Bab 02
Kupandangi jarum jam yang tengah berputar. Dengan sesekali memejamkan mata, aku tak bisa tinggal diam setelah jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Ku lacak handphone milik istriku ternyata dia berada di rumah sakit Puri Husada.
'ngapain dia? Siapa yang sakit?' batinku. Setelah beberapa saat berpikir, aku memutuskan untuk menjemputnya. Aku menarik gas dengan kecepatan tinggi sambil memasukkan handphone ke dalam saku celana karena aku sangat khawatir saat ini.
Setelah aku berada di tempat parkir, tanpa sengaja aku melihat Elena tengah membawa kantong plastik berisi dua box makanan. Dengan santai istriku berjalan tanpa menoleh kiri dan kanan. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang.
Aku intip dari kaca pintu berukuran tiga puluh kali enam puluh sentimeter.
"Anton?" Ucapku terkejut setelah melihat seorang laki-laki yang tengah terbaring itu adalah sahabatku sendiri. Tanpa basa-basi aku langsung memutar hendle pintu lalu mendorong pintu sampai terbuka lebar.
"Eh, Mas, kok sampai sini?" Tanya Elena terkejut. Aku diam tanpa sepatah katapun melihat Anton dengan balutan perban yang ada di kepala dan tangannya.
"Badri, aku jatuh dari motor tadi di jalan—"
"Kenapa bukan aku yang kamu hubungi?" Pungkasku memotong ucapan Anton, sahabatku.
"Aku enggak sempat hubungi, aku pingsan, Bad. Enggak sadar."
"Kenapa bisa hubungi istriku?" Tanyaku menekan. Darahku mulai mendidih, apakah rumah tanggaku akan seperti sinetron di televisi?
"Apasih, Mas," timpal Elena sambil meletakkan kantong plastik di atas meja namun matanya memandangku dengan tatapan sadis.
Kriieett ...
Pintu kamar mandi terbuka.
"Ada apa kok ribut-ribut?" Tanya Siska, istri Anton.
"Yang hubungi aku tadi Siska, Mas. Bukan mas Anton," ucap Elena kesal.
Aku diam sambil tersenyum, inilah aku, selalu salah menilai istriku. Wajahku memerah menahan malu, bibirku merekah dengan tangan kanan mengusap wajah.
Bagaimana aku tidak cemas dengan istriku, usia kami berjarak sepuluh tahun. Kebayangkan bagaimana takutnya jika dia di ambil orang? Mudah saja, dia kan masih muda sedangkan aku?
"Sudah-sudah, sini makan bareng. Dari tadi belum makan," ujar Siska sambil membuka box makanan.
"Aku sudah kok," sahutku.
"Siska itu ngajakin aku makan, bukan kamu, Mas," ucap Elena kesal.
Aku tersenyum sambil mencolek pinggang Elena, "Cie, cemburu," bisikku tepat di telinganya.
"Apaan sih," ucapnya sambil cemberut. Rasa nyeri di dada seketika hilang setelah aku melihat dan mendengar semuanya.
* * *
"Mas kenapa nyusul coba? Kan aku bilang biar aku saja," ucap Elena ketika kami sudah bersiap untuk tidur.
"Lagian, kamu pergi tanpa penjelasan. Siapa yang tidak khawatir?"
"Kan Anton yang sakit, jadi di sana istrinya yang merawatnya. Masa iya kamu yang bantuin Siska merawat mas Anton.
"Kan kamu ikut, sayang."
"Iya. Terus kalau ada kesempatan pasti kalian ngobrol."
"Loohh, kalau di tanya jawab dong, kalau dia cerita dengarkan. Bukan begitu?"
"Iya tapi aku enggak suka," ucap Elena dengan nada merengek bak anak kecil sambil menutup wajah dengan selimut.
"Ciiee, cemburu?" Ucapku sambil membuka selimut itu.
