Pustaka
Bahasa Indonesia

Aku Masih Bocil, Om

142.0K · Tamat
ratu_rebahan
62
Bab
17.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aku mengira, kalo ini hanya mimpi. Atau kalo enggak, ini hanya prank sebagai kejutan ulang tahunku yang ke delapan belas. Tapi ternyata, ini realita pahit yang harus kuterima. Aku terpaksa menerima pernikahan ini, dengan seorang laki-laki berumur yang sama sekali belum kukenal sebelumnya. "Kamu bisa masak?" tanyanya. "Bisa." "Saya jarang masak disini. Jadi kamu bisa masak kalo lapar, atau kamu bisa delivery. Ini kartu kredit dan ATM buat kamu," Aku menoleh, melihat David meletakkan dua kartu itu di atas meja rias. "Aku nggak butuh kartunya deh," kataku sambil bangkit. David mengernyit. "Kasih duit aja. Keperluanku nggak seberapa. Susah juga kalo pake itu buat beli pentol, abangnya bingung mau gesek kemana," "Kamu bisa ambil pake ATM, berapapun kamu mau, kapan pun. Zaman sekarang tuh udah mudah, nggak perlu lagi bawa duit kemana-mana," "Kamu janji mau ngurusin aku kan?" tanyaku. "Itu emang janji saya," "Kalo gitu jangan nyusahin aku. Tinggal kasih aku duit nyata, apa susahnya sih," dengusku. Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan yang nggak kuinginkan ini? Bahagia, atau aku hanya sengsara. Apalagi, seorang laki-laki bernama Dinar datang dan dengan bangga mengatakan kalo dirinya sanggup menungguku sampai aku menjanda.

Kawin KontrakTeenfictionSweetPernikahanAnak Kecil

1. Coklat Misterius

"Anna."

Aku menoleh dengan malas, melihat siapa sih yang manggil dengan ngegas itu. Heran juga, kenapa suara itu bisa menelusup ke telinga yang kusumpal headset dengan volume full.

Andhika menghampiri mejaku yang tepat berada di depan meja guru. "Ada hadiah buat lo", katanya sambil meletakkan kotak persegi panjang yang terbungkus kado bercorak hati di atas bukuku.

"Dari siapa?" tanyaku tanpa mengalihkan mataku dari buku.

"Nggak tau, secret admirrer lo mungkin," jawab Andhika. Cowok yang menjabat sebagai ketua kelas itu menyenderkan tubuhnya di meja guru.

"Jangan didudukin, kualat lo. Ilmu lo nggak berkah." semburku saat tau Andhika menaikkan pantatnya mencoba duduk di meja itu.

"Tolong bukain dong." pintaku.

Dengan senang hati, Andhika langsung membuka kotak itu dengan tergesa. Lalu matanya berbinar cerah mendapati tiga batang coklat Silverqueen.

"Coklat Na."

"Buat lo aja." kataku dengan masih menarikan pulpenku di atas kertas.

Sontak temanku yang lain berhamburan mengerubungi Andhika, mau dapat jatah coklat juga. Aku cuma geleng-geleng kepala.

Aku nggak suka coklat, makanya ku kasih saja sama yang suka coklat. Disisi lain, yang ngasih kado itu juga nggak jelas. Nggak ada namanya dari siapa, dan yang lebih nggak jelas lagi, nggak ada namaku yang katanya jadi penerima. Jadi kadang, aku nggak percaya sih kalo itu kado buat aku.

Kado itu nggak sekali dua kali dibawa Andhika lalu dikasih ke aku. Andhika dapatnya dari satpam sekolah, dan satpam pun nggak tau siapa pengirim kado itu. Dugaanku sih, si Pak Satpam cuma pura-pura nggak tau aja, biar sosok misterius pengirim kado nggak terbongkar identitasnya.

Kalo aku sih, diterima aja lha wong dikasih. Katanya nggak baik nolak pemberian orang. Apalagi isinya yang bisa dimakan, sayang deh kalo dibuang.

"Makasih Anna." ucap Doni, temanku yang juga mendapat jatah coklat.

"Yoi." jawabku pendek sembari terus menyalin materi dari handphone ke buku.

Kalo boleh jujur, aku bakal milih ikut temanku yang lain tiduran di belakang kelas. Menggelar tikar, menjadikan tas sebagai bantal, lalu alunan lagu jawa yang terdengar, anggap saja sebagai lagu penghantar rebahan. Kegiatan yang sangat berfaedah yang menjadi kebiasaan saat hari sudah siang, dimana matahari lagi terik-teriknya, dan AC nggak bisa mendinginkan udara.

Atau kalo enggak, ikutan nobar film horor sama segerombolan cowok di pojok kelas. Mantengin dua kubu pemuja ML dan PUBG juga bisa, atau mempercantik diri dengan touch up kayak yang dua temanku cewek lakukan.

Di siang yang lagi puncaknya gerah melanda, ditambah lagi cacing perut yang meronta minta diisi makanan, bukannya dijejali tugas seambrek yang dikejar deadline.

Aku emang nggak bisa cuekin tugas kayak temanku yang lain. Rasanya mengganjal kalo hura-hura tapi masih punya tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Seenggaknya kerjain dulu, walaupun nggak sampai selesai karena lebih dulu dilanda rasa malas, lelah dan putus asa.

"Na, Anna."

Tarikan kecil di rambutku membuatku terpaksa menolehkan kepala ke belakang.

"Ada apa?" tanyaku dengan nada malas.

Wingki meringis, lalu cowok ini menggeliat, mengusir segala kepenatan yang melanda dirinya. Sebenarnya aku juga. Sudah lelah, malas dan putus asa buat melanjutkan nulis materi yang nggak kunjung usai.

"Kantin yuk. Gue traktir pop mi." tawarnya. Lalu dalam hati aku berkata, "Rejeki anak sholeh."

Wingki itu anak orang kaya. Tapi, dia nggak sombong, bahkan dia dermawan. Selalu ada disaat aku lagi nggak punya uang. Dengan rela bayarin foto copy soal-soal milikku pas aku gak bawa uang saku. Aku menganggap itu sebagai hutang, yang pasti akan kubayar. Tapi Wingki selalu nggak mau nerima uang pemberianku.

"Gue maunya mi sedap jinja pedas."

Membayangkan kalo di suhu yang panas ini, makan mie pedas pasti bisa menghilang mumet di kepala.

Wingki membereskan buku-bukunya dan memasukkan ke dalam tas yang digantung di belakang kursi.

"Capcuss." ujarnya sambil bangkit.

"Mau kemana lo berdua?" Andhika menghadang kami berdua tepat berada di depan pintu. Dengan mulut mengunyah coklat, kedua alis cowok itu naik menunggu jawaban.

"Gimana coklatnya, enak?" tanyaku. Andhika manggut-manggut. "Izinlah ke kantin, laper. Lo gak mau kan kalo gue pingsan disini?"

Si ketua kelas merenung, lalu merentangkan kedua tangannya. "Gue siap bopong lo ala bridal style ke UKS." katanya penuh percaya diri.

"Bentar, nggak nyampe lima menit,"

Aku langsung menarik tangan Wingki, mengajaknya bergegas ke kantin, dan nggak memperdulikan Andhika.

Dulu, aku nggak pernah sekalipun memikirkan kalo aku bakal sekolah di SMK Negeri favorit di kotaku. Masuk jurusan TKR dengan modal nekat dan yakin, itupun enggak dari keinginanku.

Aku cuma iseng mencoba, apa nilai ujian Nasional SMP ku berharga di jurusan itu. Enggak berharap banyak juga, mengingat kalo aku lulusan SMP swasta dan bisa masuk ke SMK Negeri.

Pertama masuk kelas aku lumayan syok, mendapati murid satu kelas berkelamin laki-laki. Tapi ke terkejutanku mereda pas datang dua cewek yang ternyata satu kelas juga denganku. Seenggaknya aku nggak cewek sendirian di kelas.

Berteman dengan para cowok ternyata nggak seseram kelihatannya. Cukup asyik, dan nggak banyak drama. Nggak ada iri-irian kalo misalnya teman yang lain punya barang baru, nggak nyinyir-nyinyir an kalo lagi rebutan pacar, tapi langsung tinju-tinjuan.

"Eh Na, lewat kelas boga ya?"

Wingki itu cowok paling tinggi di kelas, jadi untuk melihat dia aku harus mendongak.

"Ngapain sih, kan muter-muter jadinya," Kataku nggak setuju.

Kantin berada di gedung sebelah kiri kelasku, tinggal jalan ke kiri, lalu menuruni tangga sudah sampai. Tapi Wingki malah mengajak muter, melewati lapangan, di siang yang panas begini.

"Mau caper ke ciwi boga lo ya?" Ledekku.

Wingki tersenyum malu-malu. Aku nggak tau sih, bisa jadi Wingki punya pacar anak boga. Jurusan boga itu mayoritas muridnya cewek. Satu-satunya jurusan cewek yang ada di sekolah ini.

Sering juga anak teknik kalo nggak lagi praktek, pasti nongkrong di kantin boga. Sering juga, kalo pas lagi praktek, anak boga memasarkan hasil masakannya ke anak mesin. Sekalian caper lah, pumpung masih sekolah. Katanya masa SMA masa yang paling indah.

"Cari mie di kantin boga aja."

Wingki menghentikan langkahnya tepat di anak tangga.

"Kenapa? Cem-ceman lo lagi magang disana?" Ledekku lagi.

Wingki itu mantan anggota klub basket. Keluarnya dia dari klub basket sangat disayangkan oleh para anggota yang lain, bahkan juga guru pembimbing. Dia kan tinggi, sekali loncatan pasti tangannya menggapai ring, tapi sayang dia memilih keluar karena katanya terlalu banyak latihan, dan banyak menyita waktu luangnya. Emang sih, klub basket disini kan yang paling diandalkan, karena beberapa tahun terakhir berhasil menggondol banyak piala kemenangan.

Cowok-cowok klub basket juga yang paling banyak punya penggemar dari cewek jurusan boga. Ngerti kan, gimana pesona cowok basket pas lagi drible bola?

"Lo yakin disitu aman? Deket ruang BK lho," Wingki menatapku, tampak menimang ucapanku. Aku melihat keringat mengalir di pelipis cowok tinggi itu. Efek cuaca panas memunculkan keringat membasahi juga sebagian rambutnya.

"Aman pasti, sumpah ya panas banget." Katanya sambil mengusap keringat di keningnya. Aku ingat kalo di saku seragamku ada tisu bersih.

"Nih, cukup prihatin gue sama lo," Wingki meringis, lalu mengambil tisu yang kuulurkan.

"Sekalian diusapin juga boleh lo Na," Katanya menggodaku. Aku tak acuh, memutar bola mata, lalu meneruskan langkah.

"Jangan baper Na, gue cuma bercanda."

"Sae lo, lo kira gue Ratih, gampang baperan,"

Balasku menyebutkan nama teman satu kelas kami. Cewek anggun yang gampang baper, berkali-kali dibaperin doang tapi nggak jadian. Kan kasihan.

***

"Mbok... Bapak sudah pulang?" teriakku yang kutujukan buat wanita paruh baya yang tinggal di rumah depan rumahku.

Pintu rumah itu terbuka, tapi nggak ada tanda kehidupan di sana.

"Mbok..." teriakku lagi.

"Udah pulang....ke ladang mungkin," Sahutan itu terdengar, tapi tetap saja nggak tampak orang.

Aku memarkirkan sepedaku di teras. Melepas sepatu, lalu merebahkan tubuhku di lantai teras. Dinginnya lantai langsung tembus sampai ke tulang punggung, dan ini nyaman banget.

Istirahat dulu sebentar, sambil menghilangkan keringat. Sebelum nanti aku memasak makan malam. Bapak pasti sudah makan siang sama makanan yang kumasak tadi pagi sebelum berangkat sekolah.

Aku hidup berdua sama bapak. Dulu kata Bapak, aku punya dua kakak laki-laki, tapi sayang mereka harus dipanggil Tuhan duluan bersama ibu. Kapal yang mereka tumpangi saat akan menyusul kami disini tenggelam, merengut semua nyawa penumpang.

Waktu itu umurku masih dua tahun, dan sekarang aku sudah lupa gimana wajah ibuku. Pernah melihat dari foto yang bapak tunjukkan, ibuku cantik. Kedua kakak laki-lakiku juga tampan. Tapi sekarang, foto itu sudah hilang. Terbawa arus banjir yang dulu pernah melanda desa kami.

"Udah pulang Nduk?"

Aku bangkit buat melihat sosok yang bersuara itu. Bapak menurunkan rerambanan (daun dan rumput buat makan kambing), di teras samping.

"Udah Pak, Bapak udah makan siang?" tanyaku.

"Udah."

Aku berdiri membantu Bapak melepaskan ikatan di reramban. "Anna buatkan kopi ya Pak," ujarku lalu bergegas ke dapur.

Bapak bukan asli sini, ibu juga. Mereka asli Sumatra, lalu mencoba merantau di Jawa. Jadi, kami sebenarnya disini orang rantau. Tapi, bapak mengubah kependudukan menjadi warga sini, karena gak mungkin buat kembali ke tanah asalnya. Aku lahir juga di Sumatra, dan tempat lahirku di akta dipalsukan menjadi Kota Trenggalek.

Disini kami hidup tanpa sanak saudara. Saudara bapak entah dimana rimbanya, sementara orang tua bapak, kakek nenekku, sudah tiada. Orang tua ibuku juga nggak ada kabarnya, tepat setelah kepergian ibu.

Kami benar-benar sendirian disini. Tapi untungnya kami punya tetangga depan rumah yang baik hati. Mbok Iyem. Wanita paruh baya itu selalu membantu kami saat kami membutuhkan pertolongan. Dia tinggal sama suaminya di rumah, sementara anaknya sudah berumah tangga, dan tinggal di luar kota.

Kadang, jika anaknya pulang mengunjunginya, dia akan memberi kami oleh-oleh yang dibawa anaknya. Menyuruh kami untuk makan bersama di rumahnya.

"Nih Pak kopinya," Aku meletakkan segelas kopi hitam yang masih mengepul di sebelah bapak duduk. Malaikat tanpa sayap kedua setelah ibuku ini tampak sangat kelelahan. Keringat mengucur di pelipisnya, apalagi sekarang cuaca lagi panas banget, aku yakin tambah sumpek di badan.

"Gimana sekolahnya?" tanya bapak sambil meniup kopinya.

Aku tersenyum lalu menjawab, "Aman dong kayak biasa."

Bapak dengan sabar merawatku, mendidikku sampai umurku akan menginjak delapan belas tahun. Umur bapak udah nggak muda lagi, tapi jangan ragukan kekuatannya. Walaupun fisiknya terlihat lemah, bapak masih kuat memikul satu karung besar jagung gelondongan dari pucuk gunung, dibawanya ke kaki gunung.

Profesi bapak sama kayak orang di desa. Petani. Bapak punya lahan di gunung, punya ladang di kaki gunung, juga punya sepetak sawah yang ada di pinggir jalan raya. Bapak juga memelihara kambing yang kandangnya ada di belakang rumah.

"Jagungnya belum panen Pak?" tanyaku. Beberapa bulan yang lalu aku ikut bapak menanam jagung di sawah. Sering juga kutengok dan waktu lalu bapak membawa jagung muda buat kujadikan perkedel jagung.

"Bentar lagi, minggu depan kayaknya udah kering,"

"Anna ikutan ya Pak?"

"Boleh, nanti kamu yang angkutin."

Rumahku ada di desa pinggiran kota. Jalanannya sedikit menanjak, karena desaku nggak jauh dari kaki gunung. Gunung itu yang menjadi lahan pengais rezeki warga disini.

Sering juga aku ikut naik bersama bapak saat sekolahku libur. Definisi hiking yang sebenarnya. Aku bisa naik, tapi takut turun. Kalo udah gitu bapak bakalan nyuruh aku merosot. Benar sih bisa sampai bawah, tapi pantatku yang bergesekan sama tanah kering dan kerikil terasa panas.

Bapak nggak mau menikah. Padahal umur bapak waktu ditinggal Ibu masih belum tua. Bapak pasti masih segar bugar. Alasannya mungkin bapak nggak bisa move on dari ibu. Aku juga nggak pernah membicarakan ini sama bapak. Padahal kalo jujur, aku juga ingin merasakan kasih sayang seorang ibu. Tapi katanya, kasih sayang ibu tiri beda lagi rasanya.

"Anna..." Teriakan dari rumah depan disusul dengan Mbok Iyem yang muncul mengagetkanku. "Nggak usah masak, Mbok masak banyak," Katanya lagi.

Tanpa memakai sandal, aku berlari menghampiri Mbok Iyem yang membawa dua baskom di tangannya.

"Tumben Mbok, Mbak Yati mau kesini ya?" tanyaku sambil mengambil baskom.

"Iya, nanti malam ke sini aja."

Aku mengangguk mengiyakan tawarannya, lalu kembali ke rumah dengan hati senang.