Hari Pertama Sekolah Baru
Setelah melewati jalan tikus, aku dan Aldi muncul di belakang kantin. Di sana, puluhan siswa berkumpul, memilih absen dari upacara pagi ini. Mereka tampak santai, merokok dan bercengkerama seolah itu adalah ritual rahasia.
“Pokoknya, jangan pernah menatap satu orang pun saat kita lewat. Hindari kontak mata,” bisik Aldi penuh peringatan. Namun, entah kenapa rasa penasaran mengusikku.
Apa jadinya jika aku berani menatap salah satu dari mereka? Ketika aku melangkah melewati, mataku secara refleks menangkap satu wajah yang seolah ingin berdiri, tapi segera dihalangi oleh temannya.
Detik itu juga, Aldi menarik lenganku, mempercepat langkah kami menjauh. “Arya, pesan makan aja, gue traktir nanti,” katanya sambil menghela napas panjang. Aku menggeleng, “Ngga usah.”
Di kantin, kami duduk menikmati sarapan. Di balik suara riuh pagi, pikiranku terus berputar tentang siapa gerangan sosok yang aku tatap tadi, dan kenapa hatiku tiba-tiba berdebar seperti itu.
Setelah selesai sarapan, tiba-tiba sosok yang tadi aku tatap menghampiriku dengan langkah berat, lalu tiba-tiba menggebrak meja. "Pulang sekolah, kita selesaikan masalah kemarin," suaranya dingin tapi penuh tantangan. Aku memandangi dia sejenak, ingatan tentang kejadian kemarin langsung menyeruak dalam pikiranku.
Aku menarik napas, mencoba menenangkan diri, lalu menjawab dengan santai, "Okelah." Dia tak menunggu lama dan pergi bersama rekannya.
Saat itu Aldi menatapku, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Arya, lu ada masalah sama dia?" tanyanya pelan.
Aku menghela napas. "Iya, dia gangguin sepupuku," jawabku tanpa berusaha menyembunyikan kemarahan yang mulai menggelora di d4da.
"Hmmm, sepertinya lu harus segera masuk geng Kelelawar Merah, biar mereka gak kelewatan," kata Aldi meyakinkan.
"Siswa itu namanya Dani, anggota geng Kelelawar Hitam, geng paling berkuasa di sekolah," jelas Aldi serius.
Lalu ia menambahkan sesuatu yang membuatku berpikir, "Pemimpin Kelelawar Hitam dan Kelelawar Merah itu saudara kandung, tapi karena Kelelawar Merah kekurangan anggota, mereka nggak mampu tandingi kekuatan Kelelawar Hitam."
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya berputar di pikiranku. *Kalau aku benar-benar mau melindungi sepupuku, apa aku harus ikut ke dalam konflik yang lebih besar? Apa aku siap menghadapi semua ini?* Rasanya berat, tapi aku tahu aku nggak bisa diam saja.
"Kalau dia jadi yang terkuat di sekolah ini, terus untung ruginya di mana, ya?" tanyaku penasaran.
Aku menatap Aldi yang tampak yakin sekali saat menjawab, "Bukan masalah untung-ruginya. Kelelawar Hitam sekarang paling terkenal kuat di sekolah kita. Otomatis, mereka lebih dihormati, bahkan kalau sampai memalak siswa lain pun jadi lebih gampang."
Aku mencerna kata-katanya, lalu bertanya lagi, "Jadi, Kelelawar Hitam sudah jadi yang terkuat? Artinya nggak ada musuh lagi dong?"
Renaldi melirikku sambil menjelaskan, "Itu salah. Sekarang Kelelawar Hitam lebih banyak musuh, cuma mereka dari sekolah lain. Kalau di sekolah kita? Kalau ada yang nggak menghargai mereka, masalahnya cepat beres."
Aku mengerutkan dahi, lalu melontarkan pertanyaan yang tak kalah penting, "Terus, tujuan utama geng kalian apa?"
Aldi menatap serius, "Mau ngapus Kelelawar Hitam. Mereka sudah kelewat batas."
Obrolan kami makin intens, membahas perseteruan antara Kelelawar Merah dan Hitam. Aku pun berusaha memahami lebih jauh, "Di sekolah ini, ada berapa geng sih sebenarnya?" Pertanyaan itu keluar tanpa kusadari, rasa ingin tahuku makin menggebu.
Aldi menjelaskan, ternyata ada empat geng di sekolah ini. Geng Kelelawar Merah hanya menerima anggota dari kelas 10, berhubungan ketuanya masih kelas 10. Sementara geng Kelelawar Hitam khusus untuk kelas 12.
Lalu ada geng Sarkodes—entah apa maksud namanya, aku masih belum jelas. Terakhir, ada geng IPW (Indah Pada Waktunya), yang benar-benar geng cewek dan anggotanya dari berbagai tingkatan.
Aku menarik napas panjang. "Sepertinya aku nggak bisa gabung sama geng Kelelawar Merah," kataku pelan.
Aldi menatapku penasaran, "Kenapa, Bro?" Karena aku murid pindahan kelas 11. Aku tahu ini jadi alasan yang cukup mengecilkan peluangku.
"Aku murid pindahan, kelas 11, Bro."
Aku melihat ekspresi kaget di wajah Aldi. "Kenapa nggak ngomong dari tadi sih?"
Kepalaku tiba-tiba penuh tanda tanya. Sarkodes—nama geng ini mengingatkanku pada geng waktu aku di desa.
Apa mereka punya tujuan yang sama? Apa visi dan misi mereka? Rasa penasaran ini membuatku bertanya-tanya apakah aku bisa menemukan sesuatu yang familiar di sini.
"Sorry, Bro, aku pamit dulu, upacara sudah selesai," kataku sambil mengeluarkan uang untuk membayar sarapanku di kantin. Aku berjalan mencari kelasku, tapi setelah lama berkeliling dan gagal menemukan, aku memutuskan untuk mencari Sintia. Mungkin dia bisa membantuku.
Namun tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah kelas yang tak sengaja kulihat, dan di sana, Sintia berdiri. Segera aku berlari mendekat, yakin itu memang kelasnya.
Baru saja aku mendekat, dia menoleh sekilas, dan yang kuterima hanyalah tatapan penuh sinis.
"Kenapa dia harus seperti itu padaku?" batinku.
Tapi aku sengaja tak peduli. Hari ini saja aku sudah berhasil masuk sekolah dan menemukan kelasku; itu sudah cukup.
Beberapa saat kemudian, setelah semua siswa dan siswi duduk rapi, Bu Guru Melati masuk dan mulai melakukan absen.
Saat nama-nama dipanggil, hanya aku yang belum disebutkan. Akhirnya aku dipersilakan maju untuk memperkenalkan diri. Ketika aku berdiri di depan kelas, Bu Guru Melati menegur, "Arya, tolong masukkan bajumu."
Aku segera mengangkat wajah, terkejut dengan komentar itu. Dari belakang, tiba-tiba kudengar suara Sintia yang menyahut, "Kebiasaan Bu, dia kan anak desa." Hatiku tercekat.
Tak lama, Bu Melati memanggil Sintia maju ke depan. Sintia berjalan dengan ekspresi penuh sakit hati, tetap menjaga jarak di sampingku. Saat dia berkata, "Awas yah, kalau pulang ke rumah, aku pukulin..." aku merasa ada campuran emosi—tak hanya takut, tapi juga bingung.
Kenapa dia begitu benci padaku? Apa aku pernah melakukan sesuatu yang salah? Aku menahan amarah, mencoba menyembunyikan apa yang bergolak dalam hatiku agar tak terlihat di depan semua orang.
"Aku tunggu. " Timpalku santai.
Aku dipersilakan duduk oleh Bu Melati setelah memperkenalkan diri. Sementara itu, Sintia masih berdiri di depan dengan tatapan tajam yang penuh amarah setiap kali kami bertatapan.
“Sintia, kenapa tiba-tiba kamu bersikap seperti ini? Aku tahu kamu siswi berprestasi, tapi hari ini kamu berubah. Mengejek teman itu perilaku buruk,” suara Bu Melati lembut tapi tegas.
Aku terdiam, terkejut oleh kejujuran Sintia yang menggelegar, tak segan mengungkapkan kebenciannya di depan semua orang. “Aku benci sama dia,” jawabnya lugas.
Benci? Kata itu seperti sebuah duri yang menancap di hatiku. Apa yang membuatnya sekeras itu padaku? Aku mencoba menebak, mencari-cari alasan di dalam benakku. “Apakah aku benar-benar salah? Atau mungkin selama ini aku tak sadar telah menyakitinya?”
“Tapi Sintia, jangan terlalu lama membenci. Kadang benci itu berubah jadi cinta, kamu tahu itu kan?” Bu Melati mencoba menghibur dengan senyum yang penuh harap.
Keributan kecil dari teman-teman sekelasku memecah suasana, membuat aku sadar bahwa Sintia akhirnya duduk juga.
“ Arya, kamu kan serumah sama Sintia. Nanti pinjam buku salinannya ya, supaya kamu bisa mengejar ketertinggalan,” pesan Bu Melati.
“Iya, Bu,” jawabku singkat, namun hatiku bergemuruh tak menentu. Apakah dia mau meminjamkan buku salinannya? Apa Bu Melati sengaja menguji mentalku?
*******
Jam istirahat terasa sunyi di kelas itu. Aku duduk sendiri sebagai satu-satunya pria, sementara tiga siswi lain duduk berjauhan, masing-masing menyendiri. Mataku tampak tertuju pada layar ponsel, namun sesekali aku menyelipkan pandang ke arah mereka, bergantian.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan seorang siswa lain masuk, lalu duduk di depan siswi yang dekat denganku. Tanpa ragu, siswa itu merangkulnya. Siswi itu langsung berdiri, wajahnya tegang, berusaha melepaskan diri. Tapi siswa itu menggenggam pergelangan tangannya kuat, hingga bibir siswi itu bergetar menahan rasa sakit.
"Lepasin, nggak suka!" suara siswi itu tegas tapi bergetar. Aku terdiam, menatap wajahnya yang cantik—Ningsih.
Pandanganku tak sengaja melirik ke dadanya yang terlihat jelas, membuat aku sedikit gugup. Aku segera mengalihkan mata, mencari nama di papan namanya agar tak terlihat seperti melihat terlalu lama.
