Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 03

Di setiap koridor rumah sakit ku telusuri tapi aku tidak mendapatkan istriku, aku menghentikan langkah sambil menghela nafas panjang.

"Astaga, Elena, di mana kamu?" Gumamku.

Sudah berkali-kali aku mencoba menelpon lewat aplikasi hijau namun tidak ada jawaban darinya.

Aku kembali ke kamar anggrek, di mana istri Gayus di sana. Ternyata Gayus sudah ada di sana.

"Sudah balik, Yus, ada apa?" Tanyaku.

"Kamu ini, enggak amanah. Baru juga sebentar istriku sudah di tinggal saja," ucap Gayus terlihat kesal.

"Aku tadi nyari istriku, Yus," ucapku.

"Jadi mbak Elena belum juga kembali?" Tanya Gayus tampak mulai panik. Aku menggelengkan kepala.

"Coba di telpon, Mas," ujar Nita yang sedari tadi hanya diam.

"Biarlah, mungkin cari angin," sahutku.

Aku tersenyum tipis, aku tak mau mengatakan yang sebenarnya bahwasanya sedari tadi aku sudah mencoba menelpon tapi tak ada jawaban dari Elena. Aku takut malah menjadi beban pikiran untuk mereka.

"Ya sudah aku cari Elena sekalian pamit, ya, Yus," ucapku sambil menjabat tangannya. "Selamat, sudah jadi bapak," lanjutku.

"Iya, terimakasih, ya, Bad. Untung ada kamu tadi jadi aku enggak bingung sendirian," ucap Gayus.

Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum, tak sengaja aku melihat wajah Nita sangatlah pucat.

Aku mencari cara suapaya aku bisa menemukan Elena, memanglah istriku ini. Kalau lagi merajuk isinya hilang, jika di temukan drama dulu enggak mau pulang. Tiba sudah lama bujuknya barulah mau pulang, sudah hapal aku mah. Istri siapa dia? Dalam pikiranku sambil tertawa.

Setelah sampai di rumah aku membuka pintu yang masih di gembok, ini pertanda istriku belum pulang. Di mana dia? Tadi sempat ku tanya pada Siska tapi tidak ada juga.

"Oh, baiknya aku kirim foto tadi dia dengan Anton. Siapa tahu Elena mau pulang sendiri tanpa ku cari," gumamku.

Dreett ...

[Mas, mas sudah pulang?] Balasan dari Elena setelah ku kirim foto.

[Sudah.] Jawabku singkat.

[Kok enggak nunggu aku?]

[Mas capek, ingin istirahat. Ya sudah kamu di sana saja enggak apa-apa,] balasanku terakhir sebelum handphone aku matikan.

Senangnya hatiku melihat istriku cemas, pasti saat ini dia lagi jalan pulang. Aku tertawa riang gembira bahkan sampai jungkir balik saking senangnya ternyata Elena masih takut kalau aku marah.

Aku memandang jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul empat pagi. Aku menunggu dua puluh menit jika istriku tidak pulang baru aku mencarainya.

Wajahku semringah ketika mendengar suara sebuah motor berhenti di halaman rumahku. Secepatnya aku mengintip dari jendala kaca dengan tangan menyibakkan gorden sedikit.

"Oohh ternyata istriku dari rumah Tasya," gumam ku.

Aku kembali ke kamar dengan mengendap-endap, sengaja pintu tidak aku kunci supaya istriku bisa langsung masuk ke dalam rumah.

"Maaass, maaass ... Sayaaang," terdengar suara Elena memanggilku.

Jantungku berdegup kencang, rasa bibir ini selalu ingin merekah saja. Dari ujung kaki sampai ujung rambutku ku tutup dengan selimut.

"Maas, sudah tidur?" Tanya istriku dengan nada lembut. Aku tadi ke rumah Tasya karena dia butuh teman, kasihan kan dia lagi sedih" celoteh istriku sambil meletakkan handphone di atas meja.

Aku meringkuk di dalam selimut, dari ujung rambut hingga kaki ku tutup semua dengan selimut. Di sana aku senyam-senyum sendiri mendengar celotehan istriku.

Itulah istriku, di saat dia merasa bersalah, banyak cara yang dia lakukan untuk membuat hatiku luluh. Bagaimana aku bisa lepas darinya? Bagaimana aku bisa marah dengannya? Dasar istriku.

"Mas, tau enggak? Tadi Siska pulang sebentar soalnya ada yang mau di ambil di rumahnya, jadi mau enggak mau aku harus bantuin dia dong jagain Anton. Kan kasihan kalau enggak ada yang jaga, kalau dia perlu apa-apa gimana? Dia kan pendek, hitam, dekil, gendut, mana bisa apa-apa 'kan?" Celoteh istriku.

'astaga Elena, apa hubungannya dengan semua itu, sayang? Emang kalau orang ganteng sakit luka-luka bisa apa sih? Dasar,' batinku cekikikan. Wajahku mulai memerah karena menahan tawa.

