Bab 04
"Iya, itu dia mau periksa ke bidan. Kemarin dia jatuh waktu nyari rumput untuk kambingnya jadi perutnya sakit, kusuk sama Mbah Wiyem katanya ada isinya," ucap Elena menjelaskan.
"Ya ampun, anaknya kan sudah banyak. Anak yang ada saja masih sering terlantar, apalagi kalau di tambah?" Ucapku.
Elena tertawa lepas sambil menepuk bibirku, "Lemes bener ini bibir."
"Lah memang iya 'kan?"
"Tapi pasti Bu Endah bahagia, Mas, bisa kasih keturunan. Sedangkan aku? Kita sudah lama berumah tangga, tapi aku belum bisa hamil. Terkadang pengen tau mas ngerasain gimana gendong anak, di bikin susah sama anak, tertawa sama anak—"
"Namanya belum rezeki, Dek, mau gimana lagi," pungkasku. Aku menarik lengan istriku lalu memeluknya dengan erat, tak terasa air mata ini mengambang di sudut mata.
"Nanti aku enggak jadi ke rumah sakit, Mas," ucap Elena dengan suara parau.
"Kenapa?"
"Aku enggak enak badan, aku pengen di rumah saja," ucapnya.
Aku mengelus-elus punggung nya sambil menarik nafas panjang. Aku sendiri tidak tahu sampai kapan kami seperti ini, hanya tinggal berdua di rumah ini.
Lima tahun ini kami sudah berusaha, ke dokter, alternatif, sampai ke obat alami sudah kami coba. Tapi Allah masih belum mempercayai kami untuk memiliki seorang malaikat kecil.
"Aku malu, mas, selalu saja di tanya sama orang-orang. Udah ngisi belum?"
"Jawab saja, sudah, aku isi nasi tadi," sahutku.
Lagi-lagi Elena menepuk bibirku. Sudah berbagai cara aku menghibur Elena supaya tidak sedih, tapi selalu saja masih banyak orang-orang yang menyakiti hatinya.
Mereka tidak tahu betapa sakit hatinya jika belum di beri kepercayaan sama Allah, maka masih sering mengejek ataupun sering bertanya. Diam saja kenapa sampai kami bisa memberi kabar bahagia itu sendiri.
* * *
"Dek, kenapa?" Tanyaku pada Elena yang menangis sesenggukan di sofa, secepatnya aku memeluknya sambil memandang Bu Endah yang duduk di sofa seberang, "Ada apa ini, Bu?" Tanyaku pada Bu Endah.
Bu Endah hanya terdiam dengan kepala yang menunduk, lelah sepulang mengajar seketika hilang melihat istriku menangis seperti ini.
"Sayang, kenapa?" Tanyaku dengan lirih.
"Mas," Elena memandangku, "Bu Endah positif hamil dan janin itu akan di berikan pada kita setelah dia keluar nanti," tangisan Elena pecah. Istriku memeluk pinggangku dengan erat.
Tak bisa kubayangkan betapa bahagianya kami, ternyata ada orang berhati malaikat seperti Bu Endah, lama sudah kami mengharapkan itu dengan keikhlasan sendiri dan bukan kami yang meminta.
'Ya Allah, akan ku jaga dengan baik titipan-Mu melalui Bu Endah,' batinku.
"Badri, anak ibu sudah banyak, ibu sudah tidak sanggup merawatnya. Ibu akan merasa berdosa jika kelak dia terlantar seperti yang lainnya," ucap Bu Endah sambil menghapus air mata.
"Ibu, ini beneran'kan? Ibu sadar 'kan?"
Hening ...
Keheningan di ruangan ini semakin mencekam.
"Iya. Tadinya ibu akan—"
Ucapan itu terhenti, wanita paruh baya itu menangis,"Tadinya ibu akan menggugurkannya tapi ibu ingat kalian," lanjutnya.
"Astagfirullah, Bu, Alhamdulillah Allah langsung menyadarkan ibu," ucapku.
Banyak orang menggugurkan karena mereka tidak tahu betapa sulitnya untuk kami yang meminta pun tidak di beri.
"Kamu tahu 'kan suami ibu kerjanya apa? Anak ibu yang sekolah hanya satu itupun di bantu dengan saudara, mungkin kalau hutang ibu di hitung sama Elena, ibu tidak sanggup membayar," ucapnya.
Bu Endah memiliki lima anak, ini adalah anak yang ke enam. Anak sulung yang di sekolahkan berharap bisa membantu keuangan keluarga kelak.
Keterbatasan fisik Pak Seto, suami Bu Endah membuat dia kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.
"Bu, apa Pak Seto sudah mengetahui hal ini?" Tanyaku.
"Sudah, Bad, dia pun setuju," sahutnya.
"Alhamdulillah," ucapku sambil mengusap wajah.
"Ibu takut, Bad, benar-benar takut. Untuk makan sehari-hari saja susah apalagi untuk biaya persalinan, merawat bayi juga membutuhkan biaya banyak, Bad," ucapnya.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala karena memang belum pernah tahu berapa dan bagaimana cara merawat bayi.
"Assalamualaikum, Eh ada Bu Endah," ucap Siska yang baru saja datang dengan nada riang.
"Waalaikumussalam," jawab kami bersamaan.
"Kamu, kenapa, Elena?" Tanya Siska sambil mendekati Elena.
Elena menggelengkan kepala, "Enggak apa-apa, Sis," sahutnya.
"Oohh," ucap siska dengan raut wajah masih penasaran.
"Elena, aku ke sini cuma untuk kembalikan ini kok, terimakasih, ya," ucap Siska yang masih berdiri di samping Elena sambil memberikan sebuah benda untuk pengisi daya handphone.
"Iya. Sama-sama," sahut Elena. Siska merasa ada yang aneh di rumah ini maka dia langsung saja pulang, biasanya kalau mereka sudah bertemu tiga jam itu baru sebentar untuk mereka.
Kami terdiam sambil memandang Siska yang melangkah keluar, pakaiannya yang tidak berubah membuat dia masih seperti gadis. Berbeda dengan istriku yang sudah hijrah memakai baju gamis membuatnya terlihat seperti keibuan.
Bu Endah pamit pulang, aku mengantarkannya sampai ke pintu sedangkan Elena masuk ke dalam kamar.
Seketika hidupku merasa berbeda, walaupun dari rahim orang lain tapi aku merasa seperti pemilik janin itu.
"Sayang ..." Panggilku sambil membuka hendle pintu kamar, "Ya ampun, sudah handphone lagi yang di pegang," ucapku sambil memeluknya yang tengah terbaring memandang handphone.
"Nih lihat, Mas, cantik-cantik 'kan?" Ucap Elena sambil menunjukkan satu paket perlengkapan bayi.
"Ya ampun, sayang, masih lama loh," ucapku sambil tertawa lepas.
"Ya enggak loh, ini sudah dua bulan, nah kita tinggal nunggu tujuh bulan lagi, mas," ucap istriku sambil tersenyum.
"Tujuh bulan masih lama, sayang," ucapku.
"Mas ih!"
Plak! Elena menepuk pipiku, "Mendukung sedikit kenapa," ucapnya sambil merengek.
Aku meringis menahan sedikit rasa pedas tamparan kecil dari Elena, "Iya iya," sahutku.
Aku memeluk Elena dengan erat, tak sabar rasanya ingin ku bawa tujuh bulan kemudian.
"Sayang, kabar gembira ini sebaiknya kita kasih tau mamak, bapak, kapan kita ke sana?"
"Iya, ya, Mas. Siapa tahu mereka juga ikut bahagia."
Sudah lama orang tua kami menyarankan supaya mengadopsi seorang anak guna memancing kehamilan Elena, tapi aku dan Elena menolak dengan alasan tertentu.
Dreett ...
Dreett ...
"Siapa, Mas?" Tanya Elena.
"Gayus," sahutku sambil mengusap layar handphone ke arah kanan.
"Assalamualaikum, Yus?"
"Waalaikumussalam, Bad, tolong bantu aku," ucapnya dengan nada pnik.
"Ada apa, Yus?" Tanyaku sambil duduk.
'apa ini ada kaitannya dengan dia di panggil dokter kemarin?' batinku.
