Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Alasan

“Awalnya, saya pikir ada masalah perkuliahan. Hanya saja, saat saya mendengar Mba keceplosan dan menjelaskan soal kehamilan Mba, saya langsung yakin seratus persen,” ucap Hikayat lagi.

Salma benar-benar kehilangan kata-kata. Dia tidak mengira Hikayat bisa menangkap semua kejanggalan itu. Hanya saja, kenapa sekarang Hikayat memilih untuk menolong dirinya?

“Karena anak itu adalah anak Pak Zahari, maka alasan saya membantu Mba jelas semakin besar,” lanjut Hikayat yang membuat Salma bingung dan menatap ke arah Hikayat dengan tatapan meminta penjelasan.

“Bagaimana bisa itu membuat alasanmu membantuku semakin besar?” tanya Salma tidak mengerti.

“Menurut Mba kenapa?” tanya Hikayat balik. Salma terkesiap. Dia tidak menduga pertanyaan balik itu.

“Aku tidak tahu,” jawab Salma langsung. Hikayat menatap datar ke arah Salma.

“Kalau begitu, Mba belum bisa saya beritahu,” jawab Hikayat.

Salma mulai tidak suka dengan sikap Hikayat yang mengelak. Salma teringat bahwa Hikayat mengelak kala dia menyebut Zahari dengan Mas. Sebuah kemungkinan terpintas di benak wanita itu.

“Apakah Pak Zahari ada hubungan keluarga denganmu?” tanya Salma.

“Darimana Mba memiliki prasangka itu?” tanya Hikayat balik.

“Kamu menyebutnya ‘Mas’ secara tidak sengaja sewaktu percakapan kita. Bukan aku saja yang teledor, Hikayat,” jawab Salma. Salma berpikir dia akan mendapat pengelakan dari Hikayat, tetapi jawaban Hikayat mengejutkannya.

“Pak Zahari adalah teman kakakku. Beliau akrab dengan kakakku,” jawab Hikayat datar. Salma tercekat. Jika benar demikian, maka akan semakin berbahaya jika dia aktif berinteraksi dengan Hikayat.

“Kalau begitu, kamu pergi ke kampus saja,” ucap Salma pada akhirnya.

“Apakah Mba takut jika interaksi dengan saya membuat masalah lagi?” tanya Hikayat kepada Salma. Salma tidak ingin menjawab dengan konfirmasi. Dia ingin semua yang berkaitan dengan Zahari sebaiknya sejauh mungkin saja. Dia takut dia akan gegabah dengan informasi ini.

“Pergi, Hikayat,” ucap Salma dengan intonasi dingin. Hikayat tidak memberikan apa yang diminta oleh Salma. Pria itu tetap menatap lekat Salma, sebelum akhirnya justru melepaskan tangan wanita itu.

“Saya tidak bisa meninggalkan Mba Salma, meskipun Mba Salma ingin saya pergi. Itu jelas bertentangan dengan apa yang sebenarnya Mba Salma inginkan. Mba ketakutan karena saya ada relasi dengan Pak Zahari, tetapi Mba ingin saya di sini karena Mba tidak ingin merasa sendirian,” jawab Hikayat datar. Salma ingin marah ke arah pria itu.

“Kamu membantuku karena Zahari kan!?” Salma melemparkan bantal di kasur ke arah Hikayat, yang pria itu terima tanpa memberikan perlawanan.

“Apa Zahari menyuruhmu!?” hardik Salma seraya melemparkan guling di kasur ke arah Hikayat. Pria itu tetap diam mendengarkan keluhan Salma.

“Apa maumu dengan membantuku!?” hardik Salma lagi seraya melemparkan kertas skripsinya ke arah Hikayat. Pria itu tetap bergeming. Tidak ada perlawanan sedikit pun.

Salma merasa lelah, meskipun marahnya belum sepenuhnya reda. Dia mengembuskan napas berat. Marah-marah tidak baik untuk bayi yang dia kandung.

“Kenapa kamu tidak pergi, Hikayat!?” hardik Salma lagi dengan nada lebih pelan. Wanita itu merasa lelah saat ini.

“Mba Salma, saya membantu tidak ada urusannya dengan Pak Zahari,” jawab Hikayat datar, “Bantuan ini atas keinginan saya sendiri.”

“Apa alasanmu?” tanya Salma, nadanya lebih rendah tetapi masih jelas ada marah di sana.

“Saya tidak bisa mengatakannya, tetapi saya bisa pastikan tidak ada hubungan dengan Pak Zahari, maupun kakak saya. Ini tindakan atas pilihan saya sendiri,” jawab Hikayat masih mengelak. Salma masih tidak senang dengan Hikayat menahan informasi. Hanya saja, wanita itu sekarang menjadi sedikit penasaran.