"Sayang, buka dong selimutnya, aku kangen loh," ucap istriku sambil membelai punggung hingga ke bokongku.

"Oh, ayo, gas!" Ucapku tertawa lepas sambil membopong tubuhnya naik ke tubuhku. Akhirnya adu kemesraan pun terjadi.

* * *

"Badri!"

Seketika kunyahan ku hentikan saat aku tengah sarapan lalu menoleh ke arah pintu.

"Ha? Apa?" Tanyaku.

"Elena, mana?"

"Itu di dapur. Ada apa, Bu?" Tanyaku.

Wanita paruh baya itu pun masuk ke dalam setelah ku persilahkan masuk, baju yang di kenakan masih saja tetap itu yang di pakai dari kemarin. Ya ampun, Bu Endah, kapan ibu mandinya?

"Iya, Bu, jangan sungkan-sungkan, enggak apa-apa kan sayang," ucap Elena tiba-tiba ada di belakangku. Aku hanya menganggukkan kepala.

"Maafin ibu, ya, Elena. Selalu merepotkan," ucap wanita berdaster itu.

"Ibu enggak salah, kenapa harus minta maaf? Anggap kami ini saudara, Bu," ucap Elena dengan ramah.

"Terimakasih," ucapnya sebelum berlalu.

"Sama-sama," ucap Elena yang berdiri di pintu.

"Memangnya ada apa sih, Dek?" Tanyaku yang penasaran.

"Anaknya minta kiriman, Mas, tapi suami Bu Endah belum gajian. Jadi pinjam dulu seratus," ucap Elena. "Oh, ya, nanti aku ke rumah sakit lagi, ya, Mas?"

"Mau ngapain? Jenguk Anton lagi?" Tanyaku memandangnya.

"Bukan, nemenin Siska," sahutnya.

"Sama saja," sahutku ketus.

"Kamu kenapa sih, Mas? Cemburu, ya?" Goda istriku sambil tersenyum.

Aku memaksakan bibir ini untuk tersenyum, "Enggak kok, nanti juga Mas mau jenguk Gayus lagi. Soalnya—"

"Aku ikut!" Pungkas Elena.

"Mau ngapain?"

"Ya, jenguk Nita," sahut istriku sambil sedikit kebingungan.

Aku mengambil sehelai tisu lalu ku lap bibir yang terasa berminyak akibat nasi goreng yang ku santap.

Elena masih menunggu keputusan ku, padahal sudah pasti aku mengizinkannya.

"Ya, boleh saja sih. Kan satu rumah sakit juga 'kan?" Elena mengangguk. "Nah, kamu duluan saja sayang, aku kan sore pulangnya," ujarku.

"Enggak ah, masa iya mau dari pagi sampai malam di sana. Aku nunggu kamu pulang sajalah, Mas," ucap Elena sambil mengambil piring kotor yang ada di hadapanku.

"Pinter," ucapku sambil mengusap pangkal kepalanya.

Akhirnya aku berhasil melarang Elena dengan nada lembut dan tanpa suara keras, aku selalu memaklumi tingkah laku Elena yang sering buat aku spot jantung.

"Badri, Elena, ada?" Tanya Bu Endah lagi yang tiba-tiba berdiri di pintu.

"Ada, Bu, di dalam," sahutku dengan jantung deg-degan karena terkejut.

Saking penasarannya, aku melangkah dengan mengendap-endap menuju pintu tengah untuk mendengarkan percakapan antara Bu Endah dan Elena. Terakhir kok aku jadi penasaran, ya.

"Iya, Bu, enggak apa-apa, jangan ibu pikirkan, ya," ucap Elena sambil mengelap tangannya karena basah setelah mencuci piring bekas makanku.

"Ibu enggak tahu harus bagaimana, Elena. Ibu bingung," ucap Bu Endah dengan suara parau.

"Bu, seharusnya ibu bersyukur karena di beri rezeki yang melimpah," ucap Elena sambil tersenyum, tangan kanannya mengusap-usap pundak sebelah kanan Bu Endah.

'rezeki yang melimpah, tapi kok masih minjam uang? Aneh,' batinku.

Dengan cepat aku melangkah ke arah luar untuk memasang sepatu, aku membenahi raut wajah seolah aku tidak tahu apa-apa.

"Dek, kenapa lagi, Bu Endah?" Tanyaku setelah Bu Endah pergi.

"Pinjam seratus, Mas."

"Jadi dua ratus dong?"

"Ya, enggak apa-apa, sih, Mas."

"Nanti kalau tiga ratus?"

Elena tertawa terbahak-bahak sambil memeluk kepalaku karena dia tengah berdiri di sampingku dan aku dengan posisi duduk di teras.

"Bu Endah hamil, Mas."

"Apa?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel