Bab 06
"Kenapa, Bu?"
"Sejak ibu hamil anak pertama sampai sekarang, ibu enggak pernah minum ginian. Jadi enggak tahu aturan minumnya," ucap Bu Endah sambil memegang sekotak susu ibu hamil.
"Oohh, itu ada aturannya, kok. Ibu minum pagi sebelum sarapan dan malam sebelum tidur," ujar Elena sambil menunjukkan aturan pakai yang ada di belakang kotak susu.
"Ooohh gitu," sahut Bu Endah sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Jantungku berdegup kencang setelah melihat ekspresi wajah Bu Endah tadi, aku kira beliau membatalkan niatnya itu.
"Ehem! Bu, bukan aku enggak percaya sama ibu, tapi aku mohon jaga janin kami, ya," ujarku.
"Iya, Bad, ibu ngerti. Dari kalian ke sini dan memberi ini semua ibu paham kok maksudnya," sahut Bu Endah sambil tersenyum.
"Pokoknya ibu jangan memikirkan apapun, biaya persalinan, ini itunya biar kami yang nanggung. Pokoknya ibu fokus dengan kehamilan ibu ini, kalau di rumah tidak ada lauk atau apa datang saja ke rumah," ucap Elena.
"Nanti aku juga sering-sering ke sini kok untuk mengantar lauk beserta sayuran," timpalku.
"Enggak usah repot-repot, Badri, Elena, ibu jadi enggak enak," ucap Bu Endah dengan nada berat.
"Enggak apa-apa, Bu, kami ikhlas dan aku merasa ini sudah tanggung jawabku," ucapku.
Bu Endah terdiam dengan mata berkaca-kaca, setiap Bu Endah terdiam aku jadi khawatir. Khawatir akan semua ini di batalkan olehnya. Bukan karena biaya ini itu yang akan atau sudah aku berikan, tapi khawatir jika semua ini di batalkan.
Aku yakin Elena akan kecewa bahkan depresi jika kami batal mempunyai momongan, sedangkan belum apa-apa saja istriku sudah sibuk mencari-cari perlengkapan bayi.
"Oh, ya, hari ini ibu masak apa? Hari ini ibu pengen makan apa?" Tanya istriku dengan semangat, "Biasanya kalau hamil suka ngidam 'kan?" Lanjutnya.
"Iya, tapi aku sudah terbiasa memendam keinginan, El, mau gimana lagi, kebutuhan lebih penting," sahut Bu Endah sambil meringis.
"Bu, tolong katakan ibu pengen apa, nanti biar kami cari. Ini anak kami, Bu, jangan sungkan," ucap Elena.
Elena memegang tangan Bu Endah, berharap wanita itu mengutarakan keinginannya. Tapi dari bentuk mimik wajah, Bu Endah enggan mengatakannya.
"Oh, ya, ini ada handphone zaman dulu milikku, ibu bisa pakai. Kalau ada apa-apa cari saja namaku kalau tidak nama istriku," ucapku sambil memberikan handphone berukuran kecil.
"Jangan lupa kalau ibu pengen apapun, telpon kami, ya, Bu. Pokoknya ibu jangan sungkan," timpal Elena.
Aku tak bisa berkata melihat wajah istriku kini bersinar cerah, kebahagiaan yang selama ini terpendam kini telah terbuka lewat orang lain.
Dengan ulet Elena mengajarkan cara memanggil dan menjawab panggilan, dengan semangat Elena mempraktikkan bagaimana cara memegang handphone karena selama ini memang Bu Endah tidak memilikinya.
Setelah semua selesai aku dan istriku pamit pulang, sesampainya di rumah istriku langsung berjalan ke arah dapur.
"Dek, mau ngapain?" Tanyaku pada istriku yang tengah membuka kulkas.
"Aku mau buat asam manis ikan kakap, Mas. Pasti Bu Endah suka," sahutnya.
"Tapi kalau masak untuk Bu Endah harus banyak, sayang. Nanti yang ada Bu Endah enggak makan," ucapku sambil duduk di kursi yang ada di dapur.
"Iya, ya, Mas. Cukup enggak ini ada tiga ekor," ucapnya sambil membuka toples kotak berukuran sedang, "Tunggu, aku punya ide," lanjutnya sambil mengambil handphone yang ada di tas miliknya.
"Pesan?" Tanyaku.
Elena menganggukkan kepala.
Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat semangatnya. Padahal sebelumnya dia termasuk istri manja, setelah bepergian pasti yang ada rebahan sambil pegang gawai.
Aku bersyukur juga setelah mendapat anugrah ini, sepertinya istriku tidak lagi fokus dengan gawainya.
"Ya sudah, mas istirahat dulu, ya, Dek," ucapku sambil beranjak.
"Ih, enak saja, bantuin itu kupasin bawaaang," rengeknya.
'yaahh ... Ternyata manjanya masih sama,' batinku.
"Nih, kalau di tambah rebusan pucuk singkong pasti enak," ucap istriku sambil membawa pucuk singkong.
"Eh, dari mana itu, Dek? Tetangga?" Tawaku lepas.
"Ya, enggak apa-apa sih, Mas, kan memang sudah di izinkan sama tetangga. Elena, kalau mau masak pucuk singkong ambil saja, nah gitu."
"Masa?"
"Iya, beneran loh," ucapnya meyakinkan.
Aku meringis geli, tingkah istriku kini seperti anak kecil yang menggemaskan. Semakin cinta aku padanya.
"Assalamualaikum, mbaaak, pakeett," ucap salam dari arah luar, "Ini pesanannya, Mbak," lanjutnya.
"Waalaikumussalam, sebentar," sahut Elena sambil mengelap tangannya yang basah.
Perbumbuan sudah selesai aku blender, dedauanan yang wangi sudah ku persiapkan serta satu batang serai sudah ku geprek. Seringnya aku membantu istriku masak, sampai hafal dengan perbumbuan ini. Hiks.
Dengan sigap Elena memasak asam manis ikan kakap, semoga saja seperti harapannya, Bu Endah suka.
"Mas, ini antarkan, ya. Aku mau mandi," ucap Elena sambil memegang rantang yang tersusun rapi.
"Oke siap, Bos," sahutku.
Aku mematikan layar handphone lalu mengambil rantang itu dari tangan istriku, dengan santai aku berjalan ke arah rumah Bu Endah.
"Badri, mau ke mana?" Tanya Gayus.
"Eh, sudah pulang? Gimana kabarnya?" Tanyaku sambil menghentikan langkah, "Mana bayimu?" Tanyaku.
"Masih di rumah sakit."
"Loh? Sebenarnya sakit apa?" Tanyaku.
"Bukan sakit, hanya saja kurang bulan jadi harus di inkubator dulu."
"Bukannya sudah cukup bulan, ya?"
"Be-belum, ah," jawabnya dengan terbata.
Melihat ekspresi wajah Gayus seperti itu membuatku merasa tak enak, seperti ada yang di tutup-tutupi.
Tampak dari luar Nita tengah menangis, "Itu Nita kenapa?" Tanyaku.
"Hmmm, rindu saja dengan bayinya," sahut Gayus sambil melanjutkan menyapu teras, "Ya sudah aku masuk dulu, ya," ucapnya.
Tanpa basa-basi lagi Gayus masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu sedangkan aku masih berdiri di sana, tidak seperti biasanya.
Sesampainya aku di rumah Bu Endah, posisi pintu rumah tertitup dan terlihat sepi namun terdengar suara berisik di dalamnya.
Tok! Tok!
"Assalamualaikum, Bu ...," Ucapku sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumussalam," jawaban dari dalam.
Kriieett ...
Pintu terbuka.
"Eh, kamu, Bad, sini masuk," ucap suami Bu Endah.
"Terima kasih, Pak," sahutku sambil mengikutinya dari belakang.
"Ini masih pada makan, sini sekalian makan," ucap Bu Endah.
"Wah kebetulan, aku ke sini mau ngantar ini, Pak, Bu," ucapku sambil membuka rantang satu persatu.
Aku terhenyak melihat lauk yang di makan oleh mereka. Seperti telur tapi bukan, seperti tepung tapi warna telur.
"Wah, ikan, Bu," ucap Riyan dengan nada semringah. Bu Endah tersenyum getir.
"Enak, ya, lauk om Badri, sedangkan kita satu butir telur di campur tepung. Lebih banyak tepungnya jadi telurnya enggak terasa," celoteh Laras.
"Huss, enggak boleh gitu," ucap Bu Endah.
Sakit hatiku mendengar titur kata anak ke dua Bu Endah, ternyata selama ini mereka hidup dengan seperti ini. Ya Allah.
Aku menyusun kembali rantang yang sudah kosong dengan mata berkaca-kaca melihat lahapnya anak-anak Bu Endah makan, sesuai harapan, Bu Endah makan ikan itu walau hanya kebagian satu potong saja.
"Bad, sini rantangnya biar ibu cuci dulu," ucap Bu Endah.
"Enggak usah, Bu, biar nanti Elena saja yang cuci. Aku pamit, Pak, Bu, Assalamualaikum," ucapku sambil tersenyum.
"Terimakasih, ya, Bad, Waalaikumussalam," sahut keduanya.
"Om, sering-sering, ya," timpal Laras.
"Huss ..." Bu Endah menepuk paha Laras yang ada di dekatnya.
"Aman," sahutku sambil tersenyum.
Ya Allah, ke mana saja aku selama ini? Melihat pemandangan tadi seharusnya aku sangat bersyukur padamu.
Malam yang sepi membuat bulu kudukku merinding, enggak seperti biasanya yang banyak orang berlalu lalang. Pada ke mana mereka semua?
"Tapi aku malu, Mas!" Teriak Nita.
"Malu?" Sahut Gayus dengan suara keras, tidak biasanya Gayus bersikap seperti itu, "Itu anak kita dan itu darah daging kita, kamu bilang malu? Seharusnya aku yang malu karena istriku telah melahirkan seorang anak yang cacat!"
'astagfirullah,' batinku.
Yang tadinya langkahku pelan kini terhenti begitu saja.
"Aku juga tidak mau memiliki anak su*bing itu, Mas!" Teriak Nita.
'Ya Allah,' batinku.
"Ternyata anak Gayus su*bing," gumamku sambil melanjutkan langkahku.
Aku mempercepat langkah untuk memberitahu berita ini pada istriku, pasti istriku tidak akan minder lagi jika bertemu dengan Nita.
Bukan aku senang Gayus dan Nita memiliki anak yang kekurangan fisik, tapi aku hanya ingin menumbuhkan semangat untuk istriku yang selama ini kena beban mental.
"Sayang! Sayang!" Panggilku sambil masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum," sahutnya sambil meletakkan handphone di meja.
"Waalaikumussalam," ucapku, "Eh kebalik," lanjutku sambil duduk di meja makan yang sudah tersedia makanan dan istriku sudah menunggu makan malam.
"Sayang, masuk rumah kok enggak salam coba itu, ada apa?" Tanyanya penasaran.
Aku duduk dengan tubuh terasa lemas, nafas tersengal, dan tangan gemetar. Elena memegang tanganku sambil cekikikan.
"Ada apa, Mas? Ada hantu?" Tanyanya sambil terus tertawa.
"Dek, mas bawa kabar yang enggak enak," ucapku dengan nada lirih.
"Hah? Kenapa, mas? Bu Endah kenapa?" Tanyanya panik.
"Bukan. Gayus."
"Gayus? Ada apa dengannya?"