“Kenapa setidaknya beritahu aku garis besarnya?” pinta Salma kepada Hikayat. Pria itu mengembuskan napas. Sejenak, Salma melihat dia akan mengucapkan sesuatu tetapi segera meralatnya.

“Karena saya tidak ingin kehilangan,” jawab Hikayat.

Salma menaikkan alisnya, tidak mengerti. Sebuah prasangka konyol masuk ke benak wanita itu.

“Kamu menyukaiku?” tanya Salma kepada Hikayat. Pria itu langsung menggelengkan kepalanya.

“Bukan itu, setidaknya saat ini itu yang bisa saya pastikan. Perasaan adalah hal yang rumit,” jawab Hikayat. Salma ingin yakin bahwa Hikayat menyukainya hingga nekat seperti ini.

“Bohong! Kamu tidak mungkin akan sampai mengorbankan kekayaanmu hanya untuk membantuku tanpa sebuah motif bagus kan? Apa motif bagus selain kamu sebenarnya menyukaiku?” tanya Salma menantang Hikayat.

“Mba Salma, hanya ada dua wanita yang pernah saya sukai dan saya putuskan lebih baik tidak menyukai seorang wanita pun setelah apa yang terjadi pada keduanya,” jawab Hikayat dengan datar, tetapi samar kesedihan tersirat di kalimatnya.

Salma menyadari bahwa Hikayat menutupi sesuatu dan emosinya retak. Salma sebenarnya masih penasaran, tetapi dia rasa belum waktunya dia mencoba untuk mengetahui lebih baik.

“Kalau begitu, apa maumu?” tanya Salma.

“Keinginan saya sederhana. Saya ingin melihat anak itu lahir ke dunia dengan bahagia, serta Mba Salma tersenyum melihat ke anak itu,” jawab Hikayat datar. Salma tidak mengerti kenapa itu jawaban yang dilontarkan oleh Hikayat, tetapi Salma sepertinya tidak akan mendapatkan penjelasan apapun.

Salma mengembuskan napasnya. Wanita itu lelah. Dia melepaskan emosinya secara berlebihan. Hikayat benar-benar tulus ingin membantu dirinya. Sebuah pikiran iseng terpintas di benak wanita itu, hanya saja dia berharap bahwa Hikayat tidak terpancing.

“Apa boleh aku meminta pelukan?” tanya Salma seraya membuka kedua lengannya. Hikayat tampak bingung mendengar permintaan aneh dari mulut Salma. Salma tampak sedikit ragu melihat Hikayat yang diam. Mungkin itu ide yang bodoh.

“Mba yakin meminta pelukan pada seorang pria, setelah satu malam berakhir dengan itu?” tanya Hikayat datar seraya menunjuk kepada perut wanita itu. Salma hanya bisa menutup kedua lengannya.

“Nggak gitu juga, Hikayat!” keluh Salma seraya mencoba menutup rona merahnya. Dia malu baru diejek secara tidak langsung oleh Hikayat, adik tingkatnya sendiri. Sebuah pertanyaan terbesit di benak Salma.

“Sekarang, kamu sudah tahu ‘kan kondisiku bagaimana. Apa yang akan kamu sampaikan ke Prof Zach?” tanya Salma kepada Hikayat. Pria itu mengembuskan napas.

“Apa Mba sedang meminta sebuah permintaan sulit ke saya? Saya akan sampaikan apa adanya,” jawab Hikayat datar. Salma langsung tersenyum getir.

Salma tidak ingin Prof Zach tahu siapa anak ini. Entah kenapa, setengah dari dirinya masih ingin Zahari tahu bahwa dia hamil anaknya, tetapi setengah lainnya enggan memberitahukan demi menjaga pertunangan pria itu. Salma juga tidak memiliki siapa-siapa dengan kedua orang tuanya mencampakkan dirinya dan dia takut jika Zahari berakhir KDRT kepadanya jika Salma merusak hidupnya dengan memaksa pria itu menikah kepadanya.

Salma juga takut jika Hikayat akan menjadi dalam masalah karena membantu dirinya. Jujur saja, sejauh ini saja pria itu sudah banyak membantunya meskipun pria itu tidak akan mengakuinya. Salma menyadari bahwa Hikayat ini bagaikan malaikat tak bersayap yang menolong dengan tulus.

“Apa boleh aku minta satu hal?” tanya Salma kepada Hikayat. Hikayat menaikkan alisnya, penasaran dengan permintaan yang akan dilontarkan oleh Salma.

“Katakan saja, Mba Salma. Saya akan bantu wujudkan semampu saya,” jawab Hikayat. Salma tersenyum.

“Tolong jangan beritahu ke Prof Zach atau siapa pun ayah dari anak ini. Berjanjilah!” pinta Salma.

“Baik, Mba Salma. Saya janji.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel