1 VS 2
Aku baru saja ingin melerai ketika tiba-tiba tiga siswa masuk dan langsung menyerang pria yang sedang mengganggu Ningsih.
Ketiganya dengan cepat menyerang siswa itu, dan aku berdiri membeku di tempat. Haruskah aku ikut campur? Ataukah membiarkan ini terjadi? Sebuah dilema memenuhi pikiranku, aku bingung menentukan langkah yang benar.
Namun, aku semakin terpaku saat melihat siswa itu, meski dikeroyok tiga orang, dia masih bertahan. Ada kekuatan aneh dalam dirinya yang membuatku penasaran.
Satu dari ketiga siswa itu sempat memukul bagian belakang tubuhnya, tapi pukulan itu seperti angin lalu.
Dia melawan dengan gigih hingga akhirnya ketiga lawannya tumbang satu per satu.
"Pengecut... Udah keroyokan masih kalah, cuihh," ucapnya dengan suara dingin sambil melangkah pergi dengan percaya diri.
Aku hampir ingin bertepuk tangan, tapi aku sadar ini bukan saat yang tepat. Ketiga siswa yang kalah bergeser pergi, wajah mereka dipenuhi rasa sakit dan malu. Rasa penasaran ini terus menggema dalam pikiranku. Siapakah dia sebenarnya? Dengan rasa ingin tahu yang tak tertahankan, aku mendekati Ningsih.
Saat Ningsih kembali duduk, aku berdiri di samping meja dengan tangan bertumpu, mencoba menahan rasa penasaran yang mulai mengganggu pikiranku. "Kamu nggak apa-apa?" tanyaku pelan.
Matanya menoleh, dan dalam sekejap kami saling bertatapan. Entah mengapa, bola matanya tampak semakin dalam dan penuh cerita yang belum terucap. "Aku baik-baik saja," jawabnya datar, lalu kembali menatap lurus ke depan seperti menutup rapat sebuah pintu yang ingin kubuka.
"Yang ganggu kamu tadi, pacar atau?" Suaraku tanpa sadar terdengar sedikit terburu-buru.
Ningsih menggeleng, "Sepertinya kamu salah paham, dia kakak aku." Jawaban itu membuatku mengernyit bingung, lalu aku garuk-garuk kepala tanpa kata.
"Kok kasar sama kamu?" Tanyaku, menyimpan keresahan yang belum hilang.
Tiba-tiba, Ningsih berbalik menghadapku, dan aku bisa melihat ketegangan yang perlahan menguar dari raut wajahnya.
"Dia mencoba membujukku pulang ke rumah. Aku sudah tiga hari meninggalkan rumah," katanya dengan nada yang seolah ingin meyakinkan diri sendiri juga aku.
Aku terkejut, ingin tahu apa sebenarnya yang membuatnya sampai sejauh itu. "Hah, kok bisa?" tanyaku spontan, rasa ingin tahuku membuncah.
Ningsih menyeringai kecil dan menyahut, "Kamu kepo juga, ya." Aku cuma bisa tertawa kecil, lalu kembali menggaruk kepala, bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang tersembunyi.
“Aku sama kakakku cuma tinggal berdua di rumah,” katanya pelan, mata menatap jauh seperti menyimpan beban berat. “Aku yang ninggalin rumah, ya, karena kesalahannya sendiri. Dia nggak pernah mau dengerin aku. Hampir tiap hari, masalahnya nggak kelar-kelar di sekolah.” Sinar mata itu berpendar kesedihan dalam diam.
Aku mengerutkan alis, mencoba mengerti sekaligus memberi penghiburan. “Tapi kamu juga jangan buru-buru ninggalin rumah, kan? Kita masih remaja, emang nggak suka diatur, tapi masa sekolah itu harus dinikmatin.” Suaraku agak berat tapi tetap berusaha meyakinkan. “Lagipula, pasti kakakmu khawatir, makanya tadi dia agak kasar.”
Ningsih menahan napas, wajahnya berubah getir. “Siapa, coba, yang betah jadi adeknya? Aku selalu dianggap sebagai adik dari kakak berandalan itu. Sampai-sampai, gara-gara dia, nggak ada cowok yang mau deketin. Hmm, tapi kok kamu berani ya?”
Aku tersenyum tipis, “Ya, karena aku rasa kita bisa berteman. Serius deh, kita bisa.”
Ningsih menunduk, gelisah. “Entahlah. Kakakku itu emosian banget, susah ditebak. Aku nyesel jadi adeknya dia.” Dia menghela napas panjang, seakan melepaskan semua kepahitan yang menggunung di d4da.
*****
Kini aku berdiri di parkiran sekolah, dengan lengan kusilangkan sambil sesekali melirik ke arah gerbang keluar.
Pikiran tentang ucapan kekasih Nadia terus berputar di kepalaku—janji balas dendam yang menusuk seperti duri tajam.
Aku tahu, ini bukan sekadar ancaman kosong. Namun, aku juga tak merasa takut. Sebaliknya, ada adrenalin yang mengalir deras di dalam diri ini, seolah membangkitkan semangat bertarung yang selalu kurindukan.Aku menghela napas panjang, merasakan ketegangan yang menggerayangi otot-ototku. “Kalau memang harus berkelahi, lebih baik sekarang daripada berlarut-larut,” gumamku pelan.
Bagiku, perkelahian bukan hanya soal kekerasan, tapi juga pembuktian diri—menyelesaikan masalah dengan cepat, tegas, dan mengukir kemenangan sebagai tanda dominasi.Aku menundukkan kepala sejenak, membayangkan wajah lawanku yang mungkin akan ku hadapi nanti. Tangan mengepal erat, kuku mencengkeram kulit telapak dengan kuat. Hati berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena g4irah yang membara.
Aku tahu, setelah ini, jika pertarungan terjadi, semua akan berakhir, baik dendam, amarah, maupun ketidakpastian.Benar saja, tak lama kemudian, tiga orang mendekatiku. Di antara mereka, ada Nadia, pacarnya Dani, dan seorang pria yang sama sekali asing di mataku.
Sejenak mataku bertemu dengan Nadia, yang melemparkan senyum sinis penuh ancaman. "Arya, mending lu sekarang sujud dan minta maaf ke Dani, atau kamu akan menyesal," ujarnya dingin.
Hatiku bergejolak. Aku ingin sekali melompat dan melawan Dani, pacarnya yang berdiri di sampingnya.
Tapi, aku harus tenang dulu. “Kira-kira apa yang terjadi kalau aku tidak mau?” tanyaku dengan nada dingin.
Nadia tampak kesal, lalu berucap, “Bang Indra, dia sepupuku, nanti jangan terlalu kejam, ya.”
Sepupu? Aku tercengang, tapi juga penasaran.
Di satu sisi kenapa Indra harus ikut campur di antara aku dan pacarnya Nadia? Apa dia memang sekadar pembela atau ada maksud lain?
“Jadi, lu pengecut juga ya? Ngajak buat keroyokan,” aku menoleh ke Dani sambil menantang.
Dani tertawa, bangga dengan kehadirannya di sana. “Indra cuma datang buat bantu, bilang aja takut,” katanya sok berani.
Tepat ketika aku menoleh ke arah Indra, tiba-tiba tinjunya meluncur deras menghantam wajahku. D4daku terpental, tubuhku terjungkal ke belakang, lalu jatuh ke selokan berair kotor.
Pandanganku buram, kupijakkan tangan untuk menopang tubuh, tapi terasa sakit menusuk di pinggang. Bau comberan langsung menyeruak, membuatku sejenak mual. Aku menarik napas berat, berusaha bangkit perlahan.
“Segitu doang?” suaraku serak saat berdiri tegak di hadapan Indra yang menatapku dengan senyum sinis.
Sebelum dia sempat menyerang lagi, kakiku sudah melangkah maju, menghantamnya hingga dia ikut terpelanting ke selokan. Namun, belum sempat aku bernafas lega, Dani melesat dari belakang, menyeretku kembali jatuh ke dalam selokan yang sama.
Indra berdiri lagi tanpa menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Aku terengah-engah, tangan yang kujadikan tumpuan berdarah, rasa nyeri di pinggang semakin menekan. Tapi meski tubuh ini bergeming, mereka belum puas.
Serangan beruntun datang menyambut, pukulan dan tendangan yang menggerogoti tubuh. Aku menggigit bibir, menahan sakit sambil mengangkat tangan menangkis. Meski terpukul, aku tetap bertahan, tak mau menyerah di tengah badai pukulan ini. Sebenarnya Dani tidak ada apa-apanya bagiku, tapi Indra lumayan juga, membuatku cukup kewalahan.
Indra mengerutkan kening, napasnya memburu. "Woeee bangsaat, bau bangettt anjirrr!" ujarnya sambil menutup hidung dengan tangan. Aku tersenyum nakal, melangkah mendekat lalu membuka pelukan.
"Sini pelukan," godaku. Wajah Indra mengerut makin kesal, tapi dari matanya terlihat dia sudah tak kuat menahan bau comberan yang melekat di tubuhnya.
"Najisssssss...!" gerutunya kesal, berusaha menjauh.
Tapi belum puas dengan reaksinya, aku segera berlari ke arah Dani. Dengan cepat aku menarik lengannya paksa, lalu menendangnya hingga tubuhnya terjungkal masuk selokan kotor.
"Aduhhhh, ayangggg sakitttt...." Dani mengeluh dengan wajah memerah.
Nadia melirik dari samping dengan nada kecewa. "Aduhh, sayanggg, ayo bangkit! Katanya mau balas dendam dan bikin Arya berlutut."
Aku tertawa mengejek. "Pacarmu kurang jago, cantik..!"
Indra melirik dengan mata merah, masih setengah terengah-engah. "Eh, mau lanjut?" tanyaku menantang. Dia mengusap wajahnya yang kotor sambil menarik napas.
"Nantangin?" balasnya, suara sedikit bergetar tapi penuh semangat. Meski badan sudah kecipratan selokan, ternyata pria manja ini belum menyerah.
"Ya soalnya kayak ngegantung, cuyy..." suaraku serak, berusaha tetap santai meski badan sudah ngos-ngosan.
Rasa nyeri merayap ke seluruh tubuh benturan keras tadi masih meninggalkan jejak, tangan perih mengelupas, dan bajuku penuh kotoran setelah jatuh ke selokan.
Dalam hati, aku sadar ini adalah pertarungan terburuk yang pernah kualami.
Tapi rasa sakit itu tak cukup membuatku mundur. Indra menatapku dengan mata tajam, senyum sinis tersungging di bibirnya.
"Tapi lu memang lumayan juga, dalam bertarung," katanya, nada puas tak bisa disembunyikan.
Aku membalas lirikan itu, "Intinya gue emang keras kepala, bro." Mataku lantas mengarah ke
Dani yang sedang ngobrol dengan Nadia, tanpa peduli dengan keributan kami. "Tapi teman lu itu, emang payah." Suaraku meninggi sedikit, penuh tantangan.
