Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 07

"Anak Gayus su*bing," ucapku.

Elena terpaku.

"Sayang, sayang .." Aku menggoyang-goyangkan lengannya, akhirnya istriku mengerjapkan mata setelah tersadar.

"Aku enggak tahu harus senang atau sedih mendengar ini, mas. Kasihan mereka tapi ini balasan dari kesombongan Nita selama dia hamil."

"Nah, itu dia, Dek. Dari tadi mas pun bingung."

"Terus sekarang anaknya sudah pulang?"

"Belum, mungkin saudaranya yang gantikan Gayus menjaga di rumah sakit. Karena besok Gayus masuk kerja."

"Aku menunggu bagaimana ekspresi Nita jika bertemu denganku. Tapi, waktu dia pulang kenapa ekspresinya itu biasa saja?" Elena menopang dagu seolah berpikir.

"Kan belum di kasih tahu, Dek, takutnya syok. Memang waktu lahiran bayinya langsung di pindahkan ke ruang bayi, mas saja yang di sana belum lihat seperti apa bentuknya."

"Gayus?"

"Gayus sudah lihat dari awal, tapi dia diam saja. Waktu itu mas di suruh jaga Nita, dia di panggil doker mungkin ngebahas soal itu."

"Ya Allah, kasihan Gayus."

"Mungkin sudah nasip dia, Dek." Aku dan istriku diam dengan pikiran masing-masing.

Aku dan Elena tidak bisa berkata lagi, Elena menyiapkan sebuah piring lalu di isi dengan porsiku.

"Dek, kurangilah, mas enggak selera makan," ucapku.

"Mas enggak boleh gitu, sebentar lagi mau jadi bapak jadi harus jaga kesehatan."

Aku hanya diam, perjalanan kehidupan memang banyak ragam. Allah membuktikan bahwa Dia ada di sekitar kita.

Aku dan Elena menyantap makan malam dengan lahap mengingat kami akan di beri momongan lewat Bu Endah.

"Oh, ya, Anton sudah pulang belum, ya?" Tanyaku.

"Sudah mungkin, dari tadi Siska nelpon, tapi belum sempat aku jawabnya. Sibuk masak sih," ucap istriku sambil mengunyah.

'tumben, biasanya jangankan sambil masak, sambil makan pun bisa mereka telponan,' batinku.

"Ya nanti kalau sudah santai bisa di telpon balik, Dek," ujarku dengan mulut yang penuh nasi.

Sudahku alihkan pikiran ini masih belum juga hilang, masih membayangkan betapa beratnya cobaan Gayus. Ya Allah, berilah ketabahan untuk sahabatku ini. Amiiinn ...

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk anak Gayus, tapi aku sudah tahu bagaimana hancurnya perasaannya.

* * *

Sreett ...

Aku menarik rem yang ada di tangan sebelah kiriku ketika melihat Gayus hemdak keluar dari dalam rumah dengan pakaian rapi.

"Yus! Mau ke mana?" Tanyaku.

"Mau jemput bayiku, Bad," sahutnya dengan ramah. Di susul Nita di belakangnya dengan wajah cemberut.

"Kok enggak pakai mobilnya, Pak—"

"Hemat biaya, Bad. Lagian Nita juga sudah sehat, ya kan sayang," ucapnya sekilas memandang Nita yang tengah mengenakan sendal. Lagi-lagi Nita hanya mengangguk, sikap Nita yang diam tanpa memandangku membuat aku merasa tak enak hati.

"Hati-hati, ya. Aku duluan," ucapku sambil perlahan menarik gas motor.

"Oke."

Tidak seperti biasanya, Nita sekarang menjadi pendiam. Yang tadinya cerewet, judes, jutek, hari ini hanya diam. Besar kemungkinan dia masih belum menerima dengan kondisi anaknya.

Aku meringis sambil memandang kantong plastik yang ku bawa sambil melangkah ke arah rumah setelah beberapa meter jauh dari mereka.

"Assalamualaikum, Deeek," panggilku sambil membuka pintu.

"Waalaikumussalam, sudah pulang, mas," sahut Elena sambil berjalan ke arahku.

"Sudah. Dek, antar ini ke rumah Bu Endah," ujarku sambil memberikan kantong itu pada istriku.

"Apa ini, Mas?" Tanya Elena.

"Vitamin, mas tadi ke dokter cek tensi, jadi sekalian beli."

"Vitamin ibu hamil?"

"Bukan, vitamin ibu melahirkan."

Plok!

Elena menabok bokongku.

"Ih apaan, sakit tau," ucapku sambil meringis.

Elena tertawa terbahak-bahak, "Lagian orang serius nanya."

"Lagian, tau Bu Endah sedang hamil." Sahutku sambil mengelus bokong yang terasa pedas, "Eh, Dek, Gayus jemput anaknya loh," lanjutku.

"Oh, ya? Bisa jenguk dong nanti," ucap Elena sambil tersenyum.

Aku tak tahu apa maksud dari senyumnya itu, aku berharap Elena tidak merasa senang di atas penderitaan orang lain.

"Hmmm mas sekarang perhatian sama orang," rengek istriku dengan wajah jelek.

"Apaan sih," sahutku sambil memeluknya, "Sayang, bukan gitu. Coba deh tanamkan, mas tu perhatian sama calon anak kita."

"Iya-iya aku ngerti."

"Nah, itu ngerti, tapi kok—"

"Bercanda, sayang," potongnya sambil menutup mulutku.

Istriku mengikat kembali kantong plastik yang tadi dia buka sambil berjalan ke arah luar, sedangkan aku masuk ke dalam kamar.

Dreett ...

Dreett ...

Aku memandang handphone Elena yang bergetar di atas meja rias. Ku pandangi nama di sana yang pernah aku kenal.

"Nolan?"

Aku memandang foto lelaki itu, ya, lelaki itu adalah teman sekelasnya dulu tak lain dan tak bukan dia muridku dulu yang berpangkat sebagai ketua kelas.

Aku tidak menjawab panggilan, tidak sanggup untuk nerima kenyataan. Apa selama ini mereka saling tegur sapa di aplikasi hijau? Entahlah.

Aku hanya ingin positif thinking saja pada istriku, sejauh ini belum pernah dia melakukan hal aneh.

Ting!

Pesan aplikasi hijau masuk

[El, 200.000 saja. Yang kemarin habis.]

[Serius bakal gua ganti.]

Aku mengucek mata setelah membaca pesan itu. Ternyata benar, foto profil dari aplikasi itu Nolan. Tapi bersama seorang wanita.

Tidak bisaku pungkiri rasa panas dalam hati membuat tubuh ini lemah. Aku kembali keluar dari kamar lalu merebahkan tubuhku di sana.

"Maaas, kok belum ganti pakaiannya?"

Seketika mataku terpejam seolah tengah tidur.

"Ya ampun, sayang," ucap istriku sambil cekikikan.

Terdengar langkah kaki istriku menjauh tak lama kemudian dia kembali.

"Nolan-Nolan. Kalau gini caranya aku bisa bangkrut, untung saja untuk berobat anakmu. Kalau tidak, tidak bakal aku kasih pinjam," gumam Elena.

Seketika beban yang terasa seperti batu pecah seketika, rasa panas di dalam dada mulai mereda. Tubuhku mulai terasa ringan, mataku perlahan terbuka.

Aku menggeliat untuk menarik perhatian istriku dari handphone itu.

"Sayang, ganti dulu pakaiannya," ucap istriku.

"Iya, sebentar," sahutku sambil bermalas-malasan.

"Sayang, kasihan Nolan. Dia ..."

"Dia kenapa?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel