Tawaran Masuk Geng
Tiba-tiba Nadia berlutut di hadapanku, suaranya gemetar memohon, "Arya, tolong jangan pernah bawa-bawa kejadian kemarin pada Ayah. Dia bukan cuma akan marah padaku, tapi bisa saja mengirimku ke desa sebagai hukuman. Atau lebih parah, aku mungkin dinikahkan paksa padahal aku masih sekolah."
Aku hanya mengangguk, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Aku duduk di depannya, mencoba menghapus ketegangan. "Ingat, aku ini lelaki, bukan perempuan. Kamu nggak perlu begini, bangunlah," kataku dengan nada yang mencoba ringan tapi tegas.
Dia menghela napas panjang, tampak lega. Tapi penasaran, aku bertanya, "Sejauh mana sebenarnya kalian pacaran?"
Dia tersenyum kecil, "Sejauh mata memandang."
Aku menahan tawa sambil mencoba menyembunyikan rasa penasaran yang tumbuh, "A$u, kamu sudah pernah menyatu?"
Tiba-tiba dia menjewer telingaku, suaranya cepat menangkis, "Heii, jaga mulutmu! Aku cuma sampai c1uman saja."
Aku terkekeh, "Huh, syukurlah, aku kaget juga."
Dia menatapku dengan ekspresi serius tapi lucu, "Heh, ngomongmu kasar banget."
Aku tersenyum miris, "Yah, itu cuma kata-kata kasar, hatiku tetap lembut. Pria memang beda, nggak seperti wanita yang penuh drama Indos1ar."
Aku tahu, meski kata-kataku kasar, aku sebenarnya ingin melindungi Nadia sebagai sepupuku. Dalam hatiku, aku ingin dia kuat menghadapi segala konsekuensi, tapi juga tak ingin ia tersakiti lebih jauh.
"Pokoknya, apa yang kamu lihat kemarin jangan pernah keluar dari mulutmu." Suaranya begitu tegas, seolah menancap di pikiranku.
Aku hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. "Itu saja? Kupikir kamu mau ngajak aku tidur di sini," aku menyelipkan candaan, berharap mencairkan suasana.
Tiba-tiba dia berdiri dan tanpa ampun menendang wajahku. "Keluar! Ternyata benar, anak desa mesum banget," katanya dengan ekspresi dingin.
Jantungku berdegup kencang, terkejut dan tiba-tiba rasanya harga diriku remuk. Malu dan sakit hati bergelayut, tapi sebenarnya aku tak merasa takut.
Tanpa menunggu perintah lagi, aku keluar dari kamar, sesekali mengusap keningku yang mulai membengkak perlahan. Sakitnya sebenarnya tak seberapa, tapi rasa malu yang menggerogoti jauh lebih berat.
"Kenapa aku harus sampai diperlakukan seperti ini?" batinku.
Namun, mungkin ini memang cara hidup mengajarkanku satu hal: untuk selalu menjaga ucapanku, agar tidak mudah terjebak dalam situasi seperti sekarang.
*******
Paginya terasa sibuk sekali. Kami berlima berlalu-lalang menyiapkan segala keperluan, dan tiba-tiba paman serta bibiku datang menghampiriku.
Bibiku tersenyum sambil menyerahkan sebuah amplop. "Ini jajan untukmu selama kami tidak ada, sejuta cukup? " ucapnya lembut.
Hatiku bergetar, hampir saja air mata menetes. Sebelumnya aku merasa bibiku tak menerima keberadaanku, tapi pagi ini aku tahu sebaliknya.
Apakah aku terlalu cepat menilai? "Seratus ribu cukup, tante," kataku ragu.
Bibiku tersenyum lebih hangat. "Hahah Arya, hidup di kota itu beda, loh," katanya ringan.
Paman pun menambahkan, "Benar, Arya. Anggap saja itu peganganmu. Kalau kurang, bisa minta sama kakak sepupumu, Nadia."
Aku hanya mengangguk, merasakan campur aduk dalam d4da. Aku ingin memeluk mereka, tapi sungkan menyelimuti. Jadi aku memilih menahan perasaan haru itu dengan keras kepala.
Bibiku melanjutkan, "Baik-baik, ya. Jangan keluyuran, nanti pamanmu marah. Oiya, bahan dapur sudah kami lengkapi. Kalau mau masak atau makan di luar, bisa saja."
"Dan nanti kalian bertiga harus kompak bersihin rumah, ya," tambahnya ringan.
“Soalnya sekarang di rumah ini nggak ada asisten.”
Aku menghela napas pelan. Di tengah kebersamaan ini, aku menyadari ada satu hal yang harus aku jaga: kedewasaan dan tanggung jawab. Apakah aku benar-benar siap menjalani semuanya?
"Siap paman.. " Ucapku sedikit lebih semangat.
Pagi itu, paman dan bibiku sudah berangkat lebih dulu, meninggalkan aku dan kedua sepupuku yang tengah bersiap ke sekolah.
Saat aku sedang mengenakan sepatu, mataku tertumbuk pada Nadia yang dengan santai mengeluarkan mobil matic dari bagasi.
"Tuh, kamu pakai motor butut ayah yah. Kalau kamu numpang mobil, nanti jadi kotor," celetuk Sintia sambil lewat di teras, langkahnya mantap menuju mobil Nadia. Aku hanya membalas singkat, "Siap, nyonya."
"Heiii, heiii, ulangi!" pinta Sintia dengan nada menggoda.
"Siap, nyonya!" jawabku dengan sedikit sarkasme yang kusembunyikan rapat.
Dia tertawa kecil, "Sebenarnya kamu lebih cocok jadi pemb4ntu rumah ini, ngga cocok sepupuan denganku."
Aku mengangkat alis, mencoba meredam rasa perih yang menggelayuti hati. "Boleh saja, asal digaji," kataku santai, berusaha tidak terlihat tergores.
"Hmmm, dasar mata duitan," sindir Sintia sambil melangkah ke mobil.
Aku menelan ludah, menyadari betapa tajamnya kata-katanya. Mereka berdua pun pergi menggunakan mobil, meninggalkanku dengan motor yang sebenarnya adalah impianku. Kuhirup napas dalam-dalam, lalu melirik motor itu penuh kagum.
"Bukankah ini sang raja jalanan?" gumamku, seolah-olah sedang mengobrol dengan sahabat setiaku yang tak berperasaan. Dalam keheningan pagi itu, aku merasakan sedikit kebanggaan—meski ada noda sakit di dalamnya, aku tetap punya sesuatu yang bisa kubanggakan.
Di situ semangat mudaku seketika terbakar, aku memainkan tali gas, hingga membuat bagasi penuh asap.
Perjalanan menuju sekolah baruku cukup dekat, hanya memakan waktu 10 menitan. Tapi karena terlalu menikmati perjalanan, akhirnya jadi terlambat.
Saat aku tiba di parkiran, seseorang langsung menghampiriku dengan tatapan tajam. "Lu anak baru?" tanyanya singkat.
Aku mengangkat alis, mencoba menyembunyikan rasa gugup. "Iya, ada apa?" balasku pelan.
Dia menjelaskan, "Sekarang sudah terlambat, upacara sudah mulai, pintu gerbang sudah ditutup." Kata-katanya membuat d4daku serasa berat.
Di hari pertamaku, aku sudah telat. Apakah ini pertanda buruk? Aku garuk-garuk kepala tanpa tahu harus bagaimana. "Jadi mending pulang, ya?" tanyaku ragu, berharap ada jawaban lain.
Dia tersenyum, seolah tahu apa yang kupikirkan. "Hehehe, masih ada jalan tikus, bro. Tapi mending kita ngobrol dulu, habis itu lu ikut sama gue."
Aku menurunkan kaki dari motor, berusaha menenangkan diri. Kami duduk bersebelahan di bangku kosong. "Nama gue Renaldi, panggil aja Aldi. Lu pindahan dari mana?" suaranya hangat mengusir kegelisahan.
Aku bercerita dari desa asalku, dan memperkenalkan diri juga.
"Lu udah punya geng?" tanya Aldi lagi, matanya menanti jawaban.
Aku menggeleng pelan, entah kenapa hati ini terasa kosong. Dia tertawa kecil, "Wah, kebetulan banget. Gue lagi cari anggota biar makin rame. Minat masuk nggak?" Aku menatapnya, merasakan harapan yang tiba-tiba menghangat dalam d4da. Apakah ini awal yang baru?
Sejenak aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Renaldi. "Kalau kamu ikut, gue yakin geng kita bakal makin kuat," katanya dengan yakin.
Aku mengerutkan dahi, "Hah? Kok kamu bisa seserius itu, Aldi?".
Dia mengamati setiap gerakku, seolah sudah tahu jauh sebelumnya, "Walaupun kita baru kenal, gue bisa lihat kamu punya sesuatu yang beda."
Tapi aku cuma bisa tertawa getir, "Ah, gue mah cuma jago gaya, bro. Berantem? Jangan harap."
Renaldi tak menyerah. "Geng gue namanya Kelelawar Merah. Kalau kamu mau, gue siap ajukan kamu ke ketua geng."
Aku mengerutkan alis, setengah nggak percaya. "Kelelawar Merah? Serius? Gue taunya cuma Kelelawar Hitam aja. Bahkan Batman pakai baju hitam, lho."
Dia tersenyum, "Nah, itu dia, di sekolah ini sudah ada geng Kelelawar Hitam."
Aku membalas dengan santai, "Banyak nama keren yang bisa dipilih: Naga Api, Kupu-Kupu Terbang, Angsa Putih, Setan Merah, dan lain-lain. Mana mungkin harus kelelawar merah?"
Renaldi mengajak, "Nanti kamu bakal ngerti sendiri. Sekarang ikut gue, gue tunjukin lewat jalan tikus yang gue bilang tadi." Dalam hati, aku merasa penasaran tapi juga was-was. Apakah benar bergabung dengan geng itu bisa mengubah segalanya? Aku masih ragu, tapi langkahku mulai mengikuti jejaknya.
