09 - Gagal Total
MEREKA masih mengatur napas setelah menyelesaikan ronde pertama dari percintaan panas sebelumnya.
Alan menatap Jeanne yang mengatur napas dengan wajah yang terlihat cerah dan senyum mengembang di bibirnya. Sesuatu yang harusnya tidak Jeanne lakukan jika dia memang terpaksa mau melakukannya.
Nyatanya senyuman itu membuktikan bahwa Jeanne pun menikmati semuanya. Jeanne menikmati sentuhannya dan penyatuan hebat di antara mereka sebelumnya.
Alan mengulurkan tangannya ke wajah Jeanne sembari mendekatkan wajahnya untuk mengecup sekilas bibirnya. "Enak, kan?"
Jeanne mengangguk tanpa malu. Memang begitulah sifat Jeanne sejak dulu. Dia bukanlah sosok malu-malu kucing yang akan ragu mengungkapkan isi hatinya. Dia tipe yang akan mengatakan apa pun, termasuk sesuatu yang sedang dia rasakan saat itu juga.
Sekali pun itu adalah sesuatu yang sangat memalukan untuk diucapkan secara terang-terangan, Jeanne pasti akan tetap mengatakannya.
"Mau lagi nggak?" tawar Alan dengan senyuman liciknya.
Jeanne mengangguk sekali lagi. "Mau lah!"
"Kalau lo yang mau duluan, berarti gue nggak bayar tarif seratus juta per rondenya, ya?"
Jeanne mendelik ke arahnya. "Sumpah, ternyata lo liciknya kebangetan, Lan!"
Alan hanya tertawa pelan merespon kata-katanya. "Gimana pun juga, gue nggak mau rugi Je, karena gue emang keluar uang banyak banget di sini. Jadi gimana, lo masih mau atau nggak? Gratis lho, ya!"
Jeanne mendelik. Kenapa kesannya dia seperti sedang jual diri beneran sekarang, ya? Perempuan itu sedang berpikir, apakah dia akan mengiyakan tawaran baru yang Alan buat dengannya ini atau tidak, karena memang Alan sangat luar biasa dalam bercinta.
Jika sebelumnya dia bisa menolak, itu karena dia tidak tahu dan sama sekali tidak ingat bagaimana performa laki-laki itu. Namun setelah dia merasakannya sendiri dengan langsung, ingatan yang harusnya hilang itu kembali dan membuat Jeanne menggila hingga tahap tidak terkendali.
Jeanne menggeleng pelan. Tidak. Alan pasti tidak sehebat itu. Pasti semua laki-laki bisa melakukan apa yang Alan lakukan padanya tadi. Termasuk Fredy.
Jeanne menggigit bibir bawahnya saat berpikir hebat, sesuatu yang membuat Alan tidak bisa menahan diri untuk tidak menggantikan posisi gigi Jeanne untuk menggigit bibir seksinya.
Terlebih Jeanne selalu merespon dengan baik setiap ciumannya. Dia bahkan terasa begitu ahli dan sangat berpengalaman soal ciuman, bahkan mungkin lebih berpengalaman dari Alan.
"Ada yang pernah ngajarin lo ciuman, Je?" tanya Alan setelah melepaskan lumatannya di bibir Jeanne.
"Emang ada yang mau ngajarin gimana caranya ciuman? Cuma nemplokin bibir doang sambil gigit-gigitan atau perang lidah doang, kan? Masa yang kayak gitu mau diajarin segala?"
Alan mengumpat dalam hatinya. Dia nyaris lupa kalau Jeanne juga punya mulut yang luar biasa pedasnya. Dia pun teringat pada ucapan Alva yang membedakan rasa bibir Jeanne dan Risa sebelumnya.
Dan ucapan sepupunya memang benar adanya. Bibir mereka rasanya memang berbeda. Bibir Risa terasa lebih lembut dan membuat tenang serta hati merasa nyaman, tapi Jeanne memberikan kesan liar, menggoda, dan berbahaya.
Jika boleh memilih, Alan lebih suka tipe yang seperti Jeanne. Bukan berarti dia menyukai perempuan murahan, tapi dia suka perempuan yang bisa mengekspresikan dirinya saat bercinta. Dia suka perempuan yang begitu terbuka dalam menjalani hubungan asmara, karena sejujurnya Alan tidak begitu ahli memahami isi hati wanita.
"Kenapa lo? Jangan bilang lo mau minta diajarin ciuman sama gue?" Jeanne tampak bangga saat mengatakannya. "Ya bukannya mau sombong sih, tapi banyak mantan pacar gue yang bilang kalau gue jago ciuman. Padahal menurut gue juga biasa aja."
Alan mendengkus pelan, lalu tersenyum mendengar ucapannya. "Nggak, gue pikir lo diajarin ciuman sama Alva atau gimana dulunya, kan?"
"Dih, si Alva gaya pacarannya nggak kayak gitu kali!"
Alan menyipitkan mata dan menatap Jeanne dengan tatapan tidak percaya. "Tumben?"
"Ya, gue sama dia emang gitu. Dari dulu juga suka berantem mulu. Pas pacaran bukannya makin sembuh, malah makin serius berantemnya. Ralf aja sampai sakit kepala denger gue berantem sama dia, tapi masih baik-baik aja hubungannya."
Jeanne tertawa sendiri mengingat pengalamannya pacaran dengan Alva. "Untungnya dia nggak sampai selingkuh atau gimana, walaupun hubungan kita kayak gitu. Apalagi gue tahu kalau dia nggak pernah cinta beneran sama gue dan cuma jadiin gue pelariannya aja. Ya, gue bersyukur sih soal itu. Kalau dia sampai selingkuh, paling sekarang gue udah ngutuk dia jadi batu."
"Pelarian?" Alan sepertinya syok mendengar pengakuan itu.
"Lho, lo belum tahu?" Jeanne berdecak pelan. "Harusnya nggak gue kasih tahu aja sih lo!"
"Emang lo cuma dijadiin pelarian doang sama dia?" Alan menatap Jeanne dengan tatapan tidak percaya. Bagaimanapun juga Jeanne itu tipe orang yang menyenangkan. Dia juga wanita baik-baik walau memang mulutnya sangat kurang ajar.
Jeanne tersenyum masam. "Dia suka sama Risa. Waktu itu dia baru tahu kalau lo udah pacaran sama Rida. Alva kayak ya gitu deh, terus tiba-tiba aja dia ngajak gue pacaran."
"Kenapa lo terima kalau lo tahu dia nggak cinta sama lo?" Alan tidak mengerti dengan pemikiran perempuan di yang tidur di bawahnya ini.
"Kenapa, ya? Mungkin karena waktu itu gue lagi nggak punya pacar. Alva juga tahu gue nggak pernah tidur sama cowok sembarangan, jadi dia nggak pernah maksa berhubungan badan. Dia orang yang cukup pengertian dan perhatian kok, cuma ya gitu, sejarahnya emang jadi cowok bajingan. Gue coba mengubah dia pelan-pelan, kali aja abis itu dia bisa lupain Risa dan mulai cinta sama gue, ya, kan?"
"Kenyataannya nggak bisa, ya?" Alan tersenyum masam. Setelah berusaha sebanyak itu, hasilnya hanya sia-sia. Apa Jeanne tidak merasa kecewa?
"Nggak bisa, dia tetap mikirin Risa sampai geli kuping gue dengernya. Mulut gue aja sampai berbusa teriakin dia setiap harinya. Terus gue tinggalin deh dan mulai jalan sama Fredy."
Alan menyipitkan kedua matanya. "Siapa itu?"
"Fredy ya si bebek sawah, pacar gue."
"Oh, terus kenapa lo lebih milih Fredy daripada Alva?"
"Karena kantongnya tebelan si Fredy lah! Masa depannya juga lebih jelas si Fredy. Dia punya kerjaan tetap, penghasilannya jelas di atas rata-rata. Lah Alva? Walaupun punya tabungan sebanyak itu kalau pekerjaannya cuma itu, lama-lama duitnya bakalan habis juga, kan?"
Alan tersenyum masam mendengarnya. "Sial, baru kali ini gue ketemu cewek matre yang realistik banget kayak lo, Je."
"Sorry, gue belajar kalau uang itu segalanya. Menikah cuma karena cinta tapi melarat karena nggak ada biaya hidup dan nggak ada usahanya, emang bisa bahagia? Endingnya sengsara juga."
Alan tersenyum masam. "Kalau lo cuma mikirin uangnya aja, kenapa lo nolak tawaran jadi istri gue tadi?"
"Emang isi tabungan lo berapa?" Jeanne menatap Alan dengan tatapan menantang. "Kalau cuma sepuluh milyar, gue nggak mau, ya!" katanya dengan nada bercanda.
Alan hanya bisa tertawa mendengarnya. Jeanne pun melakukan hal serupa. Jeanne tidak tahu saja, berapa gaji Alan setiap bulannya karena menjadi CEO di kantor pusat. Nominalnya bisa sukses membuat perempuan itu tertawa bahagia dan tidak akan pernah menolak lamarannya.
Namun, entah kenapa kalau sampai lamarannya diterima karena isi kantongnya saja, rasanya agak menyakiti hatinya. Jadi, Alan hanya akan diam dan menganggapnya sebagai lelucon saja.
"Jadi, mau nambah ronde lagi, nggak?" tanya Alan, kembali pada topik utama.
"Nggak. Kalau lo nggak pengen nambah ya kita udahan aja, sih." Jeanne mengatakannya dengan santai.
Alan tersenyum masam. Padahal dia pikir, dia bakalan berhasil tadi. "Kenapa begitu?"
"Kalau cuma seks, gue bisa dapat dari siapa pun. Gue juga udah punya pacar. Jadi mending gue ajakin dia aja daripada ngajakin lo, kan?"
Alan tidak senang mendengar kenyataan itu, walaupun ucapan Jeanne memang benar adanya. Jeanne sudah punya pacar, namanya Fredy, dia ada di Bandung sana dan jelas saja dia bisa memberikan Jeanne kepuasan jika perempuan itu memang menginginkan seks dari kekasihnya.
Namun, Alan merasa tidak rela. Dia tidak rela berbagi tubuh Jeanne dengan pria mana pun di luar sana. Padahal dia bukan siapa-siapa. Hanya teman biasa yang harusnya tidak ikut campur masalah pribadinya.
Tatapan matanya menajam, raut wajahnya mengeras, Alan terlihat dipenuhi emosi negatif sekarang. "Oh, gitu?" Alan mendekatkan wajahnya ke wajah Jeanne. "Kalau gitu sekali lagi, gue masih pengen."
Jeanne mengangguk mengerti. Alan berniat mencium Jeanne lagi, tapi ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Suaranya yang keras sungguh di luar dugaan sekali.
Alan menepi dari tubuh Jeanne dan meraih ponselnya di atas nakas. Tanpa pergi ataupun meninggalkan Jeanne tetap di sana sendiri, Alan menerima panggilan dari asisten pribadinya di kantor.
"Ya?" Kemudian Alan melirik jam di dinding kamarnya dan melirik Jeanne yang kini sedang menatapnya dengan tatapan penasaran. "Saya akan tiba dalam dua puluh menit."
Alan menutup teleponnya dan menatap Jeanne serius. "Kita tunda dulu kali ini, gue ada pertemuan penting dua puluh menit lagi." Alan berdiri dan berjalan menuju lemari untuk memilih pakaian yang bisa dia gunakan hari ini.
"Lo sibuk, Lan?"
Alan tersenyum masam. Sebagai CEO atau presiden direktur sebuah perusahaan, tentu saja dia sibuk sekali. Jika bukan karena terpaksa, dia tidak akan meninggalkan pekerjaannya hari ini demi Jeanne. Sesuatu yang bila dia lakukan terus menerus bisa melengserkan posisinya sebagai CEO di kantor pusat ini.
"Ya gitu, deh. Lo mandi aja duluan, kalau nggak keberatan mandi bareng aja biar hemat waktu. Soalnya gue masih harus bawa baju lo sama selimut ke laundry dan nganterin lo balik juga abis ini," jelas Alan yang terasa penuh dengan agenda yang sibuk sekali.
"A-apa? Mandi bareng?"
"Gue nggak akan ngapa-ngapain lo. Ini murni cuma buat hemat waktu aja, karena cuma ada satu kamar mandi di apartemen ini," jelas Alan tanpa pemikiran negatif sedikit pun.
"Bukannya lo bilang kalau iman lo tipis banget, Lan?" Jeanne menatapnya penuh selidik.
Alan tersenyum masam, kemudian menggaruk-garuk tengkuk kepalanya. "Ya gimana, gue orang sibuk, Je. Daripada terus mikirin selangkangan, mending gue mikirin kerjaan, kan? Sorry bikin lo kecewa, tapi kali ini kita tunda dulu agendanya."
"Gue nggak kecewa, dih!" Jeanne bangun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. "Sini, katanya lo mau mandi bareng?"
Jeanne berjalan lebih dulu untuk masuk ke kamar mandi. Berjalan dengan santai tanpa mengenakan sehelai benang, memamerkan pantatnya yang besar dan seksi yang begitu menggoda untuk diremas.
"Sial! Kalau gue nggak lagi sibuk sekarang, udah pasti gue garap dia seharian!" umpatnya seraya menyusul langkah Jeanne yang sudah mulai menyalakan shower.
