekar dengan bekas luka di pipinya, bersedekap dan menatap Ares tajam. “Kau memilih manusia sebagai pasanganmu? Kau seharusnya tahu itu bertentangan dengan tradisi!”
Tetua berjanggut putih menambahkan dengan nada serius, “Tindakan ini bisa membawa kekacauan. Para serigala hanya mengakui pasangan yang memiliki darah serigala. Jika kau melanggar hukum ini, kau mempertaruhkan posisi kita.”
Ares tidak bergeming. Ia menatap pria tua itu dengan ekspresi dingin. “Aku Raja Alpha. Aku tidak butuh izin kalian untuk memilih pasanganku.”
“Tapi ini bukan hanya tentang pilihanmu, Yang Mulia!” Seorang Tetua lain berbicara, wajahnya memerah karena emosi. “Jika Luna-mu bukan dari darah serigala, bagaimana mungkin dia bisa memimpin dan melindungi kawanan?”
Lyra yang sejak tadi diam, mengepalkan tangannya.
Ares tersenyum tipis, lalu melirik Lyra. “Mungkin lebih baik kalian melihat sendiri betapa istimewanya Luna kalian.”
Seketika, ia berdiri dan menarik Lyra maju ke tengah ruangan.
Lyra menahan napas. Ia tahu ini adalah ujian. Jika ia tidak bisa membuktikan dirinya, maka para Tetua dan Alpha lain tidak akan pernah menerimanya.
Dengan hati berdebar, ia memejamkan mata dan mencoba merasakan kekuatan dalam dirinya. Ia mengingat bagaimana cahaya putih keemasan itu muncul sebelumnya—saat ia merasa terancam dan emosinya memuncak.
Dan kali ini, ia menginginkannya.
Ia menarik napas dalam, lalu membuka matanya.
Sekejap kemudian, tubuhnya diselimuti cahaya terang, perpaduan emas dan putih yang menyilaukan. Aura itu berdenyut kuat, memenuhi Aula Besar dengan energi yang bahkan membuat beberapa Alpha mundur selangkah.
Bisikan tak percaya memenuhi ruangan.
“Apa…?”
“Bagaimana bisa manusia memiliki kekuatan seperti itu?”
Tetua berjanggut putih membelalakkan mata. “Ini… Ini bukan kekuatan biasa.”
Ares tersenyum penuh kemenangan. “Masih ada yang meragukan Luna kalian?”
Tidak ada yang berani menjawab. Mereka semua terpaku pada Lyra—manusia yang telah menjadi pasangan Sang Raja Alpha, dan yang kini membuktikan bahwa ia bukan manusia biasa.
