Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Dia Baik

"Aww sakit banget," Aku meringis saat kakiku yang terkilir disentuh sama cowok anggota PA.

"Tahan lah Mbak, ntar juga sembuh," kata cowok ini yang aku enggak tau namanya. "Jangan takut, percaya sama aku. Bapakku itu tukang pijet,"

Aku tetap meringis saat sentuhan tangannya menekan pergelangan kakiku.

"Udah deh, nggak usah dipijitin." kataku akhirnya sambil melepaskan tangannya dari kakiku.

Sakit banget. Lebih baik nggak usah diapa-apain. Lagian cowok ini kayaknya asal mijit, kan yang tukang pijat itu bapaknya, bukan dia.

Mas Dinar datang membawa minyak. Dia lalu bertukar posisi dengan cowok ini.

"Mbak nya nggak mau dipijatin Pak," lapornya ke Mas Dinar. Mas Dinar nggak menghiraukan dan malah mengoleskan minyak ke kakiku.

"Aw." teriakku kesakitan.

"Kan udah saya bilangin Pak, Mbak nya kesakitan kalo dipijat," celoteh cowok itu yang kini sudah duduk di kursi yang lain.

Aku sudah pulang dari kemping, dan lagi kesakitan di atas kursi lobi. Ruangan sekolah nggak ada yang buka kalo libur gini, jadinya aku disuruh istirahat disini.

"Sakit banget?" tanya Mas Dinar.

"Iya, kalo nggak sakit, saya nggak teriak," jawabku ketus.

Wingki dkk sudah pulang duluan karena orang tua mereka sudah menjemput. Tega banget meninggalkan aku yang lagi kesakitan. Tapi aku juga maklum sih kalo mereka pulang duluan. Rasanya badan capek banget, jadi secepatnya mereka butuh istirahat.

"Saya anterin pulang ya." kata Mas Dinar usai dia berbincang sama cowok tadi. Lalu cowok itu pergi.

Aku mau cepat pulang. Tapi rasanya nggak enak kalo yang mengantar aku Mas Dinar.

"Anna."

Sebuah suara muncul bersamaan dengan sosoknya yang langsung hadir diantara kami. Om David datang, padahal aku nggak menyuruh dia buat menjemput.

Laki-laki itu melirik Mas Dinar dan mimik mukanya langsung berubah masam. Aku nggak tau ada apa, tapi intinya muka masamnya nggak enak banget.

Om David nggak sopan banget ketemu orang asing langsung pasang muka begitu. Harusnya dia saling sapa ke Mas Dinar yang kini lagi melempar senyum.

"Ayo pulang," kata dia ke aku, lalu berbalik berlalu.

Aku berdiri dibantu Mas Dinar. "Aku susah buat jalan Om," kataku ke Om David yang sudah sampai di ambang pintu gerbang.

Melihat aku lagi berdiri dipegangi Mas Dinar, Om David bergegas kembali menghampiriku. Sorot matanya tajam dia lemparkan ke Mas Dinar.

Kenapa sih, kan Mas Dinar nggak salah apa-apa. Ditatap kayak gitu, Mas Dinar langsung melepaskan tanganku.

"Ayo pulang," ucap Om David sambil membopong tubuhku. Aku takut kalo jatuh dan refleks mengalungkan tanganku ke lehernya.

Digendong om-om kayak berasa jadi anak yang lagi digendong sama bapaknya. Tangan Om David kekar banget. Otot ungunya keluar pas lagi begini. Serasa aku ini barbel jadinya.

Aku semakin erat mengalungkan tanganku dan tambah merapatkan tubuhku di dadanya. Keras banget.

Tangannya yang satu lagi membuka pintu mobil, jadi aku bergelantungan di tubuhnya, takut jatuh.

Om David segera melajukan mobilnya setelah kami berdua duduk di kursi, nggak menghiraukan aku yang lagi bye-bye ke Mas Dinar yang mengantarku sampai ke depan pintu lobi.

"Mobil baru?" tanyaku melirik ke Om David yang lagi nyetir. Mukanya masih masam, sumpah nggak enak banget.

Mobil miliknya sudah berganti bukan mobil yang kemarin. Yang ini warnanya merah, catnya kinclong banget. Tapi kursinya nggak ada plastiknya, kayak bukan mobil baru.

"Asem banget kayak mangga muda," sindirku sambil menyerongkan badanku ke pintu.

Mendadak mobil di rem kencang banget. Sampai aku kaget dan kepalaku hampir saja menyentuh dasbor.

"Kalo naik mobil tuh, sabuk dipake," kata Om David nggak juga melihatku. Dan mobil kembali melaju.

Aku buru-buru memasang sabuk pengaman. Aku kan nggak biasa naik mobil, jadi nggak terbiasa juga pakai sabuk pengaman.

Aku gerak-gerak terus. Menggerakkan kakiku karena posisinya sakit banget kalo ditekuk begini. Pengennya diselenjorin.

Aku menaikkan kakiku, mengubah arah badanku ke arah Om David, menyandarkan punggungku ke pintu, dan menselonjorkan kakiku di atas kursiku melewati sekat antara kursi kemudi dan kursi penumpang yang aku duduki. Kakiku menjulur sampai menumpang di atas paha Om David.

"Enak banget," kataku lega.

Om David melototkan mata melihat kedua kakiku di atas pahanya.

"Nggak sopan banget," katanya sambil menepuk betisku kencang. Aku meringis, perih banget. Rasanya sampai ke tulang.

Celana kargo yang ku pake nggak panjang, cuma sebatas lutut, jadi nggak menutupi betisku yang barusan dilukai dengan nggak tau diri.

"Om nggak punya perasaan banget sama bocah," ucapku. Aku juga nggak memindahkan kakiku.

Om David menoleh, melihatku yang juga lagi melihatnya. Aku mencebikkan bibir.

"Ngaku bocah tapi udah bisa bikin bocah," katanya lirih hampir nggak terdengar.

"Aku dengar lo, Om bilang apa,"

"Terserah," jawabnya pendek.

"Namanya cewek kalo udah puber, udah men, rahimnya bakal pembuahan kalo dibuahi. Jadi bocah deh. Nggak usah nyalahin cewek juga tapi. Kalo si cowok nggak nyemprotin sperma, nggak bakalan juga jadi bocah," kataku panjang lebar dengan ngegas.

Aku sama bar-bar nya kayak teman-temanku. Kalo sudah kepancing ya begini, ngegas ceplas-ceplos. Nggak milah kata dulu, dan nggak milah juga kalo ngomong sama siapa.

Om David malah melosokan tawa. Aku baru kali ini melihat dia tertawa, seringan dan selepas itu. Muka masamnya juga sudah nggak kelihatan.

"Pinter banget. Udah pernah nyoba?" Om David malah meledek.

"Belum, aku bisa bilang gitu, kan ada di materi biologi bab reproduksi,"

"Mau nyobain, sama saya?" Ledekan Om David semakin menjadi. Lebih baik aku diam, bahaya. Bahaya kalo ke bar-bar an ku lebih jauh keluar mengabsen nama-nama alat reproduksi manusia.

"Na, btw lo sekarang tinggal sama siapa?" tanya Ratih ke aku yang lagi mengaduk pop mie. Wingki beli pop mi banyak banget, padahal kami kemping cuma satu malam.

"Sama Om gue,"

"Bukannya lo sudah nggak punya siapa-siapa ya disini?" tanya Kenya dengan hati-hati, takut menyinggungku.

"Ada orang yang mau mengurusi dan membiayai hidup gue. Jadi sekarang gue tinggal sama dia di rumahnya," terangku.

"Sama orang yang lo sebut Om tadi? Dia om-om? Udah tua? Udah nikah?" Berondong Ratih yang membuat aku bingung mau menjawab yang mana dulu.

"Emmm," Aku merenung, dan bayangan wajah Om David hadir di kepalaku.

"Belum tua juga sih, mungkin tiga puluhan, dan belum nikah,"

Kalo sudah nikah dia nggak perlu merekrut aku sebagai istri bohongannya.

"Omegat, tiga puluhan terus lajang?" Kenya histeris.

"Lo nggak takut diapa-apain sama dia? Kalian cuma berdua kan di rumah?" tanya Kenya lagi, sementara Ratih menyimak karena mulutnya sibuk mengunyah mie.

"Enggak. Gue biasa aja. Gue juga udah nganggap dia om kandung gue,"

Sejauh ini aku hidup nyaman-nyaman saja di rumah. Aku juga nggak berfikiran hal yang buruk. Om David orangnya baik sebenarnya. Jelas baik karena mau mengurus aku dan membiayai keperluanku.

"Terus rumah dan lain-lain yang lo punya dulu, dikemanain?" Kenya bertanya lagi. Dia kepo banget, dan pengen tau kehidupanku setelah bapak nggak ada.

"Dijual,"

"Terus uangnya, lo apain?"

Mobil berhenti di parkiran depan kafe. Om David turun, sementara aku tetap diam di mobil. Nggak pengen ikut, karena aku nggak bisa jalan. Lagian, aku nggak mau jalan berdua sama om-om.

Kursi kemudi kosong, kesempatanku buat merebahkan diri. Mengamati langit-langit mobil, aku memikirkan kembali pembicaraanku bersama Ratih dan Kenya tadi malam saat makan malam di tempat kemping.

Uang hasil penjualan rumah, aku nggak tau ada dimana. Seharusnya ada di Om David karena dia yang menawarkan diri buat mengurus tetek bengek penjualan itu.

Aku bisa memintanya dari dia, karena semua uang itu milikku. Aku bisa menggunakan uang itu buat keperluanku selama sekolah. Aku bisa nge kos, menyelesaikan sekolahku dengan uang itu, bahkan kalo mau aku bisa kuliah dengan uang itu. Aku bisa hidup tanpa bantuan Om David dengan uangku.

Dengan begitu aku bebas karena nggak bergantung sama dia. Lebih aman, dan mengantisipasi kalo suatu hari bakal ada apa-apa.

Aku langsung bangkit saat Om David masuk mobil. Ku kira dia menyuruhku memindahkan kakinya, tapi dia diam saja. Tangannya mengangkat kakiku pelan dan meletakkannya lagi di pahanya setelah dia duduk.

"Om," panggilku saat mobil kembali melaju. Om David nggak menoleh tapi cuma melirikku dengan sudut matanya.

"Aku mau pindah rumah. Mau ngekos, Om nggak perlu lagi ngurusin dan ngasih aku uang," Aku mantap buat membicarakan ini sekarang.

Om David menoleh menatapku seiring dengan tangannya yang memutar setir.

"Aku minta uang hasil penjualan peninggalan bapak," lanjutku.

Mobil memasuki pelataran rumah. Berhenti di depan garasi yang tutup. Ku kira Om David bakalan mengacuhkan aku dan turun dari mobil. Dia melepaskan sabuk pengaman tapi enggak beranjak dari duduknya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku mau hidup sendiri. Cuma mau mandiri aja. Om bukan saudara, juga bukan siapa-siapa ku. Aku tinggal disini, dan menerima banyak uang, karena tanggung jawab Om sama bapak. Tapi, sekarang aku nolak, dan Om nggak perlu lagi ngurusin aku,"

"Kamu ngira saya bohongin kamu, dan secepatnya mau pergi karena nggak mau uang kamu habis saya curi?" Nada suara Om David tiba-tiba meninggi.

"Aku nggak maksud gitu Om,"

Sumpah, aku nggak ada berfikiran begitu. Itu lebih buruk dari fikiran buruk yang pernah aku fikirkan.

"Saya ngurusin kamu, nyuruh kamu tinggal disini, itu murni karena pertanggungjawaban saya ke bapak kamu. Saya berusaha menebus kesalahan saya dengan itu. Menjual peninggalan bapak kamu, itu murni saya membantu. Saya nggak berniat buat nyuri uang kamu, saya nggak butuh itu. Kamu tau," Om David menjeda kalimatnya, lalu berlanjut.

"Kartu kredit yang saya kasih ke kamu itu atas nama saya, ATM itu atas nama saya, isinya uang saya semua. Dan uang hasil penjualan itu, saya buatkan rekening atas nama kamu. Masih utuh, saya nggak ngambil sepeserpun."

Penjelasan itu mengalir ke indra pendengaranku. Aku meresapi semua kalimat yang Om David katakan, dan aku faham. Mata Om David berkilat, pancaran nggak suka tampak dari sana. Dia bangkit, keluar dari mobil dan menutup pintu dengan kencang.

Kayaknya dia marah deh.

***

Dua hari ini aku nggak masuk sekolah karena demam. Kakiku yang terkilir pas kemping waktu itu jadi bengkak dan melibatkan bagian badanku yang lain buat ikutan sakit.

"Jangan dilihatin terus, cepetan makan," suruh Om David yang kuhadiahi dengan rasa tak enak hati.

Dua hari ini juga, Om David merawatku yang lagi nggak bisa ngapa-ngapain. Padahal dua hari yang lalu aku membuat dia marah karena mengatakan keinginanku buat pindah rumah.

"Saya nggak bisa jamin kalo rasanya enak banget, tapi saya bisa jamin kalo masakan saya bikin kenyang,"

Aku melirik semangkok bubur karya Om David yang dia buat dengan suara gemruduk di dapur. Tatapanku beralih ke mukanya yang berkeringat. Kayak beneran habis usaha keras banget untuk membuatkan aku bubur.

Aku mau minta maaf, tapi lidahku kelu. Padahal aku jelas salah, tapi gengsiku nggak mau mengalah. Om David nggak memperpanjang marahnya sampai berhari-hari. Dia tipe orang yang kalo marah itu cukup segitu, nggak diperpanjang kayak SIM. Mungkin karena usianya yang matang, jadi fikirannya nggak labil kayak aku.

"Masih sakit?" tanyanya sambil menyibak selimut yang menutupi kakiku.

Matanya melihat ke kakiku yang nggak tambah sembuh, tapi malah tambah kambuh. Warnanya ungu biru-biru, kaya terong-terongan, tapi ini bukan terong.

Om David kemarin juga memanggil tukang pijat, buat membenarkan otot kakiku yang melenceng. Aku sudah berjuang menahan sakit saat dipijat, tapi usahaku nggak bermanfaat karena kakiku tetap cekit-cekit.

"Maafin aku ya Om," kataku akhirnya. Aku meluluhlantakkan gengsiku yang merugikan banget kalo lama-lama di pelihara.

"For what?" tanyanya dengan alis bertaut.

"Pertanyaan bahasa Inggris kalo di pelajaran, harus dijawab dengan bahasa Inggris juga. Tapi karena ini di dunia nyata, aku jawabnya pake bahasa Indonesia aja ya." kataku sambil menaik-naikkan alis.

Om David tersenyum. Dia tampak lebih muda kalo senyum kayak gitu.

"Aku minta maaf buat kemarin lusa. Aku nggak bermaksud kayak gitu dan aku salah."

"Kamu tau lagunya Inul Daratista yang judulnya masa lalu?"

Aku menggeleng. Nggak tau dan nggak suka sama lagu dangdut apalagi dangdut zaman baheula. Lagian, aku lagi membahas kesalahanku, kok Om David malah bahas lagu.

"Masalalu biarlah masalalu, jangan kau ungkit jangan ingatkan aku," Dia mengatakan itu dengan melantunkan lagu. Suaranya yang terdengar berat lucu banget kalo menyanyikan lagu itu. Aku tertawa.

"Kalo mau memutuskan sesuatu itu difikirin dulu. Fikirin apa efeknya bagi kita dan bagi orang lain. Jangan merasa baik di kita, terus kita nggak memikirkan orang lain. Ujungnya keputusan kita menyakiti mereka. Kamu masih bocah, harus banyak belajar tentang hidup," Amanat Om David ke aku.

"Aku emang bocah, tapi udah pinter bikin bocah Om,"

"Mau bikin bocah sama saya sekarang?" ledek Om David dengan mata berkilat jahil.

"Ya ampun, aku nggak mau." teriakku lalu menutup seluruh tubuhku dengan selimut.

"Dimakan ya, Om mau kerja,"

Aku melirik jam di dinding. Setengah sepuluh pagi.

"Kerja apaan di jam sekarang?" tanyaku heran. Pegawai saja mulai kerja jam tujuh. Petani malah jam lima sudah berangkat ke sawah.

"Pekerjaan saya nggak mengharuskan saya datang di jam kerja yang sama kayak orang kantoran," Om David mengelus rambutku, lalu dia pergi.

Meninggalkan aku yang lagi merasakan ada desiran menerjang hatiku. Bukan desir pasir di padang tandus. Desiran yang mendadak ada usai dia mengakhiri elusan tangannya di rambutku.

Aku merinding. Panas. Ternyata jendela kamarku masih tertutup.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel