Bab 5: Beban
“Kenapa kamu membantuku?” tanya Salma kepada Hikayat. Pria itu sedang berdiri di depan kamar Salma. Mereka baru saja pulang dari dokter obgyn yang menunjukkan bahwa ada kantung kehamilan, meskipun masih samar. Lagipula, usia kandungan itu jelas baru sekitar 4-5 pekan jika menghitung sejak pergumulan Salma.
“Saya punya alasan saya,” jawab Hikayat dingin. Salma penasaran apa yang membuat Hikayat berkenan membantunya, padahal Zahari yang jelas ayah dari anak di kandungan ini sepertinya tidak sadar bahwa Salma menghilang karena membawa anaknya.
“Aku hanya akan membebanimu, seperti aku telah menjadi beban bagi orang tuaku sebelum semua ini,” komentar Salma pelan. Hikayat mengalihkan pandangannya.
“Dalam artian apa? Uang?” tanya Hikayat datar, “Uang saya punya. Berapa diperlukan pun saya akan keluarkan. Mba bukan beban bagi saya.”
Salma bertanya-tanya, apakah Hikayat hanya mencoba terlihat tangguh di depannya. Pria itu hanya akan membebani finansial orang tuanya jika merawat dirinya. Salma tahu karena dia adalah beban keluarga hingga dicampakkan. Sekarang, dia semakin menjadi beban dengan calon bayi di rahimnya.
“Kenapa Mba menatap saya seperti itu?” tanya Hikayat yang kembali menatap ke arah Salma. Salma hanya diam, tidak mengutarakan pikirannya.
“Ada banyak cara untuk melindungi hitungan kekayaan. Terlepas dari semua itu, kekayaan saya cukup untuk saya tunjukkan ini,” komentar Hikayat yang menunjukkan sesuatu di ponselnya. Salma terdiam melihat angka yang ada di layar Hikayat. Salma tahu itu bukan editan ataupun aplikasi palsu, karena jelas itu adalah aplikasi asli terbitan bank. Rekening itu pun jelas atas nama pria itu.
Angka 1 milyar menatap ke arah Salma. Angka yang keluarganya sendiri tentu bermimpi untuk memiliki nominal sebesar itu. Satu milyar mungkin ayahnya punya. Sepuluh adalah mimpi besar.
“Apa kamu ingin menyombongkan kekayaanmu?” tanya Salma dengan nada tidak suka. Hikayat menggelengkan kepalanya.
“Saya ingin mengatakan bahwa saya tidak main-main kala bilang Mba Salma bukan beban. Kalau ekonomi, saya siap berikan semuanya untuk memastikan Mba Salma melahirkan anak Mba Salma dengan selamat,” jawab Hikayat datar. Salma terdiam.
Salma tidak mengerti apa yang membuat Hikayat berbuat sejauh ini untuk dirinya. Seorang senior yang jelas Hikayat tidak akrab dibantunya tanpa ragu.
Salma tidak akan mampu membayar semua biaya yang akan diperlukan sampai anak di kandungan ini lahir, tetapi dia tidak akan mampu membayar kepada Hikayat jika menerima bantuan itu.
“Aku tidak akan pernah bisa membayar untuk semua itu kelak, Hikayat,” lirih Salma. Hikayat menggelengkan kepalanya.
“Saya tidak akan meminta apapun kecuali saya bisa menyaksikan Mba Salma dengan bayi itu bersama,” jawab Hikayat datar. Salma tidak tahu ingin berkata apa. Dia takut jika Hikayat akan membuatnya tak berdaya seumur hidup di kemudian hari. Dia takut ada jebakan dari tawaran ini.
Hanya saja, seakan ada yang mengatakan dia sebaiknya menerima tawaran ini. Salma mengembuskan napas berat.
“Terima kasih, Hikayat. Aku jelas berhutang banyak kepadamu,” ucap Salma pada akhirnya.
“Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya menolong orang yang kesusahan,” balas Hikayat datar.
Salma hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan, tidak bisa memahami maksud dari kalimat Hikayat. Hanya saja, Salma tahu bahwa kalimat datar Hikayat benar-benar tulus. Wanita itu tidak tahu apa yang membuat Hikayat tulus membantunya, tetapi dia akan menerimanya untuk saat ini. Dia hanya berdoa pilihan itu adalah pilihan yang benar.
“Apa Mba baik-baik saja jika saya tinggal dulu? Saya harus ke jurusan untuk jaga siang,” tanya Hikayat kepada Salma.
Salma terdiam. Hikayat membuatnya merasa kuat saat ini. Akan tetapi, dia takut jika pria itu menghilang, maka dirinya akan merasa lemah. Salma tidak ingin sendirian.
“Apa jika aku bilang ‘jangan pergi’, kamu akan tetap di sini?” tanya Salma kepada Hikayat. Salma tidak tahu apa yang dia sebenarnya ingin katakan, tetapi pikirannya ingin Hikayat berada di dekatnya. Pria itu memberikan ketenangan dalam kondisi rumitnya ini.
“Jika itu berarti Mba bisa merasa tenang, saya akan tetap di sini. Saya akan informasikan bahwa saya tidak bisa memenuhi shift jaga hari ini,” jawab Hikayat. Salma ingin terkejut. Wanita itu takut berharap sedikit pun saat ini.
Terakhir kali dia berharap ayah dari calon bayinya ini, Zahari, mau menerimanya, dia mendapatkan pil pahit. Dia telah bergumul dengan seorang pria yang bertunangan.
“Kenapa, Mba tidak ingin saya pergi?” tanya Hikayat datar. Salma tidak mengerti bagaimana Hikayat bisa setenang ini berhadapan dengan seorang wanita tetapi di saat bersamaan dia rela memberikan hartanya untuk membantu.
Salma kembali diam. Dia tidak tahu ingin berkata apa. Apa dia boleh berharap bahwa Hikayat benar-benar dengan semua kalimat yang pria itu katakan? Apakah dia bisa berharap Hikayat benar-benar menjaganya?
“Aku tidak ingin sendirian,” ucap Salma pada akhirnya. Hikayat menganggukkan kepalanya dan mengambil ponselnya. Wanita itu menyadari bahwa Hikayat benar-benar memegang kalimatnya. Hal berbeda dari yang dia dapatkan dengan Zahari.
“Baiklah. Anak-anak lab sudah tahu,” komentar Hikayat menyimpan ponsel miliknya dan duduk di sisi kasur dengan arah pandang menghindari Salma, memberikan jarak antara dirinya dengan Salma. Salma mencoba meraih tangan kiri pria itu, yang paling dekat dengan tubuhnya.
“Apakah Mba benar-benar ketakutan dengan sendirian?” tanya Hikayat kala Salma menjamah telapak tangan kiri pria itu. Hikayat tidak sedikit pun menatap ke arah Salma.
Salma merasa apakah dia sehina itu hingga Hikayat mengalihkan pandangannya. Hanya saja, Salma sadar dia tidak bisa mengutarakan semua pikirannya ke pria itu.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” jawab Salma pelan. Hikayat tidak memberikan jawaban, seakan menunggu Salma memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Aku takut, Hikayat. Aku bertindak bodoh. Aku tidak punya teman seangkatan yang tersisa. Kedua orang tuaku tidak lagi mengakuiku sampai aku lulus. Sekarang, aku terjebak dengan kondisi ini, dengan benih calon anakku,” keluh Salma yang meluapkan semuanya dengan rasa sesak. Matanya mulai menitik pelan. Hikayat tidak memberikan tanggapan.
“Anak ini akan sakit akibat kebodohanku,” ucap Salma terisak. Dia lebih peduli dengan apa yang sekarang dia bawa. Zahari jelas tidak akan mengakui anak ini, sementara Salma tidak mampu menghidupi anak ini.
“Mba. Saya sudah bilang sebelumnya, saya akan pastikan anak itu dan Mba Salma baik-baik saja,” jawab Hikayat. Salma ingin sekali menerima itu sebagai afirmasi, mengingat dia baru benar-benar menerima fakta bahwa Hikayat jelas kaya. Hanya saja, jelas dia akan terus membebani Hikayat.
“Tapi, Hikayat, kamu hanya akan terbebani. Kamu jelas orang besar, tetapi aku akan menghambatmu mencapai hal-hal besar,” ucap Salma lagi. Hikayat yang sepertinya kesal dengan Salma yang terus merusak diri sendiri akhirnya menatap ke arah wanita itu seraya memegang tangan kanan wanita itu.
Sekarang mata mereka saling menatap. Salma menyadari pada akhirnya mata kiri Hikayat tidak terlihat hitam alami. Sorotan Hikayat juga tidak netral, seakan emosi keluar dari pria itu.
“Katakan saja, Mba Salma. Anak itu adalah anak dari Zahid Zahari, dosen kita, apa saya salah?” tanya Hikayat dengan nada dingin penuh tuntutan. Salma terkesiap dengan kalimat Hikayat.
Bagaimanapun, Salma memang nyaris keceplosan menyebut Mas untuk Zahari. Hanya saja, Salma tidak percaya Hikayat menyimpulkan semuanya dengan cepat.
“Saya bukan orang naif dan ignorant. Saya sudah curiga semenjak Mba memukul dada saya sewaktu menghadap Pak Zahari,” ucap Hikayat lagi. Salma terkesiap mendengar kalimat itu.