Elena merengek bak anak kecil sambil memukuliku menunjukkan rasa malunya. Ya, Elena memang tidak suka aku dekat dengan Siska. Karena Siska satu kelas dengan Elena dan Siska telah mengungkapkan rasanya terhadapku dengan Elena.
Tapi nasib berkata lain, aku lebih memilih Elena ketimbang Siska. Karena Elena terlihat mandiri, anggun, dan juga baik, tapi nyatanya? Manjanya Elena tidak tertolong, cerewetnya nauzubillah. Tapi semakin ke sini aku semakin sayang padanya.
Tok! Tok! Tok!
"Eh, siapa tengah malam begini, Mas?" Tanya Elena.
"Entah, biarlah, nanti kalau dia manggil—"
"Badri! Badri!"
Aku menyibakkan selimut ketika mendengar suara Gayus, dengan langkah panjang aku mengarah ke pintu luar untuk membukanya.
"Oooiiii," sahutku sambil memutar hendle pintu.
Kriiieett ...
"Ha, ada apa?"
"Bad, tolongin, istriku mau lahiran," ucap Gayus.
"Hah? Lahiran? Aku enggak bisa jadi dukun beranak, Yus," ucapku.
"Bukan, maksudku tolongin bantu aku bawa dia ke rumah sakit."
"Oohh, kirain,"
"Dih, istriku lahiran kamu yang dukuni? Mending aku kok," ucap Gayus kesal, yang tadinya berwajah panik kini malah merengut. Aku tertawa lepas sambil menggelengkan kepala.
"Ada apa, Mas?" Tanya Elena yang sudah berada di belakangku.
"Nita, mau lahiran, Dek," sahutku.
"Hah? Ayo, Mas, buruan,"
"Nah, iya. Dari tadi Badri santai aja," ucap Gayus yang seketika kembali panik.
Aku dan Elena masuk ke dalam rumah untuk mengambil jaket karena kami sudah mengenakan pakaian tidur. Sedangkan Gayus pulang lebih dulu.
"Mas, ini mau di bawa ke mana?" Tanya Elena sambil berjalan.
"Entah," sahutku.
Tengah malam yang sepi, Aku dan Elena berjalan berdampingan menuju ke rumah Gayus. Sesampainya di sana, Laras masih merengek kesakitan.
"Ini mau di bawa ke rumah sakit atau gimana, Mas?" Tanya Elena sambil duduk di samping Laras dengan sekilas memandang Gayus.
"Bawa aja ke Puri Husada, sebentar lagi mobil Pak Daud datang," ucap Gayus sambil memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas.
"Mbak, sakit, ya?" Tanya Elena.
"Sakitlah, Dek," sahutku.
"Ya kan tanya loh, Mas."
"Masa enggak lihat itu keringat sudah sebesar biji jagung."
"Ya kan—"
"Sudah-sudah, orang lagi panik kok sempat-sempatnya gelut. Nanti di sambung di rumah," ucap Gayus kesal.
Suara klakson mobil terdengar dari arah luar, Gayus dan istriku memapah Laras sedangkan aku membawa tas ransel berukuran besar.
Dalam perjalanan, Laras terus merintih kesakitan. Keringatnya terus mengucur seperti habis mencangkul sehektar sawah.
Sreett ...
Mobil berhenti.
"Bad, tolong panggil suster!" Ucap Gayus.
Secepatnya aku ke kasir dan meminta bantuan untuk memanggilkan beberapa petugas rumah sakit.
Tidak lama kemudian beberapa petugas datang sambil membawa ranjang pasien, dengan sigap mereka merebahkan Laras di sana lalu di dorong ke dalam.
* * *
"Dek, melahirkan ribet juga, ya," ucapku ketika kami berada di ruang tunggu.
"Namanya juga panik, Mas, ya ribet," sahutnya.
"Kasihan lihatnya, enggak tega."
"Terus?" Tanya Elena dengan nada datar sambil memandangku dengan sinis.
"Kok terus? Kan kasihan."
"Iya, kasihan, terus apa?"
"Kok terus apa sih? Terus ya, kasihan," ucapku lagi.
"Iya. Banyakin aja kasihan, terus iba, terus jadi di perhatiin, terus—"
"Ya enggak gitu juga loh, sayaaang," pungkas ku.
"Heleh—"
"Ya ampun kalian ini," ucap Gayus dengan nada berbisik, "Bisa enggak sih dalam sehari enggak tengkar?" Lanjutnya.
Aku dan Elena saling pandang, tidak lama kemudian kami tersenyum bersama. Inilah kami, selalu dan selalu bertengkar, tapi hebatnya kami jika tidak bertemu sehari saja sudah rasa setahun.
Elena beranjak dari duduknya lalu pergi entah ke mana, aku dan Gatus ngobrol dengan nada berbisik.
"Sudah tiga puluh menit, istriku ke mana?" Tanyaku.
"Entah. Cari makan mungkin," tebak Gayus.
"Enggak mungkin malam-malam begini dia makan," sahutku.
Seketika aku teringat Anton di rawat di sini, dengan gegabah aku beranjak membuat Gayus terkejut.
"Ada apa?"
"Sebentar," sahutku sambil beranjak.
Aku berjalan menuju kamar Anton, yang terletak jauh dari sini. Benar saja, aku mendapatkan Elena di kamar Anton. Yang membuat nyeri dadaku, aku tidak melihat Siska di sana.
Yang lebih menyedihkan, aku melihat Elena duduk di kursi tepat di samping Anton. Aku mengambil momen itu untuk minta penjelasannya nanti, aku memilih meninggalkan Elena dan kembali pada Gayus.
"Kenapa? Di tekuk gitu wajahnya," tanya Gayus sambil memandangku dengan tatapan aneh.
"Enggak," jawabku singkat.
"Elena, mana?" Tanya Gayus.
"Ada, dia masih nunggu temannya di sana. Di rawat juga."
"Laki-laki?"
Aku mengangguk. Gayus tertawa lepas.
"Kok kamu bolehkan? Dia itu istri kamu dan kamu itu pantas untuk protes, bukan diam saja," ujar Gayus.
"Enggaklah, biar aja kan ada istrinya," sahutku untuk menghilangkan kecurigaan Gayus.
"Ooohh kirain,"
Aku tersenyum getir, padahal aku sendiri masih bertanya-tanya kenapa hanya Anton dan Elena di sana. Apa mungkin Siska masih di kamar mandi?
"Selamat, Pak, anaknya laki-laki," ucap seorang dokter perempuan yang baru saja keluar dari ruangan.
"Eh, itu anak saya—"
"Dia bapaknya," ucapku beriringan dengan ucapan Gayus.
"Oh, saya pikir bapak ayahnya karena tadi bapak terlihat sangat panik,"
Aku dan Anton masuk ke dalam untuk membantu memindahkan Nita ke ruang rawat. Setelah sampai di ruang rawat, Gayus di panggil dokter untuk membicarakan sesuatu yang penting tentang bayi yang baru di lahirkan.
"Bad, aku nitip istri, ya," ucap Gayus sambil memegang pundakku.
"Oke siip," jawabku.
Aku duduk di kursi yang ada di samping ranjang Nita yang tengah terbaring. Sama persis seperti istriku menunggu Anton tadi. Aku mengambil gawai lalu mencari kontak istriku di aplikasi hijau untuk mengirimkan foto yang tadi ku ambil. Ternyata Elena di sana sedang online.
"Astaga!" Tadinya aku yang ingin kasih dia kejutan kok malah aku yang terkejut?
Aku beranjak dari dudukku lalu berjalan ke pintu, pintu ku buka tapi Elena tidak ada. Di mana dia? Elena telah mengirim foto aku tengah duduk di samping Nita. Ya ampun perempuan, selalu saja bisa mencari-cari kesalahan kami para suami.
"Elena! Elena!" Panggilku sambil berjalan di koridor siapa tau dia masih berada di sekitar sini.
