Bab 05
"Istriku di bolehkan pulang tapi bayiku belum. Jadi aku bingung harus gimana," ucapnya dari seberang.
"Ooh, okelah, nanti istriku yang nemenin istrimu di rumah," ucapku.
"Terima kasih, ya, Bad, Assalamualaikum,"
"Iya, sama-sama, Waalaikumussalam,"
Panggilan berakhir...
"Ada apa, mas?" Tanya Elena.
"Nita pulang tapi bayinya belum di bolehkan pulang, Dek." Aku mengeluarkan motor dari dalam rumah untuk pergi ke sekolah.
"Kenapa?" Istriku mengikutiku dari belakang saking penasaran.
"Entah, mas pun lupa tanya, Adek temenin Nita nanti di rumah, ya?"
"Enggak ah."
"Kenapa?"
"Dia kan punya gank, Mas. Punya temen klub yang tiga atau empat orang itu, kenapa enggak minta tolong ke mereka coba?"
Aku tersenyum, tidak salah istriku dia bersikap seperti itu. Karena selama ini memang Nita bukanlah teman istriku melainkan musuh dalam selimut.
Entah kenapa gank Nita selalu saja mengusik hidup istriku padahal istriku selalu baik dengan mereka, istriku juga tidak bisa melawan jika ada selisih paham dengan Nita mengingat Gayus adalah sahabatku.
"Inget enggak sih, mas, waktu aku nangis gara-gara mereka ngebahas soal mandul di depanku? Sakit hati, tau," ucap istriku dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, tapi mau gimana lagi, Dek? Adek tahu kan kebaikan Gayus? Mas enggak enak kalau tahu dia kesusahan terus kita enggak bantu," ucapku dengan nada lirih seolah memohon.
"Salah pilih istri dia tu, orang sebaik dia punya istri enggak ada akhlak!"
"Enggak boleh gitu, loh, Dek," ucapku.
"Hmmm, kapan dia pulang?"
"Nanti, di lihat-lihat saja dari teras Dek, kan kelihatan itu rumahnya," ujarku.
"Okelah," ucap Elena dengan nada berat.
Aku berpamitan berangkat mengajar, dalam perjalanan pikiranku pergi entah kemana. Aku yakin, pasti nanti ada cerita dramatis yang membuat istriku menangis.
* * *
Aku duduk termangu mendengar rekaman suara yang masih di putar di handphone istriku yang tadi dia dapatkan dari rumah Nita.
"Iya, Mel, aku saja sampai KB, takutnya hamil lagi."
"Ya ampun, secepat itu, ya, kita kalau pengen punya anak."
"Bukan pengen, tapi malah kebobolan kalau tidak di halangi sama KB."
Suara tertawa terbahak-bahak.
Di sana, ada suara Nita beserta teman-temannya sedangkan suara istriku tidak ada. Di situ aku tahu bahwasannya istriku tengah merasakan sakit hati akibat dari sindiran mereka.
Aku menghela nafas panjang sambil mematikan rekaman itu, tidak sanggup rasanya aku melanjutkan celotehan mereka, cemoohan mereka membuat hatiku membara.
"Aku mandi dulu, Mas," ucap Elena dengan air mata berlinang. Aku hanya menganggukkan kepala dan tak bisa berkata apa-apa.
Belum ada cara untuk memberitahu Gayus betapa jahat kelakuan istrinya pada Elena, sebenarnya tidak tega juga jika aku memberitahu semua itu karena Gayus sangat sayang pada istrinya.
"Sudah selesai mandinya, sayang?" Aku beranjak dari duduk setelah istriku baru keluar dari dalam kamar.
"Sudah, Mas," jawab Elena singkat. Istriku tengah sibuk menyisir rambutnya.
"Oh, ya, tunggu sebentar." Aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil sesuatu yang ku sembunyikan tadi di lemari, "Taraaaa," ucapku menenteng dua kantong plastik berukuran besar berwarna putih susu setelah kembali di hadapan istriku.
"Apa itu, Mas?" Tanya Elena sambil tersenyum.
"Lihat ini," ucapku sambil duduk dan membuka salah satu kantong plastik itu.
"Ya ampun, susu ibu hamil?" Ucap Elena tertawa lepas, "Kok kamu sampai kepikiran coba," lanjutnya.
"Iya, coba deh bayangkan, anak yang di kandung Bu Endah itu anak kita, sayang," ucapku.
Elena masih tertawa lepas, tak bisa di hindari tawa bahagia nya dengan air mata yang mengambang di kelopak mata.
Sepulang mengajar tadi aku membeli susu hamil serta vitamin dan juga buah-buahan, berhubung Bu Endah bilang dari awal, aku juga harus menjaga janin itu sejak dini.
"Iya juga, ya, mas, tapi ...," Ucapan Elena terhenti, istriku memelukku dengan erat, "Mas cuma sayang sama janin itu kan bukan sama, Bu Endah?" Lanjutnya.
Tawaku lepas mendengar ucapan istriku, pelukannya ku balas dengan pelukan kasih sayang dan juga sebuah ciuman di ubun-ubun.
"Ya, enggak lah sayang, masa iya kamu cemburu sama Bu Endah, dengar, mulai saat ini kita harus memperhatikan Bu Endah dengan memandang janin yang ada di rahimnya, oke?" Ucapku memandang wajah istriku yang memerah. Elena mengangguk dengan tersipu malu.
Aku dan Elena bertamu ke rumah Bu Endah, sesampainya di halaman rumahnya aku melihat ada seorang anak berusia tiga tahun tengah duduk di tengah-tengah pintu hanya memakai kaus dalam dan juga celana dalam.
Di sudut halaman ada seorang anak laki-laki berusia lima tahun tengah membelah kayu bakar menggunakan sebuah kapak. Baju kaos oblong yang di kenakan sudah lusuh, celana pendek yang di kenakan juga sudah tak pantas untuknya lagi.
"Riyan, mana ibu?" Tanya Elena, langkah kami mengarah padanya.
"Ada di dalam, om, tante," sahutnya.
"Rajin kamu, ya, om saja mungkin enggak bisa membelah itu," ucapku sambil tersenyum memandang ada beberapa kayu berukuran sedang yang sudah di belah.
"Bukan mungkin enggak bisa, mas, tapi memang enggak bisa," timpal istriku dengan nada mengejek.
"Apasih," ucapku pada Elena sambil mencubit pinggang nya. Elena tertawa lepas.
"Bu! Ada om Badri sama tante Elena," teriak Santi dengan kepala mengarah ke belakang. "Silahkan duduk, om, tante," lanjutnya.
Aku dan istriku tersenyum, kami duduk di sebuah tikar kecil yang terbuat dari daun pandan. Lantai yang sudah pecah sana sini, membuat rumah ini tampak kotor.
Anak bungsu Bu Endah mendekati ku, tapi dia tidak mau di pegang. Hanya saja matanya terus memandang kantong plastik yang ada di hadapanku.
"Kamu mau?" Tanya Elena yang peka. Denis mengangguk.
Elena mengambilkan sebuah apel berwarna merah, setelah mendapatkan buah itu Denis lari ke depan.
"Eh, ada tamu," ucap Bu Endah dengan ramah.
"Iya, tamu jauh, Bu," sahutku sambil menjabat tangannya.
"Ada apa, ya?" Tanya Bu Endah dengan raut wajah terheran-heran melihat kami bertamu ke rumahnya.
"Ini, Bu—" ucapan Elena sambil membuka kantong plastik terhenti karena mendengar suara tangisan dari arah luar.
"Santi, kenapa adeknyaaa," teriak Bu Endah.
"Apelnya di ambil Santi, Buuu," teriak Riyan.
"Santiii ..."
Teriakan demi teriakan terdengar jelas di gendang telingaku, sepertinya memang begini jika banyak anak. Pasti rumah selalu ramai.
"Sini-sini, masih ada lagi kok," ucap Elena.
Tidak lama kemudian Santi dan Riyan berlari ke arah kami. Betapa semringah wajah mereka ketika di beri buah apel satu persatu.
"Sudah besar kok, enggak malu," ucap Bu Endah dengan nada lirih.
"Sudah Bu, enggak apa-apa kok. Ini aku ke sini mau antar susu dan juga buah-buahan ini. Ini untuk anak-anak buahnya, Bu. Dan yang ini khusus untuk ibu tapi tolong di makan, ya, Bu," ucap Elena sambil mengeluarkan satu kantong plastik berukuran sedang berisi beraneka jenis buah.
"Tapi, Elena ..."
