Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 8 Pengakuan

Adik Ipar Malang

Bab 8 Pengakuan

POV Lilis

"Milik siapa testpack itu? Apa itu punya kamu, Laras?" tanya Tante Maya dengan mata berbinar. Mungkin melihat dua buah garis di testpack itu. Semua tahu kalau Tante Maya sangat menunggu kehadiran cucu pertamanya.

"Bukan. Itu bukan punyaku," jawab Kak Laras dengan lesu.

"Oh." Wajah Tante Maya langsung berubah kecut. Mungkin sangat berharap benda pipih bergaris dua itu milik menantunya.

Kasihan sekali Kak Laras. Apa setelah janin ini lahir, aku berikan saja pada kakak kandungku? Tapi, apa Kak Laras bersedia merawat dengan senang hati? Sedang dia saja bukan wanita mandul. Hanya belum saja dititipi anak oleh Allah.

Astaghfirullah. Bagaimana bisa aku berpikiran seperti itu? Ini anakku sendiri, mana mungkin diberikan seenaknya pada orang lain. Menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran yang bukan-bukan.

"Lalu ini punya siapa?" tanya Ibu sambil mengacungkan testpack yang lebih ditujukan ke Ayah. "Apa ada anggota keluarga kita yang sedang ha-"

"Itu milik Lilis." Perkataan Ibu langsung dipotong oleh Ayah dan menyebabkan benda di tangan Ibu langsung terjatuh.

"Apa?!" Semua orang berteriak hampir bersamaan.

Aku hanya bisa diam membeku. Siap atau belum siap, aku harus bisa menghadapi ini. Malu, kecewa, marah dan merasa bersalah, bercampur menjadi satu dalam hati. Menggigit bibir supaya isak tangis tak lolos dari mulutku.

"Bagaimana bisa Lilis ... hamil?" tanya Ibu terkejut dengan memandang ke arahku.

Ayah memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya perlahan. "Lilis diperk*sa."

Mata Ayah memerah, rahangnya mengeras saat mengucap jawaban kebenarannya. Ibu langsung memeluk dan mengusap punggungku, dengan maksud menguatkan. Walaupun dia ikut menangis di pundak sempitku. Akhirnya kami sama-sama menangis.

"Gadis kecilku yang malang." Tante Maya menangis di pundak Om Rifan yang mengusap punggung Tante Maya.

Tante Maya dan Om Rifan sudah menganggap aku seperti putri bungsunya sendiri. Pasti mereka juga ikut merasa sedih mendengar berita tentang aku yang hamil karena dip*rk*sa. Apalagi jika mereka mendengar siapa pelakunya. Mungkinkah mereka bersimpati padaku? Atau sebaliknya malah memusuhiku?

"Siapa laki-laki br*ngsek yang sudah menghamili adikku ini? Biar aku beri pelajaran!" kata Kak Laras dengan nyalang.

Aku menatap Ayah dengan pandangan memelas. "Ayah ..." lirihku memohon.

Respon darinya sungguh mengecewakanku. Menggelengkan kepala dengan wajah datarnya. Pertanda kalau keputusannya benar-benar sudah mutlak dan tak bisa diubah lagi.

"Suamimu, Evan. Dia yang sudah memperk*sa Lilis," tunjuk Ayah pada Kak Evan.

"Ayah, jangan bercanda! Aku sedang serius. Bagaimana bisa Ayah bercanda di tengah-tengah keadaan serius seperti ini?"

Ibu langsung melepaskan pelukannya dariku. Wajahnya benar-benar menampakkan ekspresi terkejut. Tak beda dengan ekspresi orang lain, mereka pun menampakkan wajah tak kalah terkejutnya.

Terlebih untuk sang pelaku. Wajahnya yang putih semakin pucat. Kesepuluh jarinya saling bertautan. Masih memiliki rasa takutkah dia? Kalau merasa takut, kenapa dia melakukan hal tak bermoral padaku?

"Jangan mentang-mentang Lilis anak kesayangan Ayah, lantas seenaknya menghakimi suamiku yang melakukan tindakan tersebut. Aku nggak percaya. Mana buktinya, Ayah?" tantang Kak Laras.

Pantaslah dia sangat membela mati-matian suaminya. Mengetahui seberapa bucinnya Kak Laras pada Kak Evan semenjak mereka kuliah. Aku yang setiap malam, sebelum tidur harus mendengar curhatannya tentang Kak Evan hampir tiap hari.

"Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa melihat apa yang ada di dalam laptop ini." Ayah membuka laptop, kemudian mengutak-atiknya. Di hadapkan laptop itu ke arah kami semua.

Sebuah gambar dengan layar hitam putih seperti layar kamera pengawas dengan latar di depan kamarku. Dari tanggal dan waktu itu menunjukkan saat Kak Evan menemaniku di rumah ini. Sejak kapan di rumah ini ada kamera pengawas? Kenapa aku tidak tahu sama sekali tentang hal ini?

"Ini kamera pengawas di rumah kita? Sejak kapan Ayah memasang kamera pengawas di rumah ini?" Kak Laras menanyakan apa yang menjadi pertanyaanku juga.

"Sejak kedua putri Ayah beranjak remaja. Sebagai satu-satunya lelaki di rumah ini, Ayah punya kewajiban melindungi ketiga wanita penting milik Ayah. Sayangnya itu tidak berlaku untuk putri bungsuku sendiri." Di akhir kalimat Ayah mengucapkan dengan lirih.

"Kita lihat saja, apa yang ada di vidio ini." Ayah memutar video di dalam laptop. Di situ tertera pukul 20.35 malam, Kak Evan masuk ke dalam kamarku. Setelah menunggu hampir lima belas menit, tak ada tanda-tanda Kak Evan keluar dari kamar. Tentu saja tak keluar dari kamarku, karena saat itu dia sedang melakukan aksinya.

Karena tak sabar, Ayah mempercepat tayangan menjadi tiga kali lebih cepat. hingga menampilkan Kak Evan keluar dari kamar pukul dua dinihari.

Semua yang ada di ruangan ini benar-benar terkejut. Termasuk si pelaku sendiri. Dia yang selalu bisa mempertahankan ekspresi datarnya pun tak bisa mengendalikan ekspresi terkejutnya. Mungkin dia tak menyangka kalau Ayah akan memiliki bukti hingga sedetail ini.

Aku bersyukur dalam hati, Ayah ternyata benar-benar menepati perkataannya. Dia sudah merencanakan semua ini dengan sebaik mungkin. Setidaknya ada bukti bahwa Kak Evanlah yang sudah memp*rk*saku. Terima kasih Ayah.

"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?" kata Tante Maya sambil menutup mulut dengan telapak tangannya yang lentik. Bahunya berguncang seiring tangisnya yang semakin kencang.

"Ini pasti nggak benar. Ini nggak mungkin!" teriak Kak Laras sambil menggelengkan kepalanya dengan kencang.

Plakk!

Terdengar suara tamparan. Om Rifan ternyata yang menampar putra bungsunya sendiri. Kemudian menarik kerah kemeja hitam milik Kak Evan hingga berdiri dari duduknya.

"Papa kecewa padamu, Evan. Apa kamu tidak punya otak? Bagaimana bisa kamu melakukan hal keji seperti itu pada Lilis? Dia masih di bawah umur dan kau sendiri sudah punya istri," marah Om Rifan sambil menunjuk muka Kak Evan.

Kak Laras menarik Kak Evan ke belakang, hingga kerah itu terlepas dari tangan mertuanya. "Papa tenang, Pa. Jangan marah dulu pada Evan. Kita tanya dulu kebenarannya. Bisa jadi kan, Evan dirayu oleh Lilis. Makanya Evan melakukan hal yang khilaf." Kak Laras membela sekali pada Kak Evan. Jelas-jelas suaminya yang bersalah.

Semua tercengang mendengar pernyataan Kak Laras. Bagaimana dia bisa berpikir seperti itu?

"Laras! Bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu? Dia adikmu, adik kandungmu. Bukti sudah jelas ada dari kamera pengawas itu. Evan masuk ke kamar Lilis jam setengah sembilan malam, dan keluar jam dua dini hari." Kak Devan yang dari tadi diam, mulai menyuarakan pendapatnya. Bersyukur dia membelaku. Ada perasaan hangat di hati ini.

"Diam kamu! Kamu hanya orang asing yang kebetulan dititipkan di sini!" tunjuk Kak Laras pada Kak Devan. Kak Devan menatap tak percaya dengan perkataan orang yang sudah dia anggap adiknya sendiri.

"Evan, ayo bilang. Jangan diam saja! Benar, kan, kalau kamu dirayu sama Lilis dan kamu digoda, sama dia?" teriak Kak Laras kalap, memukul-mukul lengan Kak Evan.

"Apa kamu masih mau menyangkal, Evan?" tanya Ayah dengan suara rendah. "Apa perlu aku melaporkan ke polisi supaya kamu mau mengaku?" tanya Ayah lagi dengan tegas.

Kak Evan menjatuhkan tubuhnya ke lantai, berdiri dengan kedua lututnya. "Aku mengakui, telah memperk*sa Lilis saat kalian tak ada di rumah. Maafkan aku. Sungguh, aku melakukan itu karena khilaf."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel