Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. Wasiat Bapak

Yang diharapkan dari satu jam pelajaran sebelum pulang itu, gurunya mendadak ada keperluan terus nggak jadi mengajar.

Jadi jamkos, tinggal diisi dengan kegiatan menghibah kayak ibu-ibu rumah tangga pas lagi ngumpul sama tetangga.

Lumayan nggak berfaedah sebenarnya, tapi seenggaknya waktu nggak terbuang percuma sambil menunggu bel pulang terdengar.

Murid yang nggak suka jamkos itu bulshit. Serajin dan sesukapun dia sama pelajaran, kalo jamkos dia nggak jadi belajar juga. Niatannya buat belajar sendiri walaupun nggak diajar terhasut sama setan berambut hitam di sekitarnya. Jadinya, dia ikut-ikutan sama si setan nge game online. Atau mungkin rebahan di kursi yang sudah ditata memanjang biar kaya dipan.

Tipe murid rajin kayak begitu nggak ada di kelasku. Mungkin karena isinya cowok-cowok, yang identik sama kemalasan, jadinya nggak ada murid pintar.

Kepintaran murid di di kelasku sama rata. Tingkatan kepintarannya berada di 5.5 . Lima masuk kategori pintar, terus yang lima lagi masuk kategori nggak pintar. Jadi kesimpulannya, kami pintar tapi juga nggak pintar. Nggak ada yang namanya juara kelas terus dikasih buku sama pulpen biar semangat belajar. Dari dulu emang gitu, rapot semester kami nggak ada lembaran daftar juara kelas.

Makanya isi otak kami disamaratakan, biar adil dan semuanya bisa menjadi juara kelas menurut kepercayaan diri masing-masing.

"Na, lo tau nggak ada yang bulat tapi bukan tekad?" Wingki tiba-tiba melontarkan pertanyaan, membuatku terkejut. Ku kira sejak kepergian Bu Tuti dari kelas tadi, cowok ini sudah ngacir ke basecamp ML, buat ngapelin Laila.

"Bulat tapi bukan tekad? Sejak kapan tekad bentuknya bulat?" tanyaku balik nggak menoleh ke Wingki yang tempat duduknya tepat di belakangku.

"Lo masa nggak pernah dengar celetukan kaya gitu."

"Kalo gue bisa nebak, berani bayar berapa lo?" Aku masih asyik menyalin materi yang disuruh mencatat sama Bu Tutik. Guru bahasa Inggris itu mendadak ada keperluan jadi nggak bisa mengajar.

"Istirahat besok gue traktir pop mi dua kali,"

"Nggak jadi ah, males gue buat jawab pertanyaan nggak berfaedah lo,"

Wingki sudah banyak membantu dan berkali-kali mentraktirku. Aku nggak enak banget, apalagi aku sekarang sudah nggak kekurangan uang.

"Ayo dong Na tebak. Ntar gue kasih tau cerita apa yang berhubungan sama itu," Wingki memohon kayak anak kecil minta permen. Aku malas menoleh, karena aku yakin dia lagi pasang puppy eyes yang sama sekali nggak imut dan lebih imutan  marmut.

"Waktunya pulang kurang berapa detik Wing?" tanyaku buat mengalihkan pembicaraannya yang nggak jelas itu.

"Kurang lima belas menit, hitung sendiri tuh detiknya berapa." Wingki pergi usai menjawab dengan nada kesal. Aku cuma terkikik terus mengemasi buku-bukuku.

"Ada yang bulat tapi bukan tekad." gumamku lirih. Tadi aku nggak mau menebak pas Wingki bertanya, tapi sekarang malah pengen jawab pertanyaan yang kuucapkan sendiri.

"Anna,"

Andhika datang dan menepuk pundakku keras. Akibatnya aku nggak terima dan membalas Andhika dengan pukulan juga.

"Aw, kenceng banget Na, kayak mukulin kasur," kata Andhika sambil mengelus pundaknya. Cowok itu duduk di belakangku, di kursi Wingki yang orangnya lagi sok-sokan ngambek.

"Na," panggil Andhika. Aku menoleh karena merasakan tangannya menarik pelan ujung rambutku.

"Apaan? Lo lagi kesepian ya?" tebakku asal. Jemari Andhika nggak menjauh dari rambutku, dan malah memainkan rambut yang kukuncir.

"Lo tau nggak, ada yang berdiri tegak tapi bukan keadilan," tanyanya sambil menaikkan satu alis. Aku menyipit, menatap Andhika dengan mimik muka nggak tau apa-apa.

"Enggak," jawabku sambil mengedikkan bahu.

"Tebak dong Na,"

Aku memutar bola mata. "Males, tadi Wingki juga ngasih pertanyaan aneh ke gue. Lo coba tebak dulu, ada yang bulat tapi bukan tekad, apaan jawabannya?"

Andhika terkikik. Dia melepaskan tangannya dari rambutku dan mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik di depanku.

"Ada yang bulat tapi bukan tekad?" ulangnya yang langsung kuangguki.

"Dadanya cewek, masa lo nggak tau. Kan bentuknya bulat kalo besar. Kalo kecil sih nggak kelihatan," kata Andhika lagi kayak lagi meledekku.

"Bodo amat. Mau besar, mau kecil, mau bulat kayak tahu dadakan, gue nggak peduli. Yang penting gue hidup," jawabku sinis.

"Jangan marah juga Na, ntar rambut lo cepet putih,"

"Terus jawaban dari pertanyaan lo tadi apa?" tanyaku.

"Semua cowok faham kalo soal itu Na, tanyain aja ke mereka. Apalagi kalo umurnya dewasa, bah faham banget."

"Lo cowok kan? Coba jawab dong," tudingku. Aku nggak mau nanti bakal kepo kalo pertanyaan absurd itu nggak dijawab.

"Males, gue pergi dulu Anna Frozen, ada panggilan ketua kelas."

Andhika berlalu. Aku jadi nggak percaya sama alasannya buat pergi. Biasanya kalo ada panggilan ketua kelas bakal diumumkan lewat speaker, tapi ini nggak ada suara apa-apa.

Sudah waktunya pulang tapi nggak ada bel berbunyi. Mati lampu, tapi AC kelas menyala. Kelas lain sudah bubar artinya emang sudah waktunya pulang.

Wingki sudah pulang duluan nggak menyapaku dulu. Andhika juga mendadak nggak ada, Ratih dan Kenya juga nggak kelihatan batang hidungnya.

Sudah pulang semuanya tanpa menyapaku. Padahal biasanya mereka akan mengucap salam perpisahan.

"Eh Jo, ngapain lo tutup pintunya, gue kan mau lewat juga," kataku ke Jojo yang lagi menutup pintu dari luar.

"Udah, ntar lo buka sendiri aja. Kan lo lagi nyapu tuh, ntar anginnya masuk dan debunya menyebar lagi,"

Teman kelasku itu berlalu. Sudahlah, benar juga perkataannya.

Besok jadwalku piket kelas, tapi aku memilih menyapu sekarang, dan besok tinggal ongkang-ongkang.

Biasanya kalo nyapu pas pagi itu tergesa-gesa karena mepet sama bel masuk. Apalagi teman piketku cowok-cowok pemuja ML yang jarang banget datang pagi.

Kalo piket pun, nyapunya nggak bersih. Tau kan gimana cowok nyapu. Cuma dorongin sapu dari belakang ke depan kelas, habis itu selesai. Apakabar sama debu dan sampah yang dibawah meja kursi?

"Hbd Anna." Jelas aku kaget sama teriakan kencang yang menyambutku pas aku membuka pintu kelas.

Nggak cuma teriakan doang, satu kilogram tepung terigu diguyur di atas kepalaku. Aku langsung memejamkan mata nggak mau kelilipan tepung.

"Ayo Wing, bawa turun,"

Itu suara Ratih menyuruh Wingki nggak tau untuk ngapain.

"Dasar lo teman dodol, mata gue perih," keluhku sambil mengucek mata, dan aku merasakan tubuhku di bopong empat tangan orang.

"Diam Na, kita ada surprise buat lo,"

Aku bisa melirik dari cela mataku yang berusaha kubuka, dan benar aku lagi di bopong sama Wingki dan Andhika.

Sementara di sepanjang koridor banyak banget murid yang menyaksikan aku yang berlumuran tepung terigu tinggal digoreng.

"Gue emang ulang tahun tapi nggak usah diginiin juga kali." keluhku sambil mengibaskan tepung yang menempel di seragamku. "Tinggal goreng jadi gorengan gue. A..."

Byur.

Aku nggak siap sama posisiku pas dua cowok ini nyemplungin aku ke kolam. Aku kaget dan kulitku langsung dingin pas merasakan air kolam merendam tubuhku.

"Hbd Anna." ucap teman-temanku serempak.

"Sumpah ya, gue nggak maafin kalian,"

sungutku kesal ke mereka yang malah meninggalkan aku terendam di kolam welcome.

Kolamnya terletak di depan dinding bertuliskan welcome, jadi murid-murid sini menyebutnya kolam welcome.

"Ya ampun, apes banget ulang tahun tapi nelangsa," keluhku ke diri sendiri sambil berusaha berdiri.

Aku jijik kalo terus-terusan berkubang di kolam antik ini. Kolamnya antik banget sampai airnya berwarna hijau lumut. Ekosistem di dalamnya juga lumayan lengkap. Ada teratai, lumut-lumutan, dan ikan-ikanan kayak lele, cebong, katak dan jentik nyamuk.

Nyemplung ke kolam itu kayak udah tradisi murid sini buat mereka yang ulang tahun. Jadi legend banget ini kolam jadi saksi murid-murid yang ulang tahun.

"Lo Anna?"

Tiba-tiba ada cowok datang berdiri di depanku, mengamati tubuhku yang kotor banget kayak habis berendam di lumpur hidup.

"Iya, gue Anna." kataku sambil mengusap wajahku yang bedakan tepung terigu. Buat meyakinkan kalo aku ini beneran Anna. Badanku lengket banget, dan gatal. Kayaknya kena gigitan jentik nyamuk.

"Ya ampun, habis ngapain lo,"

Aku baru ingat kalo cowok ini adalah Johan.

"Habis main lumpur, minggir-minggir. Gue mau mandi," kataku sambil berlalu. Tapi berhenti lagi karena Johan mencekal lengan tanganku. Membuatku menoleh menatap wajahnya yang ganteng.

"Yakin mau mandi di sekolah? Krannya kadang hidup kadang mati lho, nggak ada sabun lagi. Lo juga mau ganti baju pake apa?"

Ucapan Johan emang benar sih. Tapi nggak mungkin dong aku pulang dalam keadaan begini.

"Mandi di kos gue aja," tawar Johan yang langsung membuatku melototkan mata.

"Ogah. Lo kira gue bodoh mau lo kibulin. Lo pasti mau ngintipin gue mandi kan?" tuduhku sewot.

"Ya ampun, fikiran lo kotor banget. Gue satu kos sama Andhika. Lo bisa mandi di kamar mandi kamar dia, kalo lo takut gue ngintip. Gue cuma nawarin, yaudah kalo nggak mau," Johan bersiap mau pergi, dan aku menarik ujung seragamnya yang nggak dimasukkan ke dalam celana.

"Gue ikut,"

***

"Mbok Iyem." Aku kaget melihat Mbok Iyem ada di ruang tamu rumah.

Rumah juga sepi nggak ada tanda-tanda kalo Om David disini.

"Anna." Mbok Iyem langsung menyambutku dengan pelukan. Aku membalas pelukan dengan erat. Rasanya ada seruang kerinduan yang langsung kosong. Melepaskan semua rasa rinduku saat aku bertemu sama Mbok Iyem.

"Maafiin aku ya Mbok, belum sempat pulang," Usai melepas rindu kami duduk berhadapan di sofa panjang. Biar enak ngobrolnya.

"Ngomong apa kamu, rumahmu itu ya ini." tukas Mbok Iyem membenarkan omonganku.

"Mbok sehat kan?" tanyaku. Mbok Iyem masih terlihat sama kayak yang terakhir waktu aku lihat sebelum pindah ke sini.

"Baik, kamu tambah cantik aja Na," Puji Mbok Iyem yang langsung membuatku melayang.

"Aku pengen pulang Mbok," kataku berubah sendu. Harusnya aku pulang menjenguk makam bapakku. Membersihkan atas makamnya yang pasti sekarang sudah ditumbuhi rumput.

"Kamu ngapain sih, sudah enak-enak disini mau pulang. Rumahnya besar dan bagus ya Na," Mata Mbok Iyem berkeliling. Bibirnya menganga, kayak lagi beneran kagum sama rumah ini.

"Aku kangen Bapak." Bayangan wajah bapak mendadak hadir, seiring hatiku yang berdesir rindu.

"Bapakmu juga kangen sama kamu. Makanya kamu jangan berhenti berdoa buat bapakmu disana," Mbok Iyem menasehatiku sambil menelusupkan rambut yang menutupi wajahku ke balik telinga. Rambutku basah, jadi kubiarkan terurai.

"Aku nggak pernah lupa buat selalu doain Bapak," kataku sambil tersenyum. Aku berusaha kuat. Bapak disana pasti sedih kalo melihat aku selalu menangisinya disini. Bapak belum kubahagiakan di masa hidupnya, tapi seenggaknya aku bisa membuat bapakku bahagia di kehidupan abadinya disana.

"Na, maksud kedatangan Mbok kesini ada yang mau Mbok bicarakan,"

"Apa?" tanyaku.

"Sebelumnya maafin Mbok ya Na,"

Aku nggak tau kenapa Mbok Iyem tiba-tiba minta maaf. "Minta maaf buat apa?" tanyaku bingung.

"Sebenarnya bapakmu waktu itu nggak langsung meninggal di tempat. Dia sempat di bawa ke rumah sakit. Tapi bapakmu melarang Mbok buat hubungin kamu. Bapakmu nggak mau kamu melihat saat-saat terakhir bapakmu."

Aku menatap Mbok Iyem dengan sorot mata nggak percaya. Tapi Mbok Iyem nggak mungkin bohong. Lalu hatiku mencelos memahami kenyataan yang ada.

"Bapak masih sempat bicara?" tanyaku.

Mbok Iyem mengangguk.

"Kenapa Mbok Iyem nggak hubungin aku, dan lebih menuruti kemauan bapak? Kenapa Mbok Iyem nggak mikirin gimana perasaanku yang cuma bisa lihat bapak sudah nggak bernyawa,"

Bibirku bergetar. Kesedihanku sebentar lagi bakalan tumpah lewat tetesan air mata. Dan benar saja mataku berkaca.

"Mbok nggak bisa bantah perintah bapakmu yang sedang dalam kondisi kayak gitu."

Mata Mbok Iyem ikut berkaca. Air mataku berhasil jatuh, mataku mengerjap dan dari pandanganku yang nggak fokus karena linangan air mata, aku bisa melihat Mbok Iyem menghapus air matanya yang masih bergenang. Nggak mau membiarkan air mata itu mengalir di pipi tuanya.

"Itu sudah takdir yang nggak bisa kamu elak Na,"

Benar. Kematian adalah takdir Tuhan yang nggak bisa dipungkiri. Nggak bisa ditawar karena kematian bukan dagangan pasar. Kematian adalah musibah kecil yang Tuhan beri buat memperingatkan manusia bahwa mati itu benar terjadi.

"Bapakmu berwasiat ke Mbok."

Aku mengusap air mata. Menatap Mbok Iyem yang sorot matanya berkelana. Lalu dia membalas tatapanku.

"Bapakmu mau kamu menikah."

Suara itu terdengar kayak petir yang menyambar pas lagi hujan. Tapi petir itu ada disini dan lagi menyambar hatiku. Telingaku nggak mungkin salah, dan hatiku langsung bergetar.

"Menikah?" ulangku. Aku nggak yakin seratus persen sama kenyataan ini. Aku emang lagi ulangtahun, tapi ini kejutan yang sama sekali nggak masuk akal. Aku nggak lagi di prank kan?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel