Tak Pantas Di remehkan
Setelah beberapa saat, aku tiba di sebuah taman yang tak terduga ramai. Suasana cerah menjelang siang itu dipenuhi tawa dan suara langkah kaki, tapi yang paling mencuri perhatianku adalah kerumunan di lapangan terbuka—panggung kecil berdiri dengan penuh warna, dan alunan musik mulai menggema.
Tanpa pikir panjang, rasa penasaran mengalahkan keraguanku. Aku menyelinap masuk, mencari tempat di antara penonton yang berdesak-desakan, membiarkan tubuhku larut dalam dentuman irama dan keramaian yang hangat. Sejenak, beban di pundak terasa lenyap, tergantikan oleh getaran musik dan riuh tepuk tangan yang membangkitkan sesuatu yang lama terkubur dalam diriku.
Aku berdiri di tengah kerumunan, jantungnya berdegup kencang, merasa seperti tersedot ke dalam pusaran energi yang baru pertama kali kurasakan. Saat menampilkan sosok penyanyi utama, sebuah kejutan menyambutku—bank Wali, sosok yang selama ini hanya kudengar lewat lagu, kini berdiri nyata di depanku, menyanyi dengan suara yang khas.
Tanpa ragu, aku mengeluarkan ponsel dan mengangkatnya tinggi-tinggi, berusaha menangkap momen itu. Aku tersenyum puas setelah melihat hasil jepretanku, lalu menurunkan ponsel kembali, membiarkan diriku hanyut dalam irama.
Namun, tatapanku tiba-tiba tertuju pada gerak-gerik aneh di depanku. Seorang pria dan wanita saling berpelukan erat, wajah mereka berdekatan hingga b!bir mereka bersentuhan dalam c!uman yang begitu nyata, tepat di tengah keramaian yang penuh mata.
Jantungku seakan tersentak, perasaan aneh merayapi kulit—seolah sesuatu yang suci ternoda di hadapanku untuk pertama kali.
Mataku menatap dengan campuran rasa penasaran dan keberanian yang membuncah. Nafas tertahan sejenak, lalu dengan suara pelan namun tegas, menegur, "Maaf, kalian... bisa sedikit lebih sopan, ya? Di sini kan banyak orang."
Pria itu menatapku dengan tatapan penuh tantangan, bibirnya tersungging senyum sinis. "Woe 4njing, gelut yokkk.." suaranya kasar memecah keramaian. Aku cuma menggaruk kepala, mencoba menenangkan diri, tapi dadaku tiba-tiba membara. Tanpa sadar, aku ikut melangkah mengikutinya, rasa penasaran dan adrenalin menggiringku.
Di belakang pria itu, kekasihnya berjalan dengan wajah cemberut, matanya memantau kami berdua penuh kekhawatiran. Kami menjauh dari kerumunan, suasana menjadi hening kecuali suara langkah kami yang bergema di trotoar.
Tiba-tiba, pria yang ku tegur itu melayangkan pukulan tanpa aba-aba. Aku sigap menangkis, otot-ototku tegang menahan serangannya yang kasar. Dalam sekejap, aku melancarkan balasan dengan satu injakan keras tepat di perutnya. Ia terhuyung, napasnya tersengal.
"Hei, jangan berurusan denganku," suara wanita itu memecah ketegangan, sambil menarik tangan pria itu dengan tegas. Aku melepaskan genggaman dan mundur perlahan, tatapanku dingin namun tenang. Tanpa sepatah kata, aku berlalu pergi, meninggalkan mereka di belakang dengan perasaan campur aduk—antara puas dan waspada.
Langit mulai meredup ketika aku melangkah pelan meninggalkan keramaian konser yang masih bergemuruh di belakang. Suara musik yang menggema perlahan memudar, digantikan oleh bunyi kendaraan dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar diam.
Udara malam itu terasa berat, aroma asap dan polusi menyelimuti setiap tarikan nafasku, membuat d4da sedikit sesak. Namun, langkahku tetap ringan, mata menatap lampu-lampu jalan yang berkelip seperti bintang jatuh di tengah aspal basah.
Aku menikmati detik-detik itu, berjalan tanpa tujuan pasti, membiarkan pikiran melayang jauh ke hamparan sawah hijau dan udara segar di desa yang dulu sering ku kunjungi.
Bayangan angin sepoi yang menggerakkan daun-daun pepohonan, suara alam yang menenangkan, begitu kontras dengan kegaduhan kota yang tak pernah tidur ini. Hatiku seakan berkata, “Di sini memang indah, tapi bukan tempat yang nyaman.”
Ketika matahari mulai tenggelam, warna jingga merona di ufuk barat, aku memutuskan untuk kembali. Namun, sesampainya di ujung jalan yang membelah antara gedung-gedung tinggi, sosok itu muncul di sudut pandanganku. Gadis yang tadi kutemui di lapangan konser, berdiri dengan wajah cemas, matanya menatap penuh tanda tanya.
“Kamu kok di sini?” Suara gadis itu bergetar, tangan kecilnya sedikit mengangkat, seolah ingin menahan tapi juga ragu.
Tatapannya menyiratkan kecurigaan yang sulit disembunyikan, seolah menunggu jawaban yang bisa menjelaskan kehadirannya di tempat yang sama. Dia terdiam sejenak, menyadari bahwa malam ini bukan hanya kota yang penuh misteri, tapi juga pertemuan yang tak terduga.
“Aku tinggal di rumah itu,” ucapku dengan nada pelan tapi penuh kepastian.
Gadis itu menatapku tajam, alisnya berkerut penuh penolakan. “Jangan asal ngomong, itu adalah rumahku,” balasnya dengan suara tegas, seolah mempertahankan sesuatu yang sangat berharga baginya. Wajahnya mengingatkanku pada paman Beno, ada kemiripan yang tak bisa kuabaikan—mata yang sama tajam, garis rahang yang mirip.
Aku mendekat sedikit, mencoba menembus keraguan dalam tatapannya. “Kamu anaknya paman Beno?” tanyaku hati-hati.
Dia terdiam, bibirnya mengatup rapat, menimbang kata-kata dalam kepala. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, ia akhirnya mengangguk pelan. “Kamu Arya? Yang dari desa?” Suaranya sedikit ragu, tapi ada nada pengenalan yang sulit disembunyikan.
Senyum kecil muncul di bibirku, tapi ada sedikit kecewa yang terselip—seolah aku merasa diremehkan hanya karena aku anak desa. “Iya,” jawabku singkat, mencoba menutupi perasaan itu.
Matanya melebar, pandangannya berubah menjadi waspada. “Awas saja kamu melaporkan kejadian tadi pada ayahku,” kecamnya dengan nada ancaman yang halus tapi nyata, membuat udara di antara kami mendadak tegang. Aku bisa merasakan bahwa kata-katanya bukan sekadar peringatan, melainkan benteng pertahanan untuk sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hak milik rumah.
******
Malam itu, kami duduk di ruang tamu, udara terasa hangat tapi hatiku justru mengawang. Pamanku mulai memperkenalkan kedua sepupuku padaku. Sintia, yang usianya sama denganku, 16 tahun, dan Nadia, kakaknya yang 17 tahun.
"Oiya, paman dan bibimu besok berangkat dinas selama seminggu. Kamu jaga rumah dengan baik, ya," ucap paman padaku.
Aku menoleh sekilas ke arah mereka berdua. Ada sesuatu di mata mereka, seolah bahagia tapi disembunyikan rapat-rapat. Hanya aku yang bisa membaca itu. Apakah mereka juga menyimpan rahasia yang tak ingin kuketahui? Sintia menerima arahan paman dengan senyum yang berubah-ubah; sinis lalu riang.
"Heheh, siap, Ayahku," katanya dengan nada yang sulit kuterjemahkan.
Aku tidak peduli sikap mereka. Mereka boleh saja bersandiwara, tapi aku sudah cukup kuat dan tidak takut pada siapapun. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah mereka benar-benar teman sejalan, atau hanya bayang-bayang yang akan terus mengusikku?
Setelah musyawarah singkat itu, pamanku bangkit dan pamit, bilang mau menyiapkan barang untuk keberangkatan besok pagi. Aku masih duduk di ruang tamu, melihat Sintia yang pelan-pelan menuju kamarnya.
Nadia tanpa banyak bicara langsung menyalakan TV. Layar menyala, tapi keheningan di antara kami malah terasa makin pekat. Waktu berlalu lama, tapi tak satu pun kata keluar dari bibir kami. Tiba-tiba, larut malam, Nadia menekan tombol remote dan lampu di ruang itu padam.
Dia menoleh padaku, suaranya pelan tapi tegas, “Ikut aku.” D4daku berdebar, ragu membeku di tempat.
Tapi dalam hati kugumam, “Ngapain takut sama cewek?” Aku akhirnya bangkit dan mengikutinya sampai ke kamarnya.
Pintu terkunci rapat dari dalam. Hanya kami berdua di dalam ruang kecil itu. Jantungku berdetak lebih kencang, ada rasa panik yang sulit kuhapus.
“Nadia, kalau ayahmu tahu aku di sini, dia bakal membvnuhku,” kataku, nada suaraku dingin tapi jujur.
Dia cuma mengangkat jari ke bibir, “Sssttt, makanya jangan protes.” Wajahnya tersenyum tipis, tapi matanya tajam seperti menyimpan rahasia.
