Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

chapter 2

Namun saat Rangga masih terpaku, mencoba menerima kenyataan aneh di hadapannya—

Sesuatu yang lebih aneh terjadi.

Ting!

Sebuah suara lembut namun tajam menggema langsung di dalam kepalanya, seperti tetesan logam jatuh di ruang kosong.

Rangga refleks menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber suara. Tapi tak ada siapa pun. Hanya pepohonan yang berdiri diam, reruntuhan yang membisu, dan udara yang seolah menahan napasnya.

Lalu, sesuatu muncul di hadapannya. Tepat di udara, melayang sekitar satu meter di depan wajahnya—

Sebuah layar transparan, berkilau redup seperti cahaya dari dunia lain. Seolah-olah dimensi lain merobek dirinya sendiri, dan menyisipkan serpihan ke dalam realitas Rangga.

Matanya membelalak.

---

[SISTEM EVOLUSI AKTIF]

[Status Awal Diperiksa...]

Nama: Rangga

Level: 0 [Rendah]

Poin Evolusi: 0

Kekuatan Super: None

Skill: None

Passive: None

---

Rangga menatap layar itu tanpa berkedip.

Tidak ada suara, tidak ada getaran emosional. Hanya barisan teks statis, dingin, dan tak berperasaan. Seperti program otomatis yang berjalan tanpa peduli siapa yang melihatnya.

Ia berdiri membeku. Jantungnya mulai berpacu lebih cepat, degupnya menggema sampai ke telinga.

"Apa... ini…?" bisiknya.

Sebuah kotak harta karun transparan muncul tepat di bawah tulisan itu, melayang perlahan seperti gelembung cahaya. Bagian atasnya berkilau, menampilkan ikon kado dengan tulisan mencolok.

---

[ Anda memiliki Paket Pemula untuk dibuka ]

---

Tangannya bergerak sendiri. Jari telunjuknya menyentuh layar, dan tombol “BUKA” menghilang dalam semburat cahaya lembut.

---

[Selamat! Telah mendapatkan Kekuatan Super: Elemen Kehidupan!]

[Selamat! Telah mendapatkan Skill: Pertumbuhan!]

---

Dua peringatan sistem muncul secara berturut-turut. Suara ding lembut mengiringi masing-masing pesan.

Pada saat bersamaan, Rangga merasakan dadanya tiba-tiba terasa hangat.

Bukan panas menyakitkan, melainkan seperti bara yang menyala perlahan dari dalam tubuh. Hangat yang menyebar, lembut tapi penuh tekanan, seolah ada sesuatu yang bangkit dari tidur panjangnya.

Cahaya samar muncul di sekujur kulitnya, seperti kelip bintang yang bangkit dari pori-porinya. Hijau muda. Lembut. Penuh kehidupan.

Matanya terbelalak.

"Ini...?"

Instingnya menuntunnya untuk mengangkat tangan. Cahaya kehijauan mekar di telapak tangannya, bergerak seperti embun yang menari di pagi hari.

Lalu, di sekitar tempat ia berdiri, rumput liar dan tanaman kecil mulai bergerak. Tidak—tumbuh. Mereka menjulur cepat seperti menyambut tuan mereka yang baru. Bahkan batang pohon di dekatnya bergetar pelan, seperti merespons panggilan dari kekuatan yang baru bangkit.

Rangga mengangkat alis. Kagum. Bingung. Namun juga...

“Ini… kekuatan super?” bisiknya lirih, setengah tak percaya, tapi tak bisa menyembunyikan rasa bersemangat yang merayap dalam suaranya.

Namun sebelum ia bisa memproses semua ini—

Pandangan matanya menangkap sesuatu.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat jejak seretan darah yang memanjang di atas lantai beton yang ditumbuhi lumut. Jejak itu membelah dedaunan kering dan serpihan keramik yang berserakan, menuju lorong sempit di samping bangunan.

Lorong itu gelap. Sempit. Sinar matahari nyaris tak menyentuh bagian dalamnya.

Rangga menggertakkan gigi.

Pelan-pelan, ia mengikuti jejak darah itu.

Langkahnya hati-hati. Setiap injakan menimbulkan suara gesekan pelan—terlalu nyaring di tengah kesunyian yang menggantung. Dunia ini… terlalu senyap. Terlalu kosong.

Wajahnya serius.

Dunia yang ia kenal telah lenyap. Dan makhluk yang mampu menyeret manusia ke tempat seperti ini...

Itu bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng.

Tapi meskipun hatinya waspada, ada bara keyakinan yang menyala dalam dadanya. Mungkin karena kekuatan barunya. Atau mungkin karena... ia tahu, tak ada jalan mundur lagi.

Jejak darah itu membawanya ke depan sebuah pintu besi kecil di ujung lorong—sebuah ruangan penyimpanan yang dulunya digunakan sebagai ruang genset.

Biasanya selalu terkunci.

Tapi kini...

Pintu itu terbuka sebagian. Engselnya berkarat. Daunnya miring, tertahan oleh akar pohon yang menjulur liar dari celah dalam.

Rangga menelan ludah. Menghela napas.

Tangannya perlahan meraih gagang pintu.

Begitu disentuh, pintu itu berderit pelan. Lalu terbuka sepenuhnya.

Aroma anyir langsung menghantam wajahnya. Bau darah. Bau bangkai. Bau sesuatu yang membusuk dalam gelap, seperti kehancuran yang dikurung terlalu lama.

Dan apa yang ia lihat di dalam...

Rangga membeku. Matanya membelalak.

Seekor anjing besar—berbulu cokelat kusam, tubuhnya penuh luka, bulunya rontok di sana-sini, dan matanya... merah menyala.

Makhluk itu tengah mencabik-cabik sesuatu. Potongan daging, merah, basah, dan masih meneteskan darah.

Suara kunyahannya kasar. Brutal. Seperti jeritan daging yang dirobek paksa.

Di sampingnya...

Tergeletak tubuh manusia—seorang wanita. Atau... yang dulu pernah menjadi wanita.

Tubuhnya koyak. Tulangnya mencuat. Sebagian anggota tubuhnya sudah tidak lengkap. Daging yang tersisa menggantung seperti kain lap basah.

Dari pakaian robeknya, Rangga tahu—korban itu adalah manusia. Seseorang yang pernah hidup, mungkin bahkan seseorang yang dikenalnya.

Wajah Rangga memucat.

Pemandangan ini... terlalu brutal. Terlalu nyata. Terlalu kejam untuk dirinya yang baru pertama kali melihat darah.

Anjing itu berhenti mengunyah.

Perlahan... ia menoleh.

Darah masih menetes dari rahangnya. Menetes ke lantai, pelan, seperti detak jam yang menunggu detik terakhir.

Sorot matanya bertemu dengan mata Rangga.

Mata merah. Kosong. Penuh haus. Tapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar binatang liar di sana.

Kesadaran?

Kebencian?

Atau... kelaparan yang dipandu oleh sesuatu yang lebih gelap?

“Apakah ini… masih anjing?” bisik Rangga dalam hati.

Tangannya perlahan turun ke pinggangnya. Menggenggam gagang pisau dapur yang telah menemaninya sejak awal perjalanan.

Angin dingin menyusup masuk dari celah pintu di belakangnya. Daun-daun kering beterbangan, dan ruangan yang pengap itu mendadak membeku oleh ketegangan.

Makhluk itu menggeram pelan. Kepala besarnya menunduk, kuku tajam mencakar lantai.

Makhluk itu mulai menoleh, tubuhnya siap melompat kapan saja.

Rangga mengencangkan cengkeramannya pada pisaunya.

Matanya fokus dengan Nafas ditahan.

"Jangan lakukan apapun gegabah," gumamnya dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel