Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10 - Dilema

JADI asisten pribadi yang harus bisa merangkap sebagai sekretaris untuk sementara waktu nyaris membuat Glen merasa gila. Terutama karena yang dilayani olehnya adalah seorang CEO bernama Alan Rasya Purnama.

Awalnya semuanya memang baik-baik saja. Sebagai asisten pribadi, dia merasa profesional dalam pekerjaannya, pun sekretaris yang saat itu mendampingi bosnya pun tampak baik-baik saja. Glen yakin mereka sudah sangat kompak dalam pekerjaan mereka.

Hingga dua bulan yang lalu saat Alan mengakhiri kontrak sekretarisnya secara sepihak dan semua skandal keduanya terungkap di depan matanya. Glen merasa syok bukan main mengetahui sifat asli bosnya selama ini yang tidak pernah terlihat olehnya. Apalagi bosnya sudah punya tunangan yang cantik dan baiknya tidak kira-kira, walau mereka sedang LDR saat peristiwa itu terjadi.

Mungkin karena alasan itulah yang membuat sekretaris itu menjadi berani dan bosnya tergoda untuk menduakan tunangannya sendiri. Glen tidak tahu pasti, tapi ending dari semua peristiwa itu adalah bosnya yang menjadi pria pengidap sakit hati.

Sebagai seorang laki-laki, Glen jelas mengerti bagaimana rasanya ditinggal kekasihnya sendiri. Walaupun dia tidak tahu bagaimana rasanya gagal menikah dua kali, tapi yang jelas pengalaman seperti itu terasa menyakitkan sekali.

Jika itu dia, mungkin Glen berpikir untuk tidak menikah saja selamanya atau mungkin memang begitulah yang dipikirkan oleh atasannya. Namun Alan seorang pria tampan yang tidak perlu banyak usaha untuk mengeluarkan semua pesona yang ia punya. Jelas wanita bisa dia dapatkan dengan mudah dan dia permainkan kapan saja.

Lalu hari ini, sekali lagi bosnya mengambil cuti yang tidak masuk akal sekali. Biasanya Alan hanya melakukan hal seperti ini jika ada masalah pribadi yang harus dia selesaikan tepat waktu atau masalah pribadi itu akan terus mengganggu dan membuat kinerjanya menurun.

"Sudah lama menunggu?" Alan mendekatinya dengan ekspresi yang terlihat profesional. Ekspresi wajah datar dan tatapan tajam tanpa sebuah senyuman yang teramat menyeramkan.

Kadang Glen sampai berpikir, apa Alan tidak pernah lelah memasang ekspresi seperti itu setiap hari? Apa dia tidak ingin menunjukkan ekspresi lain saat sedang bersama bawahannya atau karyawannya yang lain?

Bukannya Glen sudah belok hingga mengharapkan hal itu dari bosnya, tapi satu senyuman dari atasan bisa menunjukkan betapa ramahnya dia pada bawahannya. Sayangnya Alan nyaris tidak pernah melakukannya dan Glen selalu menganggap Alan sebagai sosok bos diktator yang jahatnya tidak kira-kira.

"Tidak, karena Anda belum terlambat satu detik pun." Glen menjawab sambil melihat jam di tangan kirinya. Ekspresinya pun sama seperti Alan, datar-datar saja untuk mengimbangi kepribadian bosnya. Padahal saat itu dia ingin teriak syukur yang teramat keras, karena Alan menepati ucapannya sebelum ini.

"Ya, bagaimanapun juga saya melakukan secepat yang saya bisa. Tamunya ada di mana?" Alan bertanya sembari menatap pintu ruangannya.

"Ada di ruangan meeting, Pak!"

Alan mengangguk mengerti. "Okay, saya akan langsung ke sana." Dia pun berjalan hendak menuju ruang meeting berada. Harus jalan lagi, dia pasti merasa sangat lelah sekarang ini.

"Pak!" panggil Glen yang kini membuat Alan berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Ya?"

"Tolong cari sekretaris baru secepatnya. Saya tidak sanggup mengurus semua pekerjaan ini sendirian." Glen menatap atasannya dengan penuh harap. Dia benar-benar sudah tidak sanggup melakukan dua jenis pekerjaan secara bersamaan.

Alan mengangguk mengerti. "Saya sudah membicarakannya dengan bagian HRD tempo hari, tunggu saja kabar baiknya dalam waktu dekat ini."

Glen menghela napas lega. Akhirnya semua penderitaannya akan sirna. Walaupun bosnya tetap menggajinya dua kali lipat, tapi kalau beban pekerjaannya sebanyak itu siapa juga yang mau?

"Kalau kamu sudah tidak sabar, datangi saja bagian HRD dan minta mereka melakukannya secepat mungkin. Cari yang terbaik karena perusahaan ini hanya butuh yang terbaik!" perintah Alan, kemudian berjalan menuju ruang meeting untuk menemui tamunya di sana.

"Siap, Pak!" Dalam hatinya Glen mengumpat. Kalau udah dapat yang terbaik jangan dimainin lagi kayak yang kemarin ya, Pak?

***

Jeanne sampai apartemen sewaannya dengan tubuh terasa lelah minta ampun. Padahal saat bercinta dengan Alan tadi dia sama sekali tidak merasakannya, tapi kali ini dia benar-benar merasakan rasa sakit dan semua lelahnya.

Jeanne terseok mendekati ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya di sana. Dia mau tidur saja. Namun ponsel yang sejak semalam berada di clutch miliknya berbunyi memekkan telinga.

Jeanne meraih benda pipih itu dan mendekatkannya ke telinga. "Halo!" sapanya.

"Lo masih teler, Je? Baik-baik aja, kan?"

Sejenak Jeanne mengerjap. Suara pria yang penuh perhatian itu terdengar layaknya suara bebek sawah kesayangannya. Namun, bagaimana bisa? Biasanya juga si bebek itu cueknya tidak kira-kira?

Jeanne sampai menjauhkan ponselnya dan mengecek nama pemanggil yang tertera di layar ponselnya. Benar-benar bebek sawahnya, tapi bagaimana bisa?

"Jeanne?" panggil Fredy dari seberang sana. Nadanya terdengar khawatir. Sangat tidak biasa sekali perubahan pacar bebeknya ini.

"Iya, Bek. Gue baik-baik aja, tapi masih capek. Kapok banget gue mabuk-mabukan lagi. Abis ini gue nggak minum-minum lagi, deh!" Jeanne bersumpah dia tidak mau mabuk lagi.

Bukan karena imbasnya yang bisa membuat tubuh rusak pun menjadi lelah seperti ini, tapi juga karena dia tahu kalau dia akan menggila hingga tak terkendali saat dia sedang mabuk dan tak sadarkan diri.

Untungnya Alan masih mau jujur mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Jeanne saat mabuk, karena pria lain belum tentu mau mengatakannya. Toh Jeanne tidak akan mengingat apa-apa. Walaupun saat mabuk tubuhnya digrepe ataupun dipaksa melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.

Jeanne hanya bersyukur hingga selama ini dia masih baik-baik saja, walau pada akhirnya dia tetap hancur di tangan Alan juga.

"Kalau lo nggak minum lagi yang ada lo mati, Jeanne." Fredy menyahut dengan embusan napas kasar di seberang sana. "Perlu gue samperin ke sana malam ini, nggak?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Jeanne mengerjapkan kedua matanya. "Emangnya lo nggak sibuk? Besok masih rabu juga, jadi lo nggak mungkin udah libur kerja, kan?"

Jeanne mengernyit heran, pasalnya Fredy bukan orang yang akan berpikir untuk meninggalkan pekerjaannya sembarangan. Jeanne juga tidak mungkin menemui Fredy sekarang, saat tubuhnya dipenuhi jejak kemerahan yang Alan tinggalkan.

"Nggak libur, tapi mungkin gue bakal baik-baik aja." Fredy berdeham pelan.

"Nggak usah maksa gitu, deh! Malam minggu aja main ke sini kalau lo emang udah kangen. Kalau nggak kangen ya udah, lo di sana aja terus, biar gue cari cowok baru buat diajak malam mingguan."

Fredy mendengkus keras. "Rese banget lo!"

Jeanne tertawa pelan. "Habisnya mau gimana lagi? Lo nggak kangen, tapi gue yang kangen sama lo."

"Kenapa nggak lo aja yang main ke sini?"

"Banyak modalnya kalau gue yang harus pergi, Bek. Lo aja yang ke sini, ya? Keluar modal dikit cuma buat beli bensin aja, kan? Masa nggak mau, sih?"

Fredy mendengkus sekali lagi. "Iya-iya, malam minggu abis pulang kerja gue langsung ke sana. Tungguin aja di apartemen, jangan ke mana-mana."

"Siap, Bek!" Jeanne tersenyum bahagia dan Fredy langsung mengakhiri panggilan di antara mereka.

Fredy memang lebih banyak sisi cueknya daripada sisi perhatiannya, tapi bukan berarti dia tidak peduli. Saat tahu Jeanne bakal dimutasi ke Jakarta, dia langsung mencarikan apartemen terdekat dan membayar uang sewanya selama tiga bulan ke depan.

Walaupun saat dia akan berangkat kemarin, Fredy sama sekali tidak datang apalagi mengantar kepergiannya. Namun Jeanne tahu pasti, kalau saat itu kekasih bebek sawahnya memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Fredy orang yang baik. Dia baik sekali. Lalu bagaimana dengan Jeanne? Apakah dia pantas mendapatkan pria sebaik itu?

Sejak dulu, Jeanne memang sudah salah pergaulan. Mulutnya yang suka seenak jidat pun semakin memperparah keadaan. Namun, Jeanne mencoba untuk tetap mempertahankan keperawanannya di antara ketidakwarasan dunia. Dia ingin menyerahkan keperawanannya pada sang suami yang mau menerima semua kekurangannya dan menjadikan hal itu sebagai hadiah yang tidak akan suaminya duga.

Namun, semua ini telah terjadi padanya ....

Ponselnya kembali berbunyi. Nama Alan di layar sukses membuat Jeanne mematikan panggilan yang masuk ke ponselnya ini. Namun tak lama kemudian ponsel itu kembali berbunyi dan Alan melakukannya lagi.

Jeanne kembali mematikan panggilannya dan hal itu berulang hingga tiga kali. Alan akhirnya mau berhenti. Jeanne menghela napas dan berniat mengistirahatkan pikiran juga tubuhnya saat ini.

Namun, sebuah pesan baru saja masuk ke ponselnya.

Alan : Apartemen lo nomer berapa? Nanti malam gue mau main ke sana.

Jeanne mengerjap. "Hah?!"

Alan : Gue mau minta jatah tadi siang, sekalian mau ngomong sesuatu sama lo.

Jeanne : Mau ngomong apa lagi, sih? Gue capek banget. Gue cuma mau tidur aja ntar malem, astaga!

Alan : Tidur aja sekarang, biar ntar malam bisa begadang.

Jeanne : Gila!

Alan : Inget perjanjiannya gimana? Masih ada sebelas kali lagi kalau lo lupa.

Jeanne : Berengsek!

Alan tak memberikan jawaban apa-apa, tapi Jeanne yakin pria itu sedang tertawa di seberang sana. Dua milyar untuk dua puluh ronde dengan sembilan ronde sudah dia bayar.

Jeanne mendesah berat. Semoga perjanjian ini lekas selesai agar dia bisa kembali setia pada bebek sawahnya. Bagaimanapun juga, uang ini bisa menjadi pegangan yang ia miliki untuk masa depan mereka.

Walaupun entah kapan uang itu akan dia pergunakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel