Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 7 Awal

Adik Ipar Malang

Bab 7 Awal

POV Lilis

Suasana langsung hening dan senyap. Wajah Kak Evan tegang dan pucat. Kak Laras memicingkan matanya menatap Kak Evan. Om Rifan dan Tante Maya saling berpandangan. Ibu memandang Ayah dengan tatapan seolah bertanya. Sedang Kak Devan, memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan.

Bagaimana denganku? Jangan tanyakan lagi. Tentu saja keringat dingin sudah mengalir di dahi dan di telapak tangan.  Dudukku sudah gelisah tak menentu.

Tiba-tiba Ayah terkekeh sambil duduk di kursi yang sebelumnya ditempati. Semua orang memandang Ayah dengan heran, termasuk aku.

"Aku hanya bercanda. Lilis memang tak suka buah apel. Tak suka buah apel, bukan berarti alergi, bukan? Boleh saja, kan, kalau Lilis makan buah apel untuk kesehatan 'dia'?" ucap Ayah dengan menekankan kata 'dia'. Pernyataan Ayah barusan membuat beberapa orang di ruangan ini memasang raut wajah lega.

"Pak Arif ini, bercandanya ada-ada saja. Tentu saja boleh, dong. Malah itu bagus juga untuk kulit," ucap Tante Maya sambil mengibaskan tangannya di depan wajah, kemudian tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. Terlihat anggun sekali. Maklumlah, beliau dulunya mantan seorang model.

Melirik biangnya, dia hanya menampakkan wajah datarnya saja. Selain irit bicara, Kak Evan ini orangnya minim ekspresi. Selalu menampakkan muka datar. Sangat cool-man.

Dulu sewaktu kita masih akrab, aku selalu mengajak dia berbicara. Ingin melihat dia merespon seperti apa dan menampilkan ekspresi seperti apa pula. Hasilnya? Sudah pasti dia hanya menjawab seperlunya saja, seperti ya, tidak, mengangguk, dan menggeleng. Ekspresi? Saat tersenyum dia hanya akan menarik sudut bibirnya saja, tanpa terlihat giginya. Tak pernah aku melihatnya tertawa terbahak-bahak dan selalu bersikap elegan.

Beda dengan semua orang yang merasa lega, Om Rifan justru menampilkan wajah datarnya. Mertua dari Kak Laras itu menatap barang bawaan Ayah dengan pandangan menyelidik, menjadikan aku ikut penasaran melihat barang-barang itu. Ada laptop dan sebuah kotak dengan ukuran sekitar dua puluh kali dua puluh sentimeter, berada di atas pangkuan Ayah.

Setelah cukup lama menatap barang-barang milik Ayah, Om Rifan berganti menatap pemiliknya. Yang merasa dipandangi pun balas menatap Om Rifan. Dua orang dewasa yang sudah banyak makan garam melalui jalannya masing-masing, saling adu insting.

"Maaf sebelumnya. Saya kira pertemuan antar keluarga malam ini, bukan hanya sekedar jamuan makan malam. Benarkah, Pak Arifin?" tanya Om Rifan dengan nada datar.

"Memang Pak Rifan ini orang yang sangat jeli. Pantas saja, Anda sangat disegani oleh para pengusaha lainnya," puji Ayah pada besannya itu.

Suhu ruang yang tadinya normal tiba-tiba menjadi dingin. Insting seorang pengusaha sukses, meskipun di usia yang sudah tak lagi muda, memang tak bisa diragukan lagi dalam menganalisa.

Ayah meletakkan laptop dan kotak itu di atas meja. Kemudian memandangi kami bergantian satu persatu. Lalu menatap Kak Evan dengan tajam agak lama.

"Baiklah. Cukup sudah basa-basinya." Menghela nafas panjang sebelum kembali buka mulut. "Evan, apa kau tak ingin mengakui sesuatu?" tanya Ayah masih menatap tajam Kak Evan.

"Mengakui? Mengakui apa, Ayah? Kenapa Ayah bertanya seperti itu pada suamiku?" tanya Kak Laras heran. Matanya bergantian menatap Ayah lalu ke suaminya.

"Laras, kamu lebih baik diam saja dulu. Kita dengar apa yang akan dikatakan oleh suamimu itu," ucap Ayah dengan tenang.

"Memang apa yang harus diakui oleh Evan? Evan, cepat jawab pertanyaan Ayah! Jelaskan, ada apa sebenarnya?" cecar Kak Laras.

Astaga! Mungkinkah sebentar lagi Kak Laras berubah menjadi medusa mode on? Ini sangat berbahaya untuk orang-orang di sekelilingnya.

Kenapa Ayah menyuruh Kak Evan untuk mengakui sesuatu? Apakah Ayah bermaksud membahas tentang kejadian 'itu' sekarang?  Bagaimana dengan perasaan orang-orang yang merasa dikecewakan? Bukan tidak mungkin, semua orang yang ada di ruangan ini akan merasa kecewa kalau peristiwa itu terbongkar.

"Maaf, Ayah. Bisa diperjelas pertanyaan Ayah barusan?" Akhirnya suara bariton itu keluar juga. Aku benar-benar tak sabar mengetahui apa yang sebenarnya ingin Ayah lakukan.

"Apa yang sebulan lalu kamu lakukan di rumah ini, Evan?" tanya Ayah dengan penekanan di setiap katanya.

Benar. Ayah akan membuka masalah itu sekarang. Ya Allah, bagaimana ini? Kenapa Ayah harus bertindak secepat ini? Kenapa tidak berdiskusi dulu denganku?

Yang lebih penting sekarang adalah bukti. Aku belum memikirkan soal bukti agar Kak Evan mau mengaku telah memp*rks*ku waktu itu. Tanpa bukti, maka sebaliknya, malah aku  yang akan dituduh.

"Ayah, sebenarnya ada apa? Kenapa tidak jelaskan saja ke intinya? Dan, apa isi di dalam kotak itu?" tanya Ibu pada Ayah beruntun.

"Iya, Pak Arif. Jelaskan saja sekarang. Apa sebenarnya yang Evan lakukan? Hubungan Evan dengan keluarga kalian baik-baik saja, kan?" Tante Maya ikut berbicara. Mungkin sudah tak sabar ingin mengetahui maksud dari pertanyaan Ayah.

"Sebenarnya ini ada apa?" tanya Kak Laras dengan intonasi tinggi. Dari dulu Kak Laras itu memiliki tingkat kesabaran yang tipis. Tentu saja hal ini akan membuat dia kesal karena berbelit-belit.

"Sebaiknya kalian semua diam dulu. Jangan ikut berbicara. Agar pertanyaan saya segera dijawab oleh Evan," kata Ayah masih tenang menghadapi para perempuan.

Seketika semuanya diam. Menunggu apa lagi pertanyaan yang keluar dari mulut Ayah, dan apa jawaban yang akan diberikan Kak Evan.

Ah, ya! Aku hampir melupakan Kak Devan. Melirik ke samping, dia masih menampakkan wajah kalem dan tenang. Sepertinya dia cukup sadar akan posisi dirinya tentang permasalahan internal keluarga ini. 

"Evan, apa kamu akan terus diam saja dan membuat masalah ini semakin berlarut-larut?" Ayah menghela nafas panjang.

"Sekali lagi aku tanya. Apa yang kamu lakukan di rumah ini sebulan yang lalu? Lebih tepatnya, saat aku, istriku, dan Laras sedang mengunjungi Rara dan Riyanto, suaminya yang sedang sakit di kota sebelah?" tanya Ayah lebih detail.

Aku berharap Ayah menghentikan interogasi ini. Jujur, aku belum siap. Selain belum ada bukti yang kuat, mental pun belum siap.

Yang ditanya hanya diam menunduk. Belum mengeluarkan suaranya lagi. Beberapa detik kemudian, dia mengangkat kepalanya.

"Aku datang ke sini ... menemani Lilis, menunggu sampai kalian pulang dari rumah Budhe Rara." Bahkan saat keadaan panik pun dia masih irit bicara.

"Hanya itu?" tanya Ayah terlihat kurang puas dengan jawaban dia.

"Bagaimana dengan ini?" Ayah membuka kotak yang berada di atas meja dengan perlahan. Hingga kotak itu benar-benar terbuka, terpampang lah isi di dalamnya. Semua orang berdiri untuk bisa melihat lebih jelas benda yang ada di dalam kotak itu.

Reflek aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas sofa sambil menutup mulut. Itu adalah testpack milikku. Berbeda denganku yang terkejut, semua orang, selain aku dan Ayah, hanya memasang wajah bingung dan bertanya-tanya.

Ibu mengambil testpack itu. "Ada apa dengan testpack ini?" tanya Ibu dengan raut wajah bingung sembari mendudukkan dirinya, diikuti anggota keluarga yang lain kembali duduk.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel