Pindah Ke Kota.
Namaku Arya, remaja desa berusia enam belas tahun dengan tubuh tinggi kurus yang tak pernah mundur meski badai menghadang. Di sekolah, aku dikenal sebagai pria yang kuat—bukan karena aku benar-benar hebat, tapi karena selama mataku masih terbuka, aku tak akan pernah tahu arti kalah.
Saat ini aku tinggal berdua dengan nenek, setelah ayah meninggal saat aku baru dua tahun dan ibu pergi merantau ketika aku berusia sepuluh—artinya, sudah enam tahun aku hidup tanpa jejak kasih dari wanita itu.
Namun, aku tak peduli pada masa lalu yang penuh kehilangan. Yang kuinginkan hanyalah kebebasan—seperti angin liar yang tak bisa ditangkap. Di desa, aku terkenal sebagai remaja bandel, keras kepala, dan tak pernah gentar pada siapa pun. Itulah julukan yang selalu tersemat dari kedua sahabatku, menegaskan siapa aku sebenarnya: seseorang yang menolak tunduk pada takdir.
Namun siapa sangka, hari ini tiba-tiba seorang pria datang ke rumah nenekku. Aku yang baru pulang sekolah, tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Penampilan pria itu... entah kenapa sangat mirip ayahku.
Apakah mungkin dia semacam reinkarnasi? Hatiku berdesir penuh tanya, tapi saat nenekku menyambut pria itu, dia bilang, “Ini pamanmu.” “Baru pulang, nak Arya?” suara pria itu, Beno Jotos, membuyarkan lamunanku.
Nama Jotos memang marga dari keluarga ayahku, tapi aku belum pernah mengenalnya dekat sebelumnya.
“Iya,” jawabku singkat, berusaha menjaga sikap.
Meskipun aku dikenal bandel, aku tak mau menunjukkan kebandelanku di depan.
Nenek melambaikan tangan mengajakku duduk. “Cucuku, pamanmu berniat mengajak kamu ke kota,” katanya dengan nada lembut.
Seketika jantungku berdegup lebih kencang. Kota? Memulai dari awal di tempat baru... Aku sudah membayangkan betapa membosankan dan sulitnya harus beradaptasi kembali. Aku menatap nenek, sejenak bermanja.
“Nenek, apakah nenek sudah tidak sayang sama Arya lagi?” tanyaku, takut kehilangan satu-satunya tempat yang masih kukenal dan kupercaya sekarang. Aku ingin nenek tahu aku masih butuh dia, meski aku harus berani melangkah ke arah yang tak pasti.
"Nak Arya, nenekmu akan di jaga oleh bibi keduamu, dan paman sudah diskusikan oleh keluarga lain, dan mereka setuju kalau kamu ikut ke kota bersama paman." Ucap Beno Jotos.
Akhirnya aku benar-benar tak punya pilihan lain selain menerima ajakan pamanku. Tapi, di balik rasa terpaksa itu, ada rasa penasaran yang perlahan tumbuh tentang kehidupan di kota.
"Tapi jujur, Paman, saya orangnya susah diatur," kataku sambil menatap lurus ke wajahnya, mencoba menyelipkan alasan agar rencana ini bisa batal.
Paman malah tersenyum lebar, matanya berkilat. "Justru itu yang Paman suka," jawabnya santai.
Aku tertegun, tak menyangka jawabannya seperti itu. Seolah dia melihat sisi lain dari diriku yang belum pernah aku sendiri sadari.
Sore itu aku sudah mulai berkemas, walau rasa canggung masih saja membelit. Malamnya, kami berangkat dengan mobil ber-AC. Rasanya aneh dan dingin, sampai-sampai badanku meriang.
"Ini masuk angin atau cuma karena dingin ya?" gumamku di dalam hati.
Tapi setelah menyesap kopi hangat, badan terasa sedikit membaik. "Paman, gimana dengan pendidikanku nanti?" tanyaku ragu.
"Jangan khawatir, Paman sudah urus semuanya. Lusa kamu langsung masuk sekolah ternama," jawabnya penuh percaya diri.
Aku hanya bisa menghela napas. Semangatku mendadak merosot, terpikir kalau kesalahan kecil saja bisa membuatku langsung dikeluarkan. "Kalau begitu, berarti sekali salah langsung kena 'kick' ya, Paman?" suaraku meninggi sedikit, tak bisa menyembunyikan kecemasan yang membekap.
"Liat saja nanti, paman tidak akan menjelaskan tentang sekolahmu saat ini," katanya dingin, suaranya tak punya getar hangat sedikit pun.
Sejak tadi, pamanku memang terlihat kaku, tak sekalipun senyum muncul di wajahnya walau kata-katanya terdengar biasa saja.
Aku tahu itu pura-pura ramah, tapi dinginnya terasa menusuk. Keesokan paginya, pukul delapan, mobil kami sampai di rumah itu.
Seharusnya bisa lebih cepat, tapi macet parah membuat semuanya molor. Begitu turun, seorang wanita menyambut. Matanya menelitiku dengan tatapan samar, dingin.
Dia pasti istri paman, pikirku. "Ayah sudah pulang, ya?" tanya wanita itu dengan suara datar.
Beno, pamanku, memperkenalkan, "Arya, ini Lusi, istriku. Sayang, ini ponakanku yang sebelumnya kuberitahu."
Aku tersenyum canggung, mengulurkan tangan, lalu berusaha mencium punggung tangannya sebagai tanda hormat. Tapi tangan itu tak dijangkau, malah diambil Lusi dengan cepat, lalu ia meraih tangan pamanku dan masuk ke dalam rumah, seakan menolak kedatanganku tanpa kata.
Di balik pintu, rasanya ada bisik-bisik dingin yang tak kuucapkan. Aku menggigit bibir, tahu betul, ini bukan penolakan biasa. Ini sakit yang tak berbekas, tapi menghancurkan.
Aku masih berdiri terpaku di balik pintu, menahan diri untuk tak melangkah masuk. Harga diriku menuntut aku menunggu perintah, bukan menyerbu seenaknya.
Waktu berlalu lama, satu jam terasa seperti seabad. Tanganku mulai meraba kantong, menggenggam sebatang rokok yang ingin kuhisap, tapi aku menahan diri.
“Ini ujian sabar, jangan gegabah,” batinku.
Jengkel menyelubungi hati, sampai aku hampir membalikkan badan dan pergi. Tiba-tiba, langkah cepat seseorang hampir menabrakku.
Seorang gadis berdiri di depanku, matanya menatap penuh ingin tahu, seperti sedang mengamati makhluk asing yang aneh. “Pengemis?” tanyanya tajam, suaranya menggantung di udara.
Aku menatap balik dengan tajam, nada suaraku berubah dingin, “Kalau gue pengemis, berarti lo 4njing gue.”
Mata gadis itu melebar, suaranya tercekat, “Kamu…?”
Aku sudah melangkah maju, sedikit menggertak, “Tampar sekali, lo bakal gue perkaos.”
Dia menj3rit, “Pergiiiii…!”
Aku mendengar suara pamanku yang tiba-tiba bersuara, “Ada apa ribut-ribut?” Hatiku langsung berdebar.
Gadis itu lantas berlari, memeluk pamanku dengan panik. “Ayah, tolong Ayah, dia gertak aku...” Suaranya bergetar penuh ketakutan.
Dalam hati aku bergolak, jika pamanku adalah ayahnya, berarti kami sepupu. Tapi mengapa sikapnya begitu menyebalkan?
“Arya, kenapa kamu masih di luar? Kenapa tidak masuk?” tanya pamanku dengan nada lembut tapi tegas.
Aku menjawab gugup, “Maaf paman, dari awal saya datang, saya belum dipersilakan masuk.” Gadis itu menatapku ragu, lalu bertanya, “Ayah? Dia benar Arya, sepupuku?”
“Benar, Sayang,” jawab pamanku mantap.
Aku terdiam sejenak, berpikir tentang ucapan pamanku yang menegaskan bahwa aku tak perlu merasa asing di sini. “Arya, seharusnya kamu langsung masuk saja. Rumah ini anggap rumahmu juga. Tak mungkin pamanmu menjemput dari jauh jika tidak peduli,” kata pamanku dengan suara hangat.
Sebagian kegelisahanku mulai mereda, walau hatiku masih berat saat melangkah masuk.
Sepupuku menoleh, “Oiya, Arya, kamu tidur di kamar belakang, jangan naik ke lantai dua, kamu bahaya buatku”
Aku menelan ludah, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya hilang.
"Tep0s, ngga minat. " Ucapku singkat, tapi berhasil mengubah kulit wajahnya yang putih menjadi merah padam.
*******
Setelah meletakkan tas di sudut kamar yang sempit, aku menarik napas panjang, menatap sekeliling dengan rasa gelisah yang tak tertahankan. Udara dalam kamar terasa pengap, membuatku semakin tidak betah.
Dengan suara lirih, aku pamit, “Aku keluar sebentar, jalan-jalan saja.”
Tawaran motor sempat menggelitik pikiranku, tapi bayangan tersesat di jalan asing membuatku memilih berjalan kaki saja.
Langkah kakiku terayun pelan di trotoar yang mulai ramai oleh hiruk-pikuk kota. Asap rokok mengepul di antara jemariku yang gemetar, satu b4tang habis, segera kunyalakan lagi tanpa jeda.
Setiap isapan seolah mengisi kekosongan dalam d4da yang mulai berat. Mata tajamku memperhatikan setiap wajah yang berlalu-lalang, tapi hati tetap terasa kosong.
